Home » Arsip untuk April 2015
Download Skripsi - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penawaran Daging Sapi Potong Domestik
selayangpandang
21:47
Admin
Bandung Indonesia
Ayam
broiler adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebutkan ayam hasil
budidaya teknologi peternakan dengan menyilangkan sesama jenisnya.
Karekteristik ekonomi dari ayam broiler adalah pertumbuhan cepat serta
penghasil daging dengan konversi pakan efisien. Bobot badan ayam broiler ini
tergolong tinggi.
Ayam
broiler merupakan tipe ayam pedaging dan umumnya digunakan untuk konsumsi
sehari-hari sebagai pemenuhi kebutuhan protein hewani. Berdasarkan aspek
pemuliaannya terdapat tiga jenis ayam penghasil daging, yaitu ayam Kampung,
ayam petelur afkir dan ayam broiler. Ayam broiler umumnya dipanen pada umur
sekitar 4-5 minggu dengan bobot badan antara 1,2-1,9 kg/ekor yang bertujuan
sebagai sumber pedaging (Kartasudjana, 2005) dan ayam tersebut masih muda dan
dagingnya lunak (North dan Bell, 1990). Ayam broiler mempunyai beberapa
keunggulan seperti daging relatif lebih besar, harga terjangkau, dapat
dikonsumsi segala lapisan masyarakat, dan cukup tersedia di pasaran (Sasongko,
2006).Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707 disajikan pada Tabel.
Minggu
|
Bobot Badan
(g/e)
|
Pertambahan Bobot Badan (g/e)
|
Konsumsi Pakan
Per hari (g/e)
|
Konsumsi
Kumulatif
(g/e)
|
FCR
|
1
|
175,00
|
19,10
|
-
|
150,00
|
0,857
|
2
|
486,00
|
44,40
|
69,90
|
512,00
|
1,052
|
3
|
932,00
|
63,70
|
11,08
|
1167,00
|
1,252
|
4
|
1467,00
|
76,40
|
15,08
|
2105,00
|
1,435
|
5
|
2049,00
|
83,10
|
17,90
|
3283,00
|
1,602
|
6
|
2643,00
|
83,60
|
19,47
|
4604,00
|
1,748
|
Sumber
: PT. Charoen Pokphand (2006)
Daftar
Pustaka
Kartasudjana, R. 2005. Manajemen Ternak Unggas.
Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran Press, Bandung.
North, M. O, & D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken
Production Manual. 4th Ed. the Avi Publishing Company Inc. Wesport,
Connecticut.
PT. Charoen Pokphand Indonesia. 2006. Manajemen
broiler modern. Kiat-kiat memperbaiki FCR. Technical Service dan Development
Departement, Jakarta
Sasongko, W.R. 2006. Mutu karkas ayam potong.
Triyanti. Prosiding Seminar Nasoinal Peternakan dan veteriner, Bogor.
selayangpandang
21:39
Admin
Bandung IndonesiaPerforma Mingguan Ayam Broiler CP 707
Ayam
broiler adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebutkan ayam hasil
budidaya teknologi peternakan dengan menyilangkan sesama jenisnya.
Karekteristik ekonomi dari ayam broiler adalah pertumbuhan cepat serta
penghasil daging dengan konversi pakan efisien. Bobot badan ayam broiler ini
tergolong tinggi.
Ayam
broiler merupakan tipe ayam pedaging dan umumnya digunakan untuk konsumsi
sehari-hari sebagai pemenuhi kebutuhan protein hewani. Berdasarkan aspek
pemuliaannya terdapat tiga jenis ayam penghasil daging, yaitu ayam Kampung,
ayam petelur afkir dan ayam broiler. Ayam broiler umumnya dipanen pada umur
sekitar 4-5 minggu dengan bobot badan antara 1,2-1,9 kg/ekor yang bertujuan
sebagai sumber pedaging (Kartasudjana, 2005) dan ayam tersebut masih muda dan
dagingnya lunak (North dan Bell, 1990). Ayam broiler mempunyai beberapa
keunggulan seperti daging relatif lebih besar, harga terjangkau, dapat
dikonsumsi segala lapisan masyarakat, dan cukup tersedia di pasaran (Sasongko,
2006).Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707 disajikan pada Tabel.
Minggu
|
Bobot Badan
(g/e)
|
Pertambahan Bobot Badan (g/e)
|
Konsumsi Pakan
Per hari (g/e)
|
Konsumsi
Kumulatif
(g/e)
|
FCR
|
1
|
175,00
|
19,10
|
-
|
150,00
|
0,857
|
2
|
486,00
|
44,40
|
69,90
|
512,00
|
1,052
|
3
|
932,00
|
63,70
|
11,08
|
1167,00
|
1,252
|
4
|
1467,00
|
76,40
|
15,08
|
2105,00
|
1,435
|
5
|
2049,00
|
83,10
|
17,90
|
3283,00
|
1,602
|
6
|
2643,00
|
83,60
|
19,47
|
4604,00
|
1,748
|
Sumber
: PT. Charoen Pokphand (2006)
Daftar
Pustaka
Kartasudjana, R. 2005. Manajemen Ternak Unggas.
Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran Press, Bandung.
North, M. O, & D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken
Production Manual. 4th Ed. the Avi Publishing Company Inc. Wesport,
Connecticut.
PT. Charoen Pokphand Indonesia. 2006. Manajemen
broiler modern. Kiat-kiat memperbaiki FCR. Technical Service dan Development
Departement, Jakarta
Sasongko, W.R. 2006. Mutu karkas ayam potong.
Triyanti. Prosiding Seminar Nasoinal Peternakan dan veteriner, Bogor.
Perawatan merupakan salah satu bagian dari manajemen pemeliharaan ternak yang perlu diperhatikan pada suatu peternakan. Perawatan dilakukan agar ternak tetap merasa nyaman sehingga dapat berproduksi dengan baik. Selain itu, perawatan dilakukan untuk mengurangi penyakit akibat dari ektoparasit dan endoparasit. Perawatan penting yang harus dan banyak dilakukan secara rutin pada manajemen pemeliharaan ternak domba adalah memandikan, mencukur dan memotong kuku domba. Memandikan ternak sebaiknya dilakukan minimal seminggu sekali pada pagi hari. Saat dimandikan sebaiknya ternak disikat dan diberi sabun agar lebih bersih, setelah itu domba dijemur di bawah sinar matahari agar bulu cepat kering dan ternak tidak kedinginan (IPTEK, 2005). Pencukuran bulu domba dengan gunting biasa/cukur ini dilakukan minimal 6 bulan sekali dan disisakan guntingan bulu setebal kira-kira 0,5 cm. Sebelumnya domba dimandikan sehingga bulu yang dihasilkan dapat dijadikan bahan tekstil. Keempat kaki domba diikat agar tidak lari pada saat dicukur. Pencukuran dimulai dari bagian perut kedepan dan searah dengan punggung domba. Pemotongan kuku domba dipotong 4 bulan sekali dengan pahat kayu, pisau rantan, pisau kuku atau gunting (IPTEK, 2005).
Bulu domba memiliki kemampuan insulasi yang tinggi, sehingga domba dapat menerima lingkungan panas dan dingin. Rambut atau bulu hewan yang merupakan insulator sedikit menghambat pendinginan kulit. Menurut Williamson dan Payne (1993), bulu domba hendaknya dicukur setahun sekali dan paling baik dilakukan pada saat domba mengalami stres paling sedikit. Warna dan ketebalan bulu merupakan mekanisme yang terjadi dalam adaptasi terhadap keadaan iklim. Bulu yang halus dan pendek akan menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang panas. Bulu pendek, warna terang dan tekstur yang halus akan meminimalkan penyerapan panas oleh tubuh ternak. Menurut Hafez (1969) mencukur bulu domba dapat menurunkan insulasi bulu dan meningkatkan pelepasan panas oleh angin dan meningkatkan kualitas semen pejantan pada musim panas.
Konveksi bebas adalah kejadian dimana temperatur udara meningkat yang mengakibatkan kepadatannya menurun dan udara bergerak ke atas meninggalkan tubuh ternak. Dihambatnya pergerakan udara oleh bulu dapat menurunkan laju transfer panas secara konvektif. Hewan yang telah beradaptasi dengan lingkungan panas memiliki ketebalan penutup tubuh (bulu) yang dangkal. Adanya angin atau pergerakan hewan dapat meningkatkan pelepasan panas secara konvektif, hal demikian disebut forced convection. Pencukuran bulu biasa dilakukan oleh peternak rakyat untuk menjaga kebersihan dan kesehatan ternak. Peternak di Jawa Barat biasa melakukan pencukuran setiap 4-5 bulan sekali.
Menurut Tomazweska et al. (1993) pencukuran bulu domba yang dipelihara dalam kandang tertutup tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, konsumsi air atau pakan, suhu rektal, kecepatan pernafasan atau denyut nadi. Selanjutnya Tomazweska et al., (1993), menyatakan bahwa pencukuran akan menambah kenyamanan ternak dan penurunan infasi ektoparasit kalau ternak tersebut di kandangkan. Domba yang tidak pernah dicukur bulunya akan menjadi sangat kotor dan akan sulit untuk dibersihkan, kondisi bulu yang seperti ini merupakan tempat yang baik untuk bersarangnya penyakit, parasit dan jamur yang dapat membahayakan kesehatan ternak. Tujuan dilakukan pencukuran yaitu untuk menjaga kesehatan dari kuman penyakit, parasit-parasit luar (ektoparasit) seperti kutu serta penyakit kulit lainnya yang disebabkan oleh jamur. Selain untuk pencegahan penyakit, pencukuran juga dilakukan untuk memperindah domba terutama pejantan. Pencukuran yang pertama dilakukan pada waktu domba telah berumur lebih dari 6 bulan agar domba tidak stres.
Daftar Pustaka
Hafez, E. S. E. 1969. Prenatal Growth. In Animal Growth and Nutrition, Hafez, E. S. E. dan Dyer (Eds). Leo and Feiger-Philadelphia.
IPTEK, 2001. Teknologi Tepat Guna : Budidaya Ternak Domba. IPTEKnet, Jakarta. ( http://www.ristek .go.id ) [10 Juni 2011].
Tomazweska, M. W., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner & T. R. Wiradarya.1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
Williamson, M. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Perawatan dan Pencukuran Domba
Perawatan merupakan salah satu bagian dari manajemen pemeliharaan ternak yang perlu diperhatikan pada suatu peternakan. Perawatan dilakukan agar ternak tetap merasa nyaman sehingga dapat berproduksi dengan baik. Selain itu, perawatan dilakukan untuk mengurangi penyakit akibat dari ektoparasit dan endoparasit. Perawatan penting yang harus dan banyak dilakukan secara rutin pada manajemen pemeliharaan ternak domba adalah memandikan, mencukur dan memotong kuku domba. Memandikan ternak sebaiknya dilakukan minimal seminggu sekali pada pagi hari. Saat dimandikan sebaiknya ternak disikat dan diberi sabun agar lebih bersih, setelah itu domba dijemur di bawah sinar matahari agar bulu cepat kering dan ternak tidak kedinginan (IPTEK, 2005). Pencukuran bulu domba dengan gunting biasa/cukur ini dilakukan minimal 6 bulan sekali dan disisakan guntingan bulu setebal kira-kira 0,5 cm. Sebelumnya domba dimandikan sehingga bulu yang dihasilkan dapat dijadikan bahan tekstil. Keempat kaki domba diikat agar tidak lari pada saat dicukur. Pencukuran dimulai dari bagian perut kedepan dan searah dengan punggung domba. Pemotongan kuku domba dipotong 4 bulan sekali dengan pahat kayu, pisau rantan, pisau kuku atau gunting (IPTEK, 2005).
Bulu domba memiliki kemampuan insulasi yang tinggi, sehingga domba dapat menerima lingkungan panas dan dingin. Rambut atau bulu hewan yang merupakan insulator sedikit menghambat pendinginan kulit. Menurut Williamson dan Payne (1993), bulu domba hendaknya dicukur setahun sekali dan paling baik dilakukan pada saat domba mengalami stres paling sedikit. Warna dan ketebalan bulu merupakan mekanisme yang terjadi dalam adaptasi terhadap keadaan iklim. Bulu yang halus dan pendek akan menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang panas. Bulu pendek, warna terang dan tekstur yang halus akan meminimalkan penyerapan panas oleh tubuh ternak. Menurut Hafez (1969) mencukur bulu domba dapat menurunkan insulasi bulu dan meningkatkan pelepasan panas oleh angin dan meningkatkan kualitas semen pejantan pada musim panas.
Konveksi bebas adalah kejadian dimana temperatur udara meningkat yang mengakibatkan kepadatannya menurun dan udara bergerak ke atas meninggalkan tubuh ternak. Dihambatnya pergerakan udara oleh bulu dapat menurunkan laju transfer panas secara konvektif. Hewan yang telah beradaptasi dengan lingkungan panas memiliki ketebalan penutup tubuh (bulu) yang dangkal. Adanya angin atau pergerakan hewan dapat meningkatkan pelepasan panas secara konvektif, hal demikian disebut forced convection. Pencukuran bulu biasa dilakukan oleh peternak rakyat untuk menjaga kebersihan dan kesehatan ternak. Peternak di Jawa Barat biasa melakukan pencukuran setiap 4-5 bulan sekali.
Menurut Tomazweska et al. (1993) pencukuran bulu domba yang dipelihara dalam kandang tertutup tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, konsumsi air atau pakan, suhu rektal, kecepatan pernafasan atau denyut nadi. Selanjutnya Tomazweska et al., (1993), menyatakan bahwa pencukuran akan menambah kenyamanan ternak dan penurunan infasi ektoparasit kalau ternak tersebut di kandangkan. Domba yang tidak pernah dicukur bulunya akan menjadi sangat kotor dan akan sulit untuk dibersihkan, kondisi bulu yang seperti ini merupakan tempat yang baik untuk bersarangnya penyakit, parasit dan jamur yang dapat membahayakan kesehatan ternak. Tujuan dilakukan pencukuran yaitu untuk menjaga kesehatan dari kuman penyakit, parasit-parasit luar (ektoparasit) seperti kutu serta penyakit kulit lainnya yang disebabkan oleh jamur. Selain untuk pencegahan penyakit, pencukuran juga dilakukan untuk memperindah domba terutama pejantan. Pencukuran yang pertama dilakukan pada waktu domba telah berumur lebih dari 6 bulan agar domba tidak stres.
Daftar Pustaka
Hafez, E. S. E. 1969. Prenatal Growth. In Animal Growth and Nutrition, Hafez, E. S. E. dan Dyer (Eds). Leo and Feiger-Philadelphia.
IPTEK, 2001. Teknologi Tepat Guna : Budidaya Ternak Domba. IPTEKnet, Jakarta. ( http://www.ristek .go.id ) [10 Juni 2011].
Tomazweska, M. W., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner & T. R. Wiradarya.1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
Williamson, M. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Karkas
dan potongan karkas dapat diuraikan secara fisik menjadi komponen jaringan daging
tanpa lemak (lean), lemak, dan tulang (Davendra dan Bade, 1992). Komposisi
karkas bervariasi pada karkas-karkas yang beratnya berbeda. Perubahan komposisi
karkas sebanding dengan bertambahnya bobot karkas itu sendiri. Bobot karkas
yang semakin tinggi diikuti dengan pertambahan persentase lemak dan menurunnya
persentase daging dan tulang. Tulang sebagai kerangka tubuh merupakan komponen
yang tumbuh dan berkembang paling dini kemudian disusul oleh daging atau otot
dan yang paling akhir jaringan lemak (Soeparno, 1991).
Daging
Daging
adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan yang sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya
(Soeparno, 1994). Komposisi daging diperkirakan terdiri atas 75% air, 19%
protein, 3,5% substansi non protein yang larut dan 2,5% lemak (Lawrie, 1995). Daging domba memiliki serat yang lebih halus
dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat padat, berwarna merah
muda, konsistensinya cukup tinggi, lemaknya terdapat di bawah kulit yaitu
antara otot dan kulit, dagingnya sedikit berbau amonial (prengus). Daging domba
mengandung protein 17,1% dan lemak 14,8%.
Tulang
Tulang
adalah jaringan pembentukan kerangka tubuh, yang mempunyai peranan penting bagi
pertumbuhan ternak. Menurut Pulungan dan Rangkuti (1981) bahwa pertumbuhan
relatif tulang lebih kecil dibandingkan dengan bobot karkas dengan perkembangan
yang lebih kecil atau dengan kata lain persentase tulang berkurang dengan
meningkatnya karkas. Tulang akan bertambah selama hidup ternak dan pada ternak
tua terjadi pembentukan tulang yang berasal dari tulang rawan yang
mempertautkan tulang dengan tendon atau ligamentum.
Lemak
Lemak
merupakan salah satu sumber energi yang memberikan kalori paling tinggi. Lemak
mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda, pertumbuhan lemak sangat lambat,
tetapi pada saat fase penggemukan, pertumbuhannya meningkat dan cepat (Berg dan
Butterfield, 1976). Menurut Forrest et. al.(1975) perlemakan mula-mula
terjadi di sekitar organ-organ internal, ginjal dan alat pencernaan kemudian
lemak disimpan pada jaringan ikat sekitar urat daging di bawah kulit, sebelum
urat daging dan antara urat daging. Jaringan lemak yang terdapat diantara urat
daging tidak hanya memperlunak daging, tetapi juga memperlezat rasa.
Permatasari (1992) menyatakan bahwa timbunan lemak daging domba putih lebih
padat daripada timbunan lemak daging kambing. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
perlemakan pada karkas yaitu komposisi pakan yang diberikan, faktor genetik
ternak atau keterkaitan antara kedua faktor tersebut (Leat, 1976)
selayangpandang
20:58
Admin
Bandung IndonesiaKomposisi Fisik Karkas Domba
Karkas
dan potongan karkas dapat diuraikan secara fisik menjadi komponen jaringan daging
tanpa lemak (lean), lemak, dan tulang (Davendra dan Bade, 1992). Komposisi
karkas bervariasi pada karkas-karkas yang beratnya berbeda. Perubahan komposisi
karkas sebanding dengan bertambahnya bobot karkas itu sendiri. Bobot karkas
yang semakin tinggi diikuti dengan pertambahan persentase lemak dan menurunnya
persentase daging dan tulang. Tulang sebagai kerangka tubuh merupakan komponen
yang tumbuh dan berkembang paling dini kemudian disusul oleh daging atau otot
dan yang paling akhir jaringan lemak (Soeparno, 1991).
Daging
Daging
adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan yang sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya
(Soeparno, 1994). Komposisi daging diperkirakan terdiri atas 75% air, 19%
protein, 3,5% substansi non protein yang larut dan 2,5% lemak (Lawrie, 1995). Daging domba memiliki serat yang lebih halus
dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat padat, berwarna merah
muda, konsistensinya cukup tinggi, lemaknya terdapat di bawah kulit yaitu
antara otot dan kulit, dagingnya sedikit berbau amonial (prengus). Daging domba
mengandung protein 17,1% dan lemak 14,8%.
Tulang
Tulang
adalah jaringan pembentukan kerangka tubuh, yang mempunyai peranan penting bagi
pertumbuhan ternak. Menurut Pulungan dan Rangkuti (1981) bahwa pertumbuhan
relatif tulang lebih kecil dibandingkan dengan bobot karkas dengan perkembangan
yang lebih kecil atau dengan kata lain persentase tulang berkurang dengan
meningkatnya karkas. Tulang akan bertambah selama hidup ternak dan pada ternak
tua terjadi pembentukan tulang yang berasal dari tulang rawan yang
mempertautkan tulang dengan tendon atau ligamentum.
Lemak
Lemak
merupakan salah satu sumber energi yang memberikan kalori paling tinggi. Lemak
mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda, pertumbuhan lemak sangat lambat,
tetapi pada saat fase penggemukan, pertumbuhannya meningkat dan cepat (Berg dan
Butterfield, 1976). Menurut Forrest et. al.(1975) perlemakan mula-mula
terjadi di sekitar organ-organ internal, ginjal dan alat pencernaan kemudian
lemak disimpan pada jaringan ikat sekitar urat daging di bawah kulit, sebelum
urat daging dan antara urat daging. Jaringan lemak yang terdapat diantara urat
daging tidak hanya memperlunak daging, tetapi juga memperlezat rasa.
Permatasari (1992) menyatakan bahwa timbunan lemak daging domba putih lebih
padat daripada timbunan lemak daging kambing. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
perlemakan pada karkas yaitu komposisi pakan yang diberikan, faktor genetik
ternak atau keterkaitan antara kedua faktor tersebut (Leat, 1976)
Penggemukkan
merupakan cara pemberian pakan yang umum dilakukan pada domba dengan tujuan
untuk meningkatkan flavor, keempukkan, dan kualitas daging sesuai
permintaan konsumen. Penggemukan umumnya dilakukan lewat pemberian pakan kaya
energi, yaitu karbohidrat dan lemak. Tujuan penggemukan adalah untuk
memperbaiki kualitas karkas atau daging (Ensminger, 2002).
Anggorodi
(1990) menyatakan bahwa tujuan usaha penggemukkan antara lain untuk memperoleh
pertambahan bobot badan yang relatif lebih tinggi dengan memperhitungkan nilai
konversi pakan dalam pembentukan jaringan tubuh termasuk otot daging dan lemak,
serta menghasilkan karkas dan daging yang berkualitas tinggi. Menurut Sudarmono
dan Sugeng (2007) tujuan penggemukkan adalah untuk menghasilkan jumlah dan
kualitas daging yang baik sebagaimana dikehendaki konsumen.
Penggemukkan Domba
Penggemukkan
merupakan cara pemberian pakan yang umum dilakukan pada domba dengan tujuan
untuk meningkatkan flavor, keempukkan, dan kualitas daging sesuai
permintaan konsumen. Penggemukan umumnya dilakukan lewat pemberian pakan kaya
energi, yaitu karbohidrat dan lemak. Tujuan penggemukan adalah untuk
memperbaiki kualitas karkas atau daging (Ensminger, 2002).
Anggorodi
(1990) menyatakan bahwa tujuan usaha penggemukkan antara lain untuk memperoleh
pertambahan bobot badan yang relatif lebih tinggi dengan memperhitungkan nilai
konversi pakan dalam pembentukan jaringan tubuh termasuk otot daging dan lemak,
serta menghasilkan karkas dan daging yang berkualitas tinggi. Menurut Sudarmono
dan Sugeng (2007) tujuan penggemukkan adalah untuk menghasilkan jumlah dan
kualitas daging yang baik sebagaimana dikehendaki konsumen.
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat
hidup, bentuk, demensi linier, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen
tubuh seperti otot, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 1994).
Menurut Anggorodi (1990) pertumbuhan mencakup pertumbuhan dalam bentuk dan
berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, jantung, otak
dan semua jaringan-jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) dan
alat-alat tubuh.
Pertambahan bobot karkas segera setelah lahir mengandung proporsi
daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang, dan kadar lemak rendah.
Menjelang bobot badan dewasa, proporsi urat daging dalam pertambahan bobot
badan menurun sedikit, komponen tulang dari pertambahan bobot badan hampir
tidak bertambah dan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan tinggi dan
terus meningkat. Pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh
pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan
tadi. Fase ini disebut fase finish (Parakkasi, 1999).
Menurut Cole (1974), kurva pertumbuhan ternak dibagi menjadi tiga bagian
yaitu fase dipercepat, titik infleksi dan fase diperlambat. Selama fase
dipercepat (akselerasi) ukuran tubuh bertambah, setelah terjadi penurunan
kecepatan pertumbuhan (seperti yang ditunjukkan pada kurva sigmoidal) kenaikan
berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi lemak yang terjadi pada
kira-kira sepertiga dari berat akhir. Laju pertumbuhan domba bervariasi antara
20 sampai 200 gr per hari (Gatenby, 1991). Menurut Soeparno (1998), faktor
genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang
meliputi distribusi berat, dan komposisi kimia komponen karkas.
Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25%
setelah enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan sesuai
kebutuhannya (Herman, 2003). Domba jantan muda memiliki potensi untuk tumbuh
lebih cepat daripada betina muda, pertambahan bobot badan lebih cepat, konsumsi
pakan lebih banyak dan penggunaan pakan yang lebih efisien untuk pertumbuhan
badan (Anggorodi, 1990). Sekresi testosteron pada jantan menyebabkan sekresi
androgen tinggi sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang lebih cepat, terutama
setelah munculnya sifat-sifat kelamin sekunder pada ternak jantan (Soeparno,
1994). Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik
atau faktor keturunan, faktor lingkungan seperti iklim, hormon, kastrasi dan
jenis kelamin.
Pertumbuhan Domba Lokal
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat
hidup, bentuk, demensi linier, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen
tubuh seperti otot, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 1994).
Menurut Anggorodi (1990) pertumbuhan mencakup pertumbuhan dalam bentuk dan
berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, jantung, otak
dan semua jaringan-jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) dan
alat-alat tubuh.
Pertambahan bobot karkas segera setelah lahir mengandung proporsi
daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang, dan kadar lemak rendah.
Menjelang bobot badan dewasa, proporsi urat daging dalam pertambahan bobot
badan menurun sedikit, komponen tulang dari pertambahan bobot badan hampir
tidak bertambah dan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan tinggi dan
terus meningkat. Pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh
pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan
tadi. Fase ini disebut fase finish (Parakkasi, 1999).
Menurut Cole (1974), kurva pertumbuhan ternak dibagi menjadi tiga bagian
yaitu fase dipercepat, titik infleksi dan fase diperlambat. Selama fase
dipercepat (akselerasi) ukuran tubuh bertambah, setelah terjadi penurunan
kecepatan pertumbuhan (seperti yang ditunjukkan pada kurva sigmoidal) kenaikan
berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi lemak yang terjadi pada
kira-kira sepertiga dari berat akhir. Laju pertumbuhan domba bervariasi antara
20 sampai 200 gr per hari (Gatenby, 1991). Menurut Soeparno (1998), faktor
genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang
meliputi distribusi berat, dan komposisi kimia komponen karkas.
Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25%
setelah enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan sesuai
kebutuhannya (Herman, 2003). Domba jantan muda memiliki potensi untuk tumbuh
lebih cepat daripada betina muda, pertambahan bobot badan lebih cepat, konsumsi
pakan lebih banyak dan penggunaan pakan yang lebih efisien untuk pertumbuhan
badan (Anggorodi, 1990). Sekresi testosteron pada jantan menyebabkan sekresi
androgen tinggi sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang lebih cepat, terutama
setelah munculnya sifat-sifat kelamin sekunder pada ternak jantan (Soeparno,
1994). Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik
atau faktor keturunan, faktor lingkungan seperti iklim, hormon, kastrasi dan
jenis kelamin.
Domba lokal
merupakan domba asli Indonesia yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi
iklim tropis dan memiliki sifat seasonal polyestroes sehingga dapat
beranak sepanjang tahun. Karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil,
lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam dan hasil daging relatif sedikit
dengan rata-rata bobot potong 20 kg (Edey, 1983).
Pendapat lain
menyatakan bahwa bobot dewasa mencapai 30-40 kg pada jantan dan betina 20-25 kg
dengan persentase karkas 44-49% (Tiesnamurti, 1992). Sifat lain dari domba
lokal tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata,
hidung dan bagian lainnya (Edey, 1983; Mulyaningsih, 2006; Davendra dan
McLeroy, 1992). Selain memiliki bentuk tubuh yang ramping, pola warna bulu
sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan
hitam (Tiesnamurti, 1992).
Ekor pada domba
lokal umumnya pendek (Davendra dan McLeroy, 1992), bentuk tipis dan tidak
menimbulkan adanya timbunan lemak (Mulyaningsih, 2006). Ukuran panjang ekor
rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti,
1992). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil sedangkan betina biasanya
tidak bertanduk (Edey, 1983; Davendra dan McLeroy, 1992).
Pesona Legiun Domba Garut, kebanggan indonesia |
Jenis domba lokal
yang ada di Indonesia menurut Iniguez et al., (1991) terdapat tiga
jenis, yaitu Jawa ekor tipis, Jawa ekor gemuk dan Sumatra ekor tipis.
Berdasarkan Inounu dan Diwyanto (1996) terdapat dua tipe domba yang paling
menonjol di Indonesia, yaitu domba ekor tipis (DET) dan domba ekor gemuk (DEG)
dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe. Sedangkan menurut Salamena
(2003), domba terkelompok menjadi domba ekor tipis (Javanese thin tailed),
domba ekor gemuk (Javanese fat tailed) dan domba priangan atau dikenal juga
sebagai domba Garut. Asal-usul domba ini tidak diketahui secara pasti, namun
diduga DET berasal dari India dan DEG berasal dari Asia Barat (Willianson dan
Payne, 1993).
Daftar Pustaka
Davendra, C. & G. B. McLeroy. 1992. Sheep Breeds.
Dalam : C. Davendra dan G. B. McLeroy (Editor). Goat and Sheep Production in
the Tropic. ELBS Longman Group Ltd. London.
Edey, T. N. 1983. Tropical Sheep and Goat Production.
Australian Universities International Development Program (AUIDP). Camberra.
Iniguez, L.. M. Sanhez & S. P. Ginting. 1991.
Productivity of Sumatran Sheep in a system integrated with rubber plantation.
Small Ruminan. Res. 5 : 303-307.
Inounu, I. & K. Dwiyanto. 1996. Pengembangan ternak
domba di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XV : 61-68.
Salamena, J. F. 2003. Strategi pemuliaan ternak domba
pedaging di Indonesia. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tiesnamurti, B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak
ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Potensi ruminansia kecil
Indonesia bagian timur. Prosiding Lokakarya Mataram, Lombok, Nusa Tenggara
Barat. BPT, Bogor.
Tiesnamurti, B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak
ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Potensi ruminansia kecil
Indonesia bagian timur. Prosiding Lokakarya Mataram, Lombok, Nusa Tenggara
Barat. BPT, Bogor.
Williamson G. & W. J. A. Payne. 1993. Introduction
to Animal Husbandry in the Tropics. 5 th Ed. Longmans Green and Company, Ltd.
London.
Domba Lokal Indonesia
Domba lokal
merupakan domba asli Indonesia yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi
iklim tropis dan memiliki sifat seasonal polyestroes sehingga dapat
beranak sepanjang tahun. Karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil,
lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam dan hasil daging relatif sedikit
dengan rata-rata bobot potong 20 kg (Edey, 1983).
Pendapat lain
menyatakan bahwa bobot dewasa mencapai 30-40 kg pada jantan dan betina 20-25 kg
dengan persentase karkas 44-49% (Tiesnamurti, 1992). Sifat lain dari domba
lokal tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata,
hidung dan bagian lainnya (Edey, 1983; Mulyaningsih, 2006; Davendra dan
McLeroy, 1992). Selain memiliki bentuk tubuh yang ramping, pola warna bulu
sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan
hitam (Tiesnamurti, 1992).
Ekor pada domba
lokal umumnya pendek (Davendra dan McLeroy, 1992), bentuk tipis dan tidak
menimbulkan adanya timbunan lemak (Mulyaningsih, 2006). Ukuran panjang ekor
rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti,
1992). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil sedangkan betina biasanya
tidak bertanduk (Edey, 1983; Davendra dan McLeroy, 1992).
Pesona Legiun Domba Garut, kebanggan indonesia |
Jenis domba lokal
yang ada di Indonesia menurut Iniguez et al., (1991) terdapat tiga
jenis, yaitu Jawa ekor tipis, Jawa ekor gemuk dan Sumatra ekor tipis.
Berdasarkan Inounu dan Diwyanto (1996) terdapat dua tipe domba yang paling
menonjol di Indonesia, yaitu domba ekor tipis (DET) dan domba ekor gemuk (DEG)
dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe. Sedangkan menurut Salamena
(2003), domba terkelompok menjadi domba ekor tipis (Javanese thin tailed),
domba ekor gemuk (Javanese fat tailed) dan domba priangan atau dikenal juga
sebagai domba Garut. Asal-usul domba ini tidak diketahui secara pasti, namun
diduga DET berasal dari India dan DEG berasal dari Asia Barat (Willianson dan
Payne, 1993).
Daftar Pustaka
Davendra, C. & G. B. McLeroy. 1992. Sheep Breeds.
Dalam : C. Davendra dan G. B. McLeroy (Editor). Goat and Sheep Production in
the Tropic. ELBS Longman Group Ltd. London.
Edey, T. N. 1983. Tropical Sheep and Goat Production.
Australian Universities International Development Program (AUIDP). Camberra.
Iniguez, L.. M. Sanhez & S. P. Ginting. 1991.
Productivity of Sumatran Sheep in a system integrated with rubber plantation.
Small Ruminan. Res. 5 : 303-307.
Inounu, I. & K. Dwiyanto. 1996. Pengembangan ternak
domba di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XV : 61-68.
Salamena, J. F. 2003. Strategi pemuliaan ternak domba
pedaging di Indonesia. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tiesnamurti, B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak
ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Potensi ruminansia kecil
Indonesia bagian timur. Prosiding Lokakarya Mataram, Lombok, Nusa Tenggara
Barat. BPT, Bogor.
Tiesnamurti, B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak
ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Potensi ruminansia kecil
Indonesia bagian timur. Prosiding Lokakarya Mataram, Lombok, Nusa Tenggara
Barat. BPT, Bogor.
Williamson G. & W. J. A. Payne. 1993. Introduction
to Animal Husbandry in the Tropics. 5 th Ed. Longmans Green and Company, Ltd.
London.
Domba sejak zaman
dulu sudah mulai diternakkan orang. Ternak domba yang ada saat ini merupakan
hasil seleksi berpuluh-puluh tahun, dan pusat domestikasinya diperkirakan
berada dekat dengan laut kaspia yang tepatnya berada di daerah Stepa
Aralo-Caspian sejak massa neolitik. Peternakan domba ini kemudian berkembang ke
arah timur yaitu sub-kontinen India dan Asia tenggara, ke Barat yaitu ke arah
Asia Barat, Eropa dan Afrika, kemudian ke Amerika, Australia dan Kepulauan
tropik Oceania (Tomaszewska et al., 1993).
Domba Liar Moufflon |
Domba yang
dikenal di seluruh dunia sekarang ini berasal dari keturunan domba liar, yaitu
Moufflon atau Ovis Musimon; Argali atau Ovis Ammon; Urial atau Ovis Vignei dan
Ovis Arkel. Domba-domba tersebut didomestikasi, tetapi menurut Tomaszewska et
al., (1993) yang didomestikasi terlebih dahulu adalah kambing kemudian baru
domba. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal
tertentu, diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada
tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak (Kammlade dan Kammlade, 1955).
Domba
diklasifikasikan menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Family : Bovidae
Genus : Ovis
Species : Ovis aries
Domba yang ada di
Indonesia untuk saat ini diperkirakan asal-usulnya adalah berasal dari pedagang-pedagang
yang melakukan aktivitas membeli rempah-rempah di Indonesia pada zaman dahulu.
Pedagang tersebut pada umumnya berasal dari Asia Baratdaya, dan domba yang ada
tersebut pada umumnya termasuk bangsa Ekor Gemuk.
Daftar Pustaka
Blakely, J. & D. H. Bade. 1992.
Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kammlade, W. G., Sr. & W. G., Yr.
Kammlade. 1955. Sheep Science. Lippicot Co. New York.
Tomaszewska, M. W., I. M. Mastika, A.
Djajanegara, S. Gardiner & T. R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan
Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
selayangpandang 21:37 Admin Bandung Indonesia
Domestikasi Domba
Domba sejak zaman
dulu sudah mulai diternakkan orang. Ternak domba yang ada saat ini merupakan
hasil seleksi berpuluh-puluh tahun, dan pusat domestikasinya diperkirakan
berada dekat dengan laut kaspia yang tepatnya berada di daerah Stepa
Aralo-Caspian sejak massa neolitik. Peternakan domba ini kemudian berkembang ke
arah timur yaitu sub-kontinen India dan Asia tenggara, ke Barat yaitu ke arah
Asia Barat, Eropa dan Afrika, kemudian ke Amerika, Australia dan Kepulauan
tropik Oceania (Tomaszewska et al., 1993).
Domba Liar Moufflon |
Domba yang
dikenal di seluruh dunia sekarang ini berasal dari keturunan domba liar, yaitu
Moufflon atau Ovis Musimon; Argali atau Ovis Ammon; Urial atau Ovis Vignei dan
Ovis Arkel. Domba-domba tersebut didomestikasi, tetapi menurut Tomaszewska et
al., (1993) yang didomestikasi terlebih dahulu adalah kambing kemudian baru
domba. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal
tertentu, diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada
tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak (Kammlade dan Kammlade, 1955).
Domba
diklasifikasikan menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Family : Bovidae
Genus : Ovis
Species : Ovis aries
Domba yang ada di
Indonesia untuk saat ini diperkirakan asal-usulnya adalah berasal dari pedagang-pedagang
yang melakukan aktivitas membeli rempah-rempah di Indonesia pada zaman dahulu.
Pedagang tersebut pada umumnya berasal dari Asia Baratdaya, dan domba yang ada
tersebut pada umumnya termasuk bangsa Ekor Gemuk.
Daftar Pustaka
Blakely, J. & D. H. Bade. 1992.
Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kammlade, W. G., Sr. & W. G., Yr.
Kammlade. 1955. Sheep Science. Lippicot Co. New York.
Tomaszewska, M. W., I. M. Mastika, A.
Djajanegara, S. Gardiner & T. R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan
Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Karkas
merupakan bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah, kepala, kaki dan
organ dalam. Produksi karkas dapat dilihat dari bobot tubuh, semakin tinggi
bobot tubuh maka produksi karkas semakin meningkat. Nilai seekor ternak
ditentukan oleh persentase karkas, banyaknya proporsi bagian karkas yang
bernilai tinggi dan rasio antara daging dan tulang serta kadar lemak. Soeparno
(1998) mengatakan bahwa kualitas karkas dan daging sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti genetik, jenis kelamin, umur dan pakan. Selain itu
juga dalam proses penanganan pascapanen seperti proses pelayuan, proses
pemasakan, pH karkas dan daging, lemak dan proses penyimpanan juga turut
mempengaruhi. Sementara bagi kualitas daging seperti warna daging, keempukan,
tekstur, aroma dan cita rasa turut juga berpengaruh terhadap daging yang
dihasilkan.
Perbandingan
persentase karkas, otot dada, paha dan lemak dari itik Peking, Muscovy,
dan persilangannya pada umur 12 minggu (Tabel).
Tabel.
Perbandingan kualitas karkas itik Peking, Muscovy dan persilangannya
(jantan umur 12 minggu)
Parameter
|
Peking (P)
|
Persilangan (P x M)
|
Muscovy (M)
|
Bobot hidup (Kg)
Karkas(%)
Otot dada(%)
Otot paha (%)
Lemak abdominal(%)
Lemak subcutan (%)
|
2776.0
60.6
10.8
15.4
2.3
6.1
|
3102.0
61.8
14.1
15.9
1.2
3.9
|
3753.0
62.6
13.7
17.0
2.9
4.3
|
Sumber
: Leclercq dan de Carville (1985)
Matitaputty
(2002), melaporkan bahwa persentase karkas mandalung yang dipelihara selama 10
minggu adalah sebesar 55.14% dengan bobot karkas 1101.2g dan bobot potong
1991.17g. Selanjutnya persentase daging dan tulang bagian dada masing-masing
sebesar 79.77% daging : 20.23% tulang; paha atas sebesar 87.16% daging : 12.84%
tulang dan paha bawah sebesar 78.09g daging : 21.91g tulang. Muryanto (2002)
melaporkan bahwa persilangan ayam kampung dengan ayam ras petelur dengan umur
pemotongan 12 minggu, menghasilkan bobot karkas dan persentase karkas
masing-masing sebesar 757.3g dan 58.8%. Hasil yang diperoleh masih lebih rendah
bila dibandingkan dengan mandalung yang memiliki bobot potong dan karkas yang
tinggi dan umur pemotongan yang relatif pendek yakni 10 minggu.
Retailleau
(1999) dalam penelitiannya melihat produksi karkas itik jantan Alabio umur 10
minggu dan itik Peking jantan dan betina umur 8 minggu, menunjukkan bahwa
produksi karkas itik jantan Alabio 60.69%, sedangkan itik Peking
jantan 66.55% dan betina 67.26%. Hasil ini memperlihatkan produksi karkas itik
lokal lebih rendah dari itik Peking, karena pada itik Pekin sudah dilakukan
pemuliaan khusus untuk produksi daging.
Daging
itik mempunyai konsumen yang masih rendah, karena kesukaan konsumen terhadap daging
itik tidak seperti kesukaan terhadap daging ayam. Daging itik merupakan salah
satu sumber protein hewani, karena memiliki kandungan protein dengan kualitas
yang baik. Hal ini didukung oleh Jun et al. (1996), yang menyatakan
bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18.6 – 19% dan kandungan lemak
berkisar antara 2.7–6.8%. Damayanti (2003) melaporkan bahwa kandungan lemak
daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3.84% dan
8.47%, sedangkan kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59.32% dan
52.67%.
Hustiany
(2001) dalam penelitiannya pada itik Jawa afkir (12 bulan) mendapatkan
kandungan lemak daging dada itik betina dengan dan tanpa kulit masing-masing
9.46% dan 1.53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya dengan dan tanpa
kulit masing-masing 12.21% dan 4.16%. Chartrin et al. 2006, melaporkan
bahwa kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar
4.81%.
Menurut
Srigandono (1997), komposisi nutrisi daging itik tidak berbeda jauh bila dibandingkan
dengan daging ayam. Kandungan protein daging itik sebesar 20.8% dan daging ayam
sebesar 21.4%. Kandungan lemaknya adalah dua kali lebih tinggi dari daging ayam
(8.2% vs 4.8%), tetapi kandungan tersebut masih jauh lebih rendah apabila
dibandingkan dengan kandungan lemak ternak ruminansia seperti sapi (17%), domba
(22.4%) dan babi (32%).
Komposisi
kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada umur, pakan, dan jenis
kelamin. Kandungan abu, protein dan lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih
rendah (P<0 .01="" 7="" 8="" 9="" dan="" daripada="" i="" minggu="" risir="" umur="">et al0>
.
2009). Demikian pula pada itik pekin A44, kandungan protein dan lemak pada umur
7 dan 8 minggu lebih rendah daripada umur 9 minggu (Witak 2007). Kandungan
lemak pada daging unggas sangat bervariasi jumlahnya dan ditentukan oleh umur,
jenis kelamin dan spesies unggas. Menurut Rukmiasih et al. (2010)
semakin bertambahnya umur unggas, maka kadar lemak akan semakin tinggi.
Perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit. Hal ini dapat
kita lihat pada unggas air seperti itik memiliki kulit yang tebal yang
disebabkan karena penyebaran lemak di bawah kulit (lemak subkutan).
Menurut
Smith et al. (1993) daging itik sebagian besar mengandung serabut merah
dan sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut
merah sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16%. Perbedaan macam serabut otot
penyusun daging tersebut, akan berpengaruh pada komposisi daging, sifat
biokimiawi dan karakteristik sensori serta nilai ekonomis. Daging yang sebagian
besar terdiri atas serabut merah mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan
kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging yang tersusun serabut
putih (Soeparno 1998).
Berdasarkan
pengamatan histologi pada serabut otot itik dan entog, yang dilakukan
Sudjatinah (1998), diketahui bahwa ukuran serabut otot dipengaruhi oleh jenis
unggas. Pada umur yang sama, ukuran serabut otot itik lebih besar dibandingkan
dengan entog. Namun menurut Anggraeni (1999) diameter serabut otot tidak hanya
dipengaruhi oleh jenis unggas tetapi juga dipengaruhi oleh umur ternak. Semakin
tua itik dan entog, diameter serabut ototnya semakin besar. Otot yang
berdiameter kecil akan menghasilkan daging dengan penampilan yang halus dan
empuk, sebaliknya otot yang semakin besar akan menghasilkan daging yang
berpenampilan kasar dan liat.
Penelitian
yang berhubungan dengan pasca panen daging itik sudah banyak dilakukan.
Abubakar (2007) melaporkan bahwa penyimpanan karkas itik selama lima jam pada
suhu kamar dan suhu rendah (15º – 18ºC) tidak mempengaruhi keempukan daging itik. Daya ikat
airnya terjadi peningkatan dalam tiga jam penyimpanan, tetapi pH nya semakin
turun sejak jam pertama hingga jam keempat penyimpanan. Penelitian lain tentang
pengaruh Curring dan pengasapan terhadap mutu dan cita rasa daging itik
tua, hasilnya menunjukkan bahwa aroma tidak berbeda nyata sedangkan warna,
keempukan dan rasa berbeda nyata. Daging itik curring paling disukai
konsumen dengan kadar garam 3.86% dan kadar air 60.15%.
Febriana
(2006) melaporkan bahwa sifat organoleptik daging dan sosis dari itik yang
mendapat tepung daun beluntas (Pluchea indica L) dalam pakan sebanyak 1%
dan 2%, dapat menurunkan intensitas bau daging itik dan meningkatkan kesukaan
panelis terhadap sosis daging itik karena rasa dan tekstur sosis yang lembut.
Nasution (2003) melaporkan bahwa penggunaan jeruk nipis dengan konsentrasi 1%
memberikan mutu bakso itik yang lebih baik, akan tetapi dari segi penampilan
warnanya kurang disukai konsumen. Sementara penelitian yang dilakukan
Triyantini (1998) pada pembuatan dendeng itik menyatakan bahwa, dengan
penambahan bumbu kunyit, jahe, sereh dan lengkuas, ternyata masih kurang
disukai oleh konsumen.
Daftar
Pustaka
Abubakar. 2007. Inovasi teknologi
pengolahan hasil ternak itik. Di dalam : Seminar nasional Inovasi dan Alih
Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Prosiding Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian; Medan, 5 Juni 2007. Medan. Buku 2
hal : 689-698.
Anggraeni. 1999. Pertumbuhan alometri
dan tinjauan morfologi serabut otot dada (M.perctoralis dan m.
Supracoracoideus) pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Damayanti AP. 2003. Kinerja biologis
komparatif antara itik, entog dan mandalung [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Erisir Z, Poyraz O, Onbasilar EE,
Erdem E, Oksuztepe GA. 2009. Effects of housing system, swimming pool and slaughter
age on duck performance, carcass and meat characteristics. J Anim Vet Adv.
8: 1864-1869.
Hustiany R, Apriyantono A,
Hermanianto J, Hardjosworo PS. 2001. Identifikasi komponen volatil daging itik
lokal Jawa. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di
Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air
sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB.
Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 192-201.
Jun K, Rock OH, Man jin O. 1996.
Chemical Composition of Special. Chungnam Taehakkyo. J Poult Meat 23 (1)
: 90 – 98.
Leclercq B, Carville de H. 1985. Growth
and body composition of Muscovy duck. Di dalam : Ferrell, DJ and Stapleton
P. Ed. Duck Production Science and World Practise. University of New
England : pp 102 -109.
Matitaputty PR. 2002. Upaya
memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung melalui fortifikasi pakan
dengan imbuhan pakan avilamisina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Muryanto. 2002. Pertumbuhan alometri
dan tinjauan histology otot dada pada ayam kampung dan hasil persilangannya
dengan ayam ras petelur betina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Retailleau B. 1999. Comparison of the
growth and body composition of 3 types of ducks: Pekin, Muscovy and Mule.
Proceedings of 1st Worlds Waterfowl Conference.
Taiwan-China. pp 597-602.
Rukmiasih, Hardjosworo PS, Piliang
WG, Hermanianto J, Apriyantono A. 2010. Penampilan, kualitas kimia dan off-odor
daging itik (Anas plathyrynchos) yang diberi pakan mengandung
beluntas (Pluchea indica L.Less). J Med Pet 33 (2): 68-79.
Smith DP, Fletcher DL, Burhr RJ,
Beyer RS. 1993. Peking duckling and broiler chicken pectoralis muscule
strukture and composition. J Poult Sci 72 : 202-208.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi
Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Srigandono B. 1997. Beternak Itik
Pedaging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudjatinah. 1998. Pengaruh lama
pelayuan terhadap sifat-sifat fisik dan penampilan histologi jaringan otot dada
dan paha pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Witak B. 2007. Tissue composition of
carcass, meat quality and fatty acid content of ducks of a commercial breeding
line at different age. Arch. Tierz., Dummerstorf 51 : 266-275.
Karkas dan Daging Itik
Karkas
merupakan bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah, kepala, kaki dan
organ dalam. Produksi karkas dapat dilihat dari bobot tubuh, semakin tinggi
bobot tubuh maka produksi karkas semakin meningkat. Nilai seekor ternak
ditentukan oleh persentase karkas, banyaknya proporsi bagian karkas yang
bernilai tinggi dan rasio antara daging dan tulang serta kadar lemak. Soeparno
(1998) mengatakan bahwa kualitas karkas dan daging sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti genetik, jenis kelamin, umur dan pakan. Selain itu
juga dalam proses penanganan pascapanen seperti proses pelayuan, proses
pemasakan, pH karkas dan daging, lemak dan proses penyimpanan juga turut
mempengaruhi. Sementara bagi kualitas daging seperti warna daging, keempukan,
tekstur, aroma dan cita rasa turut juga berpengaruh terhadap daging yang
dihasilkan.
Perbandingan
persentase karkas, otot dada, paha dan lemak dari itik Peking, Muscovy,
dan persilangannya pada umur 12 minggu (Tabel).
Tabel.
Perbandingan kualitas karkas itik Peking, Muscovy dan persilangannya
(jantan umur 12 minggu)
Parameter
|
Peking (P)
|
Persilangan (P x M)
|
Muscovy (M)
|
Bobot hidup (Kg)
Karkas(%)
Otot dada(%)
Otot paha (%)
Lemak abdominal(%)
Lemak subcutan (%)
|
2776.0
60.6
10.8
15.4
2.3
6.1
|
3102.0
61.8
14.1
15.9
1.2
3.9
|
3753.0
62.6
13.7
17.0
2.9
4.3
|
Sumber
: Leclercq dan de Carville (1985)
Matitaputty
(2002), melaporkan bahwa persentase karkas mandalung yang dipelihara selama 10
minggu adalah sebesar 55.14% dengan bobot karkas 1101.2g dan bobot potong
1991.17g. Selanjutnya persentase daging dan tulang bagian dada masing-masing
sebesar 79.77% daging : 20.23% tulang; paha atas sebesar 87.16% daging : 12.84%
tulang dan paha bawah sebesar 78.09g daging : 21.91g tulang. Muryanto (2002)
melaporkan bahwa persilangan ayam kampung dengan ayam ras petelur dengan umur
pemotongan 12 minggu, menghasilkan bobot karkas dan persentase karkas
masing-masing sebesar 757.3g dan 58.8%. Hasil yang diperoleh masih lebih rendah
bila dibandingkan dengan mandalung yang memiliki bobot potong dan karkas yang
tinggi dan umur pemotongan yang relatif pendek yakni 10 minggu.
Retailleau
(1999) dalam penelitiannya melihat produksi karkas itik jantan Alabio umur 10
minggu dan itik Peking jantan dan betina umur 8 minggu, menunjukkan bahwa
produksi karkas itik jantan Alabio 60.69%, sedangkan itik Peking
jantan 66.55% dan betina 67.26%. Hasil ini memperlihatkan produksi karkas itik
lokal lebih rendah dari itik Peking, karena pada itik Pekin sudah dilakukan
pemuliaan khusus untuk produksi daging.
Daging
itik mempunyai konsumen yang masih rendah, karena kesukaan konsumen terhadap daging
itik tidak seperti kesukaan terhadap daging ayam. Daging itik merupakan salah
satu sumber protein hewani, karena memiliki kandungan protein dengan kualitas
yang baik. Hal ini didukung oleh Jun et al. (1996), yang menyatakan
bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18.6 – 19% dan kandungan lemak
berkisar antara 2.7–6.8%. Damayanti (2003) melaporkan bahwa kandungan lemak
daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3.84% dan
8.47%, sedangkan kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59.32% dan
52.67%.
Hustiany
(2001) dalam penelitiannya pada itik Jawa afkir (12 bulan) mendapatkan
kandungan lemak daging dada itik betina dengan dan tanpa kulit masing-masing
9.46% dan 1.53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya dengan dan tanpa
kulit masing-masing 12.21% dan 4.16%. Chartrin et al. 2006, melaporkan
bahwa kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar
4.81%.
Menurut
Srigandono (1997), komposisi nutrisi daging itik tidak berbeda jauh bila dibandingkan
dengan daging ayam. Kandungan protein daging itik sebesar 20.8% dan daging ayam
sebesar 21.4%. Kandungan lemaknya adalah dua kali lebih tinggi dari daging ayam
(8.2% vs 4.8%), tetapi kandungan tersebut masih jauh lebih rendah apabila
dibandingkan dengan kandungan lemak ternak ruminansia seperti sapi (17%), domba
(22.4%) dan babi (32%).
Komposisi
kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada umur, pakan, dan jenis
kelamin. Kandungan abu, protein dan lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih
rendah (P<0 .01="" 7="" 8="" 9="" dan="" daripada="" i="" minggu="" risir="" umur="">et al0>
.
2009). Demikian pula pada itik pekin A44, kandungan protein dan lemak pada umur
7 dan 8 minggu lebih rendah daripada umur 9 minggu (Witak 2007). Kandungan
lemak pada daging unggas sangat bervariasi jumlahnya dan ditentukan oleh umur,
jenis kelamin dan spesies unggas. Menurut Rukmiasih et al. (2010)
semakin bertambahnya umur unggas, maka kadar lemak akan semakin tinggi.
Perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit. Hal ini dapat
kita lihat pada unggas air seperti itik memiliki kulit yang tebal yang
disebabkan karena penyebaran lemak di bawah kulit (lemak subkutan).
Menurut
Smith et al. (1993) daging itik sebagian besar mengandung serabut merah
dan sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut
merah sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16%. Perbedaan macam serabut otot
penyusun daging tersebut, akan berpengaruh pada komposisi daging, sifat
biokimiawi dan karakteristik sensori serta nilai ekonomis. Daging yang sebagian
besar terdiri atas serabut merah mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan
kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging yang tersusun serabut
putih (Soeparno 1998).
Berdasarkan
pengamatan histologi pada serabut otot itik dan entog, yang dilakukan
Sudjatinah (1998), diketahui bahwa ukuran serabut otot dipengaruhi oleh jenis
unggas. Pada umur yang sama, ukuran serabut otot itik lebih besar dibandingkan
dengan entog. Namun menurut Anggraeni (1999) diameter serabut otot tidak hanya
dipengaruhi oleh jenis unggas tetapi juga dipengaruhi oleh umur ternak. Semakin
tua itik dan entog, diameter serabut ototnya semakin besar. Otot yang
berdiameter kecil akan menghasilkan daging dengan penampilan yang halus dan
empuk, sebaliknya otot yang semakin besar akan menghasilkan daging yang
berpenampilan kasar dan liat.
Penelitian
yang berhubungan dengan pasca panen daging itik sudah banyak dilakukan.
Abubakar (2007) melaporkan bahwa penyimpanan karkas itik selama lima jam pada
suhu kamar dan suhu rendah (15º – 18ºC) tidak mempengaruhi keempukan daging itik. Daya ikat
airnya terjadi peningkatan dalam tiga jam penyimpanan, tetapi pH nya semakin
turun sejak jam pertama hingga jam keempat penyimpanan. Penelitian lain tentang
pengaruh Curring dan pengasapan terhadap mutu dan cita rasa daging itik
tua, hasilnya menunjukkan bahwa aroma tidak berbeda nyata sedangkan warna,
keempukan dan rasa berbeda nyata. Daging itik curring paling disukai
konsumen dengan kadar garam 3.86% dan kadar air 60.15%.
Febriana
(2006) melaporkan bahwa sifat organoleptik daging dan sosis dari itik yang
mendapat tepung daun beluntas (Pluchea indica L) dalam pakan sebanyak 1%
dan 2%, dapat menurunkan intensitas bau daging itik dan meningkatkan kesukaan
panelis terhadap sosis daging itik karena rasa dan tekstur sosis yang lembut.
Nasution (2003) melaporkan bahwa penggunaan jeruk nipis dengan konsentrasi 1%
memberikan mutu bakso itik yang lebih baik, akan tetapi dari segi penampilan
warnanya kurang disukai konsumen. Sementara penelitian yang dilakukan
Triyantini (1998) pada pembuatan dendeng itik menyatakan bahwa, dengan
penambahan bumbu kunyit, jahe, sereh dan lengkuas, ternyata masih kurang
disukai oleh konsumen.
Daftar
Pustaka
Abubakar. 2007. Inovasi teknologi
pengolahan hasil ternak itik. Di dalam : Seminar nasional Inovasi dan Alih
Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Prosiding Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian; Medan, 5 Juni 2007. Medan. Buku 2
hal : 689-698.
Anggraeni. 1999. Pertumbuhan alometri
dan tinjauan morfologi serabut otot dada (M.perctoralis dan m.
Supracoracoideus) pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Damayanti AP. 2003. Kinerja biologis
komparatif antara itik, entog dan mandalung [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Erisir Z, Poyraz O, Onbasilar EE,
Erdem E, Oksuztepe GA. 2009. Effects of housing system, swimming pool and slaughter
age on duck performance, carcass and meat characteristics. J Anim Vet Adv.
8: 1864-1869.
Hustiany R, Apriyantono A,
Hermanianto J, Hardjosworo PS. 2001. Identifikasi komponen volatil daging itik
lokal Jawa. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di
Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air
sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB.
Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 192-201.
Jun K, Rock OH, Man jin O. 1996.
Chemical Composition of Special. Chungnam Taehakkyo. J Poult Meat 23 (1)
: 90 – 98.
Leclercq B, Carville de H. 1985. Growth
and body composition of Muscovy duck. Di dalam : Ferrell, DJ and Stapleton
P. Ed. Duck Production Science and World Practise. University of New
England : pp 102 -109.
Matitaputty PR. 2002. Upaya
memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung melalui fortifikasi pakan
dengan imbuhan pakan avilamisina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Muryanto. 2002. Pertumbuhan alometri
dan tinjauan histology otot dada pada ayam kampung dan hasil persilangannya
dengan ayam ras petelur betina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Retailleau B. 1999. Comparison of the
growth and body composition of 3 types of ducks: Pekin, Muscovy and Mule.
Proceedings of 1st Worlds Waterfowl Conference.
Taiwan-China. pp 597-602.
Rukmiasih, Hardjosworo PS, Piliang
WG, Hermanianto J, Apriyantono A. 2010. Penampilan, kualitas kimia dan off-odor
daging itik (Anas plathyrynchos) yang diberi pakan mengandung
beluntas (Pluchea indica L.Less). J Med Pet 33 (2): 68-79.
Smith DP, Fletcher DL, Burhr RJ,
Beyer RS. 1993. Peking duckling and broiler chicken pectoralis muscule
strukture and composition. J Poult Sci 72 : 202-208.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi
Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Srigandono B. 1997. Beternak Itik
Pedaging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudjatinah. 1998. Pengaruh lama
pelayuan terhadap sifat-sifat fisik dan penampilan histologi jaringan otot dada
dan paha pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Witak B. 2007. Tissue composition of
carcass, meat quality and fatty acid content of ducks of a commercial breeding
line at different age. Arch. Tierz., Dummerstorf 51 : 266-275.
Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka
waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk produksi. Rukmiasih (2011) dalam
penelitiannya melihat pengaruh pemberian beluntas dalam pakan terhadap konsumsi
pakan/ekor/ minggu pada itik jantan umur 4-10 minggu menunjukkan bahwa konsumsi
pakan itik jantan yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% dalam pakan
tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun
beluntas dalam pakan tidak menurunkan palatabilitas pakan.
Konversi ransum berguna untuk mengukur produktivitas ternak, sebab
konversi ransum merupakan perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan
pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Nilai konversi ransum menunjukkan
kemampuan seekor ternak untuk mengubah pakan menjadi produk yang dihasilkan.
Semakin kecil nilai konversi ransum berarti semakin efisien ternak tersebut
dalam memanfaatkan ransum yang diperoleh untuk menaikan bobot badan per satuan
berat. Jika nilai konversi ransum tinggi menunjukkan bahwa semakin banyak
ransum yang dibutuhkan berarti kurang efisien ternak tersebut dalam
memanfaatkan ransum untuk menaikan bobot badan per satuan berat.
Beberapa penelitian tentang konversi ransum pada itik Alabio dan
Cihateup sangat beragam. Wulandari et al. (2005) dalam penelitiannya
melaporkan bahwa konversi ransum itik Cihateup jantan cenderung lebih rendah
daripada itik betina, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini
mengindikasikan bahwa itik jantan lebih efisien dalam memanfaatkan pakan untuk
pertumbuhan dibanding dengan itik betina. Pada itik Alabio konversi ransum
selama 10 minggu pemeliharaan sebesar 8.8 lebih rendah dibandingkan dengan itik
Cihateup yakni 8.92 akan tetapi setelah ditambahkan lemak sapi, konversi
ransumnya turun menjadi 7.75 untuk itik Alabio dan 7.90 untuk itik Cihateup
(Randa 2007).
Daftar Pustaka
Randa SY. 2007. Bau daging dan
performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi
komposisi antioksidan (Vitamin A, C dan E) dalam pakan [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rukmiasih. 2011. Penurunan bau amis (off-odor)
daging itik lokal dengan pemberian tepung daun beluntas (pluchea indica l.)
dalam pakan dan dampaknya terhadap performa [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wulandari WA, Hardjosworo PS, Gunawan.
2005. Kajian Karakteristik Biologis Itik Cihateup dari Kabupaten Tasikmalaya
dan Garut. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor 12 -13
September. hal : 795 -803.
selayangpandang
19:12
Admin
Bandung IndonesiaKonsumsi Ransum dan Konversi Ransum Itik
Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka
waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk produksi. Rukmiasih (2011) dalam
penelitiannya melihat pengaruh pemberian beluntas dalam pakan terhadap konsumsi
pakan/ekor/ minggu pada itik jantan umur 4-10 minggu menunjukkan bahwa konsumsi
pakan itik jantan yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% dalam pakan
tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun
beluntas dalam pakan tidak menurunkan palatabilitas pakan.
Konversi ransum berguna untuk mengukur produktivitas ternak, sebab
konversi ransum merupakan perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan
pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Nilai konversi ransum menunjukkan
kemampuan seekor ternak untuk mengubah pakan menjadi produk yang dihasilkan.
Semakin kecil nilai konversi ransum berarti semakin efisien ternak tersebut
dalam memanfaatkan ransum yang diperoleh untuk menaikan bobot badan per satuan
berat. Jika nilai konversi ransum tinggi menunjukkan bahwa semakin banyak
ransum yang dibutuhkan berarti kurang efisien ternak tersebut dalam
memanfaatkan ransum untuk menaikan bobot badan per satuan berat.
Beberapa penelitian tentang konversi ransum pada itik Alabio dan
Cihateup sangat beragam. Wulandari et al. (2005) dalam penelitiannya
melaporkan bahwa konversi ransum itik Cihateup jantan cenderung lebih rendah
daripada itik betina, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini
mengindikasikan bahwa itik jantan lebih efisien dalam memanfaatkan pakan untuk
pertumbuhan dibanding dengan itik betina. Pada itik Alabio konversi ransum
selama 10 minggu pemeliharaan sebesar 8.8 lebih rendah dibandingkan dengan itik
Cihateup yakni 8.92 akan tetapi setelah ditambahkan lemak sapi, konversi
ransumnya turun menjadi 7.75 untuk itik Alabio dan 7.90 untuk itik Cihateup
(Randa 2007).
Daftar Pustaka
Randa SY. 2007. Bau daging dan
performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi
komposisi antioksidan (Vitamin A, C dan E) dalam pakan [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rukmiasih. 2011. Penurunan bau amis (off-odor)
daging itik lokal dengan pemberian tepung daun beluntas (pluchea indica l.)
dalam pakan dan dampaknya terhadap performa [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wulandari WA, Hardjosworo PS, Gunawan.
2005. Kajian Karakteristik Biologis Itik Cihateup dari Kabupaten Tasikmalaya
dan Garut. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor 12 -13
September. hal : 795 -803.
Pada
kondisi ideal bentuk kurva pertumbuhan untuk semua spesies ternak adalah serupa
yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoidal (Soeparno 1998). Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa pertumbuhan mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian
mengalami akselerasi yaitu pertumbuhan yang cepat setelah itu mengalami
deselerasi yaitu pertumbuhan yang berangsur-angsur menurun. Pengukuran
pertumbuhan dapat mengacu pada pertambahan bobot badan. Bobot badan merupakan
salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat kuantitatif yang
dikendalikan oleh banyak gen (Stansfield 1983).
Hasil
penelitian Harahap (1993) dengan menggunakan pakan ayam broiler (R1) dan pakan
ayam broiler + dedak (R2) yang diberikan ke entok, itik lokal, mandalung 1
(itik jantan x entok betina) dan mandalung 2 (entok jantan x itik betina)
menunjukkan bahwa mandalung 1, mandalung 2 dan itik mengalami pertambahan bobot
badan tertinggi pada minggu keempat, sedangkan entok pada minggu kelima.
Penelitian pada mandalung juga, yang diberi imbuhan pakan avilamisina
menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi pada minggu keempat (330.83g),
dengan peningkatan bobot hidup 22.8 kali dari bobot awalnya (36.42g) lebih baik
dari yang tidak diberi imbuhan pakan (Matitaputty 2002).
Peningkatan
bobot badan sangat penting dan berkaitan erat dengan produksi daging. Itik MA
jantan hasil persilangan Mojosari jantan x Alabio betina yang dihasilkan di
Balai Penelitian Ternak Ciawi, mampu mencapai bobot badan 1.3 kg pada umur 8
minggu (Prasetyo et al. 2005). Pada mandalung umur 10 minggu yang diberi
imbuhan pakan avilamisina dalam ransum menghasilkan bobot hidup sebesar 2.209
kg, sementara yang tidak diberi imbuhan pakan hanya mencapai 2.061 kg
(Matitaputty 2002).
Daftar
Pustaka
Harahap D. 1993. Potensi itik
mandalung sebagai peghasil daging ditinjau dari berat karkas dan penilaian
organoleptik dagingnya dibandingkan dengan tetuanya [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Matitaputty PR. 2002. Upaya
memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung melalui fortifikasi pakan
dengan imbuhan pakan avilamisina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Prasetyo LH, Ketaren PP, Hardjosworo
PS. 2005. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Lokakarya Nasional
Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha
kecil dan menengah unggas air. Prosiding Kerjasama Balai Penelitian Ternak,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Masyarakat Ilmu Perunggasan
Indonesia (MIPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 16-17 Nopember 2005.
Ciawi, Bogor. hal : 145-161.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi
Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Stansfield WE. 1983. Theory and
Problems of Genetics. 2nd Ed. Mc Graw Hill Book Company Inc, New York.
Pertumbuhan dan Bobot Badan Itik
Pada
kondisi ideal bentuk kurva pertumbuhan untuk semua spesies ternak adalah serupa
yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoidal (Soeparno 1998). Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa pertumbuhan mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian
mengalami akselerasi yaitu pertumbuhan yang cepat setelah itu mengalami
deselerasi yaitu pertumbuhan yang berangsur-angsur menurun. Pengukuran
pertumbuhan dapat mengacu pada pertambahan bobot badan. Bobot badan merupakan
salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat kuantitatif yang
dikendalikan oleh banyak gen (Stansfield 1983).
Hasil
penelitian Harahap (1993) dengan menggunakan pakan ayam broiler (R1) dan pakan
ayam broiler + dedak (R2) yang diberikan ke entok, itik lokal, mandalung 1
(itik jantan x entok betina) dan mandalung 2 (entok jantan x itik betina)
menunjukkan bahwa mandalung 1, mandalung 2 dan itik mengalami pertambahan bobot
badan tertinggi pada minggu keempat, sedangkan entok pada minggu kelima.
Penelitian pada mandalung juga, yang diberi imbuhan pakan avilamisina
menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi pada minggu keempat (330.83g),
dengan peningkatan bobot hidup 22.8 kali dari bobot awalnya (36.42g) lebih baik
dari yang tidak diberi imbuhan pakan (Matitaputty 2002).
Peningkatan
bobot badan sangat penting dan berkaitan erat dengan produksi daging. Itik MA
jantan hasil persilangan Mojosari jantan x Alabio betina yang dihasilkan di
Balai Penelitian Ternak Ciawi, mampu mencapai bobot badan 1.3 kg pada umur 8
minggu (Prasetyo et al. 2005). Pada mandalung umur 10 minggu yang diberi
imbuhan pakan avilamisina dalam ransum menghasilkan bobot hidup sebesar 2.209
kg, sementara yang tidak diberi imbuhan pakan hanya mencapai 2.061 kg
(Matitaputty 2002).
Daftar
Pustaka
Harahap D. 1993. Potensi itik
mandalung sebagai peghasil daging ditinjau dari berat karkas dan penilaian
organoleptik dagingnya dibandingkan dengan tetuanya [disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Matitaputty PR. 2002. Upaya
memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung melalui fortifikasi pakan
dengan imbuhan pakan avilamisina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Prasetyo LH, Ketaren PP, Hardjosworo
PS. 2005. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Lokakarya Nasional
Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha
kecil dan menengah unggas air. Prosiding Kerjasama Balai Penelitian Ternak,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Masyarakat Ilmu Perunggasan
Indonesia (MIPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 16-17 Nopember 2005.
Ciawi, Bogor. hal : 145-161.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi
Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Stansfield WE. 1983. Theory and
Problems of Genetics. 2nd Ed. Mc Graw Hill Book Company Inc, New York.
Nebel (2007), menyebutkan semen beku atau frozen semen adalah semen yang disimpan pada suhu di bawah titik beku suhu (-79 °C sampai -196 °C). Salah satu kerusakan pada spermatozoa selama proses kriopreservasi sampai pencairan kembali adalah peroksidasi lipid (Waluyo, 2006). Pembekuan semen (kriopreservasi) merupakan usaha untuk menjamin daya tahan spermatozoa dalam waktu yang lama melalui proses pengolahan, pengawetan dan penyimpanan semen sehingga dapat digunakan pada suatu waktu sesuai dengan kebutuhan.
Pembekuan adalah suatu fenomena pengeringan fisik, pada pembekuan semen terbentuk kristal-kristal es, terjadi penumpukan elektrolit dan bahan terlarut lainnya di dalam larutan atau di dalam sel. Pada umumnya masalah pengawetan semen berkisar pada dua hal, yaitu pengaruh cold shock terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es. Kedua masalah tersebut akan menyebabkan kerusakan pada spermatozoa.
Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama proses pembekuan terjadi pada saat sel yang tersuspensi didinginkan hingga mencapai suhu -15 °C, kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel itu sendiri tidak ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang ekstraseluler.
Komposisi dasar sebagai krioprotektan untuk air mani beku adalah: a) substansi non-ionik dan ion mempertahankan osmolaritas dan menyediakan kapasitas buffer, b) sumber lipoprotein untuk mencegah kejutan dingin, seperti kuning telur, susu atau kedelai (lesitin), c) glukosa atau fruktosa aditif sebagai sumber energi (Gordon, 2004).
Daftar Pustaka
Gao, D. & J. K. Crister. 2000. Mechanisms of cryoinjury in living cell. J. ILAR. Vol 41:4.
Gordon, I. 2004. Artificial Insemination. In: Reproductive Technologies in Farm Animals. CABI publishing, Wallingford.
Waluyo, T. S. 2006. Pengaruh penggunaan prolin dalam pengencer susu skim pada sperma beku terhadap kualitas sperma domba priangan. Anim. Prod. 8: 22- 27.
selayangpandang
20:40
Admin
Bandung Indonesia
Pembekuan adalah suatu fenomena pengeringan fisik, pada pembekuan semen terbentuk kristal-kristal es, terjadi penumpukan elektrolit dan bahan terlarut lainnya di dalam larutan atau di dalam sel. Pada umumnya masalah pengawetan semen berkisar pada dua hal, yaitu pengaruh cold shock terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es. Kedua masalah tersebut akan menyebabkan kerusakan pada spermatozoa.
Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama proses pembekuan terjadi pada saat sel yang tersuspensi didinginkan hingga mencapai suhu -15 °C, kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel itu sendiri tidak ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang ekstraseluler.
Komposisi dasar sebagai krioprotektan untuk air mani beku adalah: a) substansi non-ionik dan ion mempertahankan osmolaritas dan menyediakan kapasitas buffer, b) sumber lipoprotein untuk mencegah kejutan dingin, seperti kuning telur, susu atau kedelai (lesitin), c) glukosa atau fruktosa aditif sebagai sumber energi (Gordon, 2004).
Daftar Pustaka
Gao, D. & J. K. Crister. 2000. Mechanisms of cryoinjury in living cell. J. ILAR. Vol 41:4.
Gordon, I. 2004. Artificial Insemination. In: Reproductive Technologies in Farm Animals. CABI publishing, Wallingford.
Waluyo, T. S. 2006. Pengaruh penggunaan prolin dalam pengencer susu skim pada sperma beku terhadap kualitas sperma domba priangan. Anim. Prod. 8: 22- 27.
Semen Beku Sapi
Nebel (2007), menyebutkan semen beku atau frozen semen adalah semen yang disimpan pada suhu di bawah titik beku suhu (-79 °C sampai -196 °C). Salah satu kerusakan pada spermatozoa selama proses kriopreservasi sampai pencairan kembali adalah peroksidasi lipid (Waluyo, 2006). Pembekuan semen (kriopreservasi) merupakan usaha untuk menjamin daya tahan spermatozoa dalam waktu yang lama melalui proses pengolahan, pengawetan dan penyimpanan semen sehingga dapat digunakan pada suatu waktu sesuai dengan kebutuhan.
Pembekuan adalah suatu fenomena pengeringan fisik, pada pembekuan semen terbentuk kristal-kristal es, terjadi penumpukan elektrolit dan bahan terlarut lainnya di dalam larutan atau di dalam sel. Pada umumnya masalah pengawetan semen berkisar pada dua hal, yaitu pengaruh cold shock terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es. Kedua masalah tersebut akan menyebabkan kerusakan pada spermatozoa.
Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama proses pembekuan terjadi pada saat sel yang tersuspensi didinginkan hingga mencapai suhu -15 °C, kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel itu sendiri tidak ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang ekstraseluler.
Komposisi dasar sebagai krioprotektan untuk air mani beku adalah: a) substansi non-ionik dan ion mempertahankan osmolaritas dan menyediakan kapasitas buffer, b) sumber lipoprotein untuk mencegah kejutan dingin, seperti kuning telur, susu atau kedelai (lesitin), c) glukosa atau fruktosa aditif sebagai sumber energi (Gordon, 2004).
Daftar Pustaka
Gao, D. & J. K. Crister. 2000. Mechanisms of cryoinjury in living cell. J. ILAR. Vol 41:4.
Gordon, I. 2004. Artificial Insemination. In: Reproductive Technologies in Farm Animals. CABI publishing, Wallingford.
Waluyo, T. S. 2006. Pengaruh penggunaan prolin dalam pengencer susu skim pada sperma beku terhadap kualitas sperma domba priangan. Anim. Prod. 8: 22- 27.
Pembekuan adalah suatu fenomena pengeringan fisik, pada pembekuan semen terbentuk kristal-kristal es, terjadi penumpukan elektrolit dan bahan terlarut lainnya di dalam larutan atau di dalam sel. Pada umumnya masalah pengawetan semen berkisar pada dua hal, yaitu pengaruh cold shock terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es. Kedua masalah tersebut akan menyebabkan kerusakan pada spermatozoa.
Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama proses pembekuan terjadi pada saat sel yang tersuspensi didinginkan hingga mencapai suhu -15 °C, kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel itu sendiri tidak ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang ekstraseluler.
Komposisi dasar sebagai krioprotektan untuk air mani beku adalah: a) substansi non-ionik dan ion mempertahankan osmolaritas dan menyediakan kapasitas buffer, b) sumber lipoprotein untuk mencegah kejutan dingin, seperti kuning telur, susu atau kedelai (lesitin), c) glukosa atau fruktosa aditif sebagai sumber energi (Gordon, 2004).
Daftar Pustaka
Gao, D. & J. K. Crister. 2000. Mechanisms of cryoinjury in living cell. J. ILAR. Vol 41:4.
Gordon, I. 2004. Artificial Insemination. In: Reproductive Technologies in Farm Animals. CABI publishing, Wallingford.
Waluyo, T. S. 2006. Pengaruh penggunaan prolin dalam pengencer susu skim pada sperma beku terhadap kualitas sperma domba priangan. Anim. Prod. 8: 22- 27.