Menurut
Prijono dan Handini (1998), tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi
seekor hewan yang dituangkan dalam bentuk gerakan-gerakan akibat pengaruh
rangsangan. Rangsangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu rangsangan luar dan
rangsangan dalam. Rangsangan luar dapat berbentuk suara, pandangan, tenaga
mekanis (cahaya, suhu, dan kelembaban) dan rangsangan kimiawi (hormon dan
saraf). Rangsangan dalam antara lain adalah faktor fisiologis sekresi hormon
dan faktor motivasi (Mukhtar, 1986). Tingkah laku dasar hewan merupakan
kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behaviour), seperti gerakan
menjauh atau mendekat akibat perubahan dari stimulus. Perubahan tingkah laku
jantan dan betina saat estrus dan kondisi lingkungan dan mekanisme fisiologis
(Stanley dan Andrykovitch, 1984).
Tingkah
laku bersifat genetis, tetapi dapat berubah oleh lingkungan dan proses belajar
hewan (Hafez, 1969). Tingkah laku merupakan aktivitas yang melibatkan fungsi
fisiologis seperti rangsangan melalui pancaindra (mata). Rangsangan-rangsangan
ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan akhirnya
aktivitas berbagai organ motorik baik internal maupun eksternal. Kebanyakan
tingkah laku untuk tujuan tertentu seperti makan, minum, tidur dan seksual
terdiri atas tiga tahap yang jelas dan terjadi secara siklis. Tiga tahap
tersebut adalah tingkah laku apetitif, konsumatoris, dan refraktoris.
Tahap
apetitif dapat dipelajari dengan sederhana atau kompleks, sering mencakup
mencari dari tingkah laku dasar yang diubah dan yang banyak dipelajari. Tahap
konsumatoris relatif cenderung konsisten dan memperlihatkan perbedaan kecil
antara individu yang satu terhadap individu lain dan sebagian besar dapat
instinktif. Tahap refraktoris mencakup hilangnya perhatian dan berhentinya
aktivitas konsumatoris, meskipun kesempatan untuk memberi respon selalu ada
(Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985).
Menurut
Hafez et al (1969), pola tingkah laku dapat dikelompokkan ke dalam
sembilan tipe tingkah laku, yaitu sebagai berikut:
1.
Tingkah laku ingestif, yaitu tingkah laku makan dan minum.
2.
Tingkah laku mencari perlindungan (shelter seeking), yaitu
kecenderungan mencari kondisi lingkungan yang optimum dan menghindari bahaya.
3.
Tingkah laku agonistic, yaitu tingkah laku persaingan antara dua hewan yang
sejenis, umumnya terjadi selama musim kawin.
4.
Tingkah laku sosial, yaitu tingkah laku peminangan (courtship), kopulasi
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hubungan hewan jantan dan betina satu
jenis.
5.
Care giving atau epimelitic, yaitu pemeliharaan terhadap anak (maternal
behaviour).
6.
Care soliciting atau et-epimelitic, atau tingkah laku meminta
dipelihara yaitu tingkah laku individu muda untuk dipelihara oleh yang dewasa.
7.
Tingkah laku eliminative, yaitu tingkah laku membuang kotoran.
8.
Tingkah laku allelomimetik, yaitu tingkah laku meniru salah satu anggota
kelompok untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan beberapa tahap rangsangan
dan koordinasi yang berbalas-balasan.
9.
Tingkah laku investigative, yaitu tingkah laku memeriksa lingkungannya.
Tingkah
laku yang ditunjukkan ayam broiler berkaitan erat dengan kebiasaan,
habitat, dan lingkungan (suhu, kelembaban, atau cahaya yang masuk ke dalam
kandang). Suhu lingkungan 8 yang berbeda mempengaruhi aktivitas tingkah laku
ayam broiler seperti makan, minum, panting, lokomosi, dan
istirahat (Jahja, 2000). Cahaya juga merangsang pola sekresi beberapa hormon
yang mengontrol tingkah laku dan mengatur ritme harian (Olanrewaju et al.,
2006). Perubahan pola tingkah laku dengan meningkatnya pelepasan panas melalui
evaporasi dari saluran pernafasan (hyperventilation) disebut panting.
Tingkah laku panting pada ayam broiler selama pemeliharaan dapat
dikurangi dengan cara menurunkan suhu lingkungan kandang pada kandang tertutup
atau membuka tirai yang digunakan sebagai penutup di malam hari pada kandang
terbuka. Panting biasanya terjadi pada saat suhu lingkungan sekitar 29ºC
atau suhu tubuh mencapai 42ºC (European Comission, 2000).
Suhu
lingkungan yang tinggi dapat menurunkan tingkah laku makan pada ayam broiler.
Hal ini dapat dilihat dari menurunnya konsumsi pakan pada ayam broiler yang
dipelihara dalam kondisi suhu lingkungan yang tinggi (Austic, 1985;Ain Bazis et
al., 1996; Bonnet et al., 1997). Menurunnya konsumsi ransum pada
suhu lingkungan tinggi sebagai upaya untuk mengurangi penimbunan panas dalam
tubuh dan ditandai dengan berkurangnya bobot badan (Kuczynski, 2002; May
danLott, 2001) dan laju pertumbuhan (Bonnet et al., 1997).
Intensitas
cahaya yang lebih rendah dapat menurunkan aktivitas lokomosi dan berdiri pada
ayam (Renden et al., 1996). Intensitas cahaya yang tinggi seperti cahaya
matahari dapat mengurangi tingkah laku istirahat pada unggas. Ayam broiler termasuk
hewan diurnal yang beraktivitas bila terdapat cahaya yang diterima oleh retina
mata. Lokomosi yang dilakukan ayam broiler adalah bagian dari ekspresi
tingkah laku lainnya seperti saat ayam broiler berada jauh dari tempat
pakan maka ayam broiler tersebut akan melakukan tingkah laku lokomosi,
yakni berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya, untuk mendapatkan
makan ataupun minum. Tingkah laku lokomosi juga dapat dilihat saat ayam broiler
bermain dengan ayam broiler lainnya (Pitchard, 1995).
Labels:
Tingkah Laku Ternak
Thanks for reading Respons Tingkah Laku Ternak. Please share...!
0 Comment for "Respons Tingkah Laku Ternak"