North
dan Bell (1990) menyatakan bahwa pengukuran produksi telur biasanya dinyatakan
dengan hen-day. Masa produksi telur dihitung sejak ayam mencapai
produksi telur 5% hen-day. Hen-day merupakan ukuran produksi
telur ayam yang hidup pada periode tertentu, yaitu membandingkan jumlah telur
total yang dihasilkan pada periode tertentu dengan jumlah ayam yang hidup pada
periode tertentu. Ayam mulai berproduksi pada saat ayam berumur 22 minggu,
selanjutnya akan naik dengan tajam dan mencapai puncaknya pada kisaran umur
antara 32 sampai 36 minggu, kemudian produksi telur menurun secara perlahan
sampai 55% sesudah masa produksi 15 bulan yaitu pada saat ayam berumur 82
minggu. Periode produksi yang masih dianggap menguntungkan hanya sampai mencapai
15 bulan. (Wahyu, 1985). Scott et al. (1982) menyatakan bahwa ayam ras
petelur medium mulai bertelur kira-kira pada umur 22 minggu dengan lama
produksi sekitar 15 bulan. Puncak produksi telur dicapai pada saat ayam berumur
sekitar 28–30 minggu.
Romanoff
dan Romanoff (1963) mengemukakan bahwa ada hubungan antara umur ayam dengan
produksi telur. Setelah mencapai puncak produksi, dengan semakin bertambahnya
umur ayam, produksi telur mengalami penurunan secara bertahap. Hal ini erat
hubungannya dengan kecepatan penurunan aktifitas metabolisme pada organ-organ
tubuh dan jaringan.
Scott
et al. (1982) membagi periode produksi ayam petelur menjadi dua periode,
yaitu fase I dari umur 22–42 minggu dengan rataan produksi telur 78% dan bobot
telur 56 gram, fase II umur 42–72 minggu dengan rataan produksi telur 72% dan
bobot telur 60 gram. Ayam ras petelur yang unggul menghasilkan telur 250
butir/tahun dengan bobot telur rata-rata 57,9 g/butir dan rata-rata produksi
telur sebesar 70% (Mc Donald et al., 2002).
Produksi
telur ayam ras petelur dihasilkan pada kisaran suhu 18,3–23,9 oC
(North dan Bell, 1990) dan 21–26 oC (Carr dan Carter, 1985). Ayam
petelur berkerabang coklat masih menampilkan performa yang baik walaupun pada
temperatur yang berfluktuasi antara 22,7–30,9 oC, ransum dengan kandungan
protein 16% dan tingkat energi metabolis 2.650 kkal/kg ransum (Gurnadi, 1986).
Hal ini menunjukkan bahwa ayam petelur berkerabang coklat dapat dikembangkan di
daerah tropis seperti Indonesia.
Siregar
(2003) melaporkan bahwa produksi telur (% hen-day) pada ayam strain
ISA-brown selama 14 minggu produksi adalah 67,10% dengan pemberian ransum
yang mengandung energi metabolis 2.665,20 kkal/kg dan protein kasar 17% pada
fase pertama. Berdasarkan penelitian Priono (2003) diperoleh rataan produksi
telur (% hen-day) sebesar 76,90% pada ayam petelur strain ISA-brown dengan
pemberian ransum yang ditambahkan metionin 0,34% dan mengandung energi
metabolis 2.685,8 kkal/kg dan protein kasar 17%.
Menurut
Ivy dan Gleaves (1976), peningkatan produksi telur dipengaruhi oleh tingkat
konsumsi ransum, protein dan energi. Menurut Scott et al. (1982), untuk
mencapai produksi telur yang maksimum, ayam petelur harus mengkonsumsi 17 gram
protein dengan jumlah konsumsi ransum 100 g/ekor/hari. Adapun kandungan protein
14% di dalam ramsum dinilai kurang cukup untuk mempertahankan produksi telur
yang tinggi, bobot telur serta efisiensi penggunaan ransum. Produksi telur pada
ayam dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kondisi awal ayam pada saat mulai
bertelur dan potensi tumbuh ayam dari awal bertelur sampai puncak produksi (Isapoultry,
2006). Tercukupinya kebutuhan protein ayam dapat mengindikasikan tercukupinya
kebutuhan asam-asam amino di dalamnya. Ketersediaan berbagai asam amino dalam
jumlah yang cukup di dalam ransum ayam mampu mengoptimalkan produksi telur yang
dihasilkan (Zimmerman dan Snetsinger, 1976). Produksi telur sangat tergantung
pada jumlah konsumsi protein dan asam amino perhari. Kira-kira 80-85% konsumsi
asam amino langsung digunakan untuk produksi telur. Defisiensi asam amino akan
mempengaruhi produksi telur (% hen-day), ukuran telur, dan peningkatan
konversi ransum (Charoen Pokphand, 2000). Produksi telur dipengaruhi oleh
kandungan protein dan fosfor dalam ransum. Perbedaan kandungan protein ransum
yang lebih tinggi menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi disebabkan oleh
kandungan asam amino yang lebih lengkap daripada yang terdapat dalam ransum
yang proteinnya lebih rendah (Onwudike dan Oke, 1986). Summers (1995) menyatakan bahwa kandungan
fosfor sebesar 0,2% nyata mempengaruhi produksi telur yang lebih rendah
dibandingkan dengan kandungan fosfor sebesar 0,4%.
Labels:
Telur
Thanks for reading Produksi Telur . Please share...!
0 Comment for "Produksi Telur "