Istilah metapopulasi diperkenalkan pertama kali oleh
Richard Levins pada tahun 1970 untuk menjelaskan sebuah model dinamika populasi
dari serangga hama pada lahan pertanian. Seiring perkembangan pengetahuan,
metapopulasi berkembang luas dan diterapkan pada habitat yang terfragmentasi
secara alami maupun secara buatan. Pemahaman struktur populasi merupakan hal
yang sangat dibutuhkan bagi konservasi satwa, baik dalam mendefinisikan unit konservasi
yang dituju, unit signifikan, serta unit manajemennya. Model metapopulasi
memberikan satu kerangka kerja konseptual untuk mempertimbangkan struktur dan
demografi populasi. Model metapopulasi dapat menyediakan kerangka kerja
bagaimana dinamika beberapa populasi dapat dipertimbangkan dan diprediksi
(Hanski dan Gilpin 1991).
Metapopulasi adalah suatu sistem dinamika tingkat
rata-rata keberadaan serta rekolonisasi yang mengakibatkan terjadinya
perpindahan individuindividu yang menjamin terjadinya hubungan secara genetis
antara masingmasing sub-populasi (Hanski 2004). Secara istilah, Levins
menjelaskan bahwa metapopulasi adalah populasi dari populasi. Secara fisik,
metapopulasi terdiri dari kepunahan (extinction) dan kolonisasi (colonization)
(Harrison 1991). Metapopulasi terdiri dari beberapa populasi yang secara
spasial terpisah dari jenis yang sama dan terkoneksi karena adanya pergerakan
individu di antara unit populasi (Hilty et al. 2006). Sebuah
metapopulasi secara umum dipertimbangkan terdiri dari beberapa populasi
menempati area dengan habitat yang sesuai yang sekarang tidak ditempati lagi
(Hanski dan Gilpin 1991). Sistem metapopulasi ini kemungkinan terjadi pada
habitat Elang Jawa. Hal ini dikarenakan secara biologis, anak Elang Jawa ketika
sudah dapat terbang dan berburu akan meninggalkan sarang induk dan membentuk
wilayah teritori yang baru (Prawiradilaga 1999). Pembentukan wilayah teritori
ini dapat berada di dalam patch yang sama atau di luar patch wilayah
jelajah induk, bergantung pada kapasitas daya dukung patch tersebut.
Hanski dan Simberloff (1997) menyatakan bahwa metapopulasi dikatakan berhasil
ketika penyebaran antar-patch jarang terjadi atau dengan jarak
bermigrasi satwa tidak jauh dari habitat awal. Oleh sebab itu, peran
konektivitas dalam metapopulasi sangat penting untuk menghubungkan antar-patch.
Metapopulasi dapat dijadikan sebagai pemodelan yang baik sebagai tindak lanjut
usaha konservasi dalam lanskap (Hanski 2004). Metapopulasi secara keseluruhan
pada umumnya stabil untuk mengendalikan kelimpahan populasi dikarenakan adanya
imigrasi. Individu juga melakukan emigrasi ke populasi kecil untuk
menyelamatkan populasi tersebut dari kepunahan. Hal ini disebut sebagai efek
penyelamatan atau successful rescue (Morrison 2009).
Selain itu, metapopulasi terbukti bermanfaat bagi
burung khususnya nonmigran. Pada burung non-migran, derajat bebas demografi
secara jelas berhubungan dengan geografi, dan pertukaran individu merupakan
fungsi dari kemungkinan migrasi di antara area geografi. Sub-populasi terpisah
jelas secara spasial dan akan saling bertemu dengan individu pada sub-populasi
lain hanya jika terjadi migrasi. Proses demografi akan mempengaruhi kelompok
hewan di dalam masing-masing patch dalam menetapkan kemungkinan
kepunahan subpopulasi. Laju migrasi yang cukup tinggi akan mencegah kepunahan
pada masing-masing patch (Hanski dan Gilpin 1991). Sub-populasi yang berkembang
dengan migrasi yang berbeda-beda membentuk tipe-tipe model metapopulasi (Gambar
5). Model metapopulasi yang umum digunakan dalam lanskap terdiri dari 5 tipe
(Harrison 1991) sebagai berikut:
1. Model metapopulasi classic Levins adalah
suatu populasi yang spesifik bertahan dalam keseimbangan regional yang dinamis
antara kepunahan dan kolonisasi yang ditunjukkan oleh model metapopulasi
standar. Model metapopulasi ini bergantung pada jumlah patch dan
konektivitas di antara patch tersebut. Fluktuasi ukuran patch bergantung
dari kondisi demografi secara acak. Patch yang lebih kecil akan lebih
rawan menjadi punah.
2. Model metapopulasi mainland-island adalah
model metapopulasi yang terbentuk dari sebuah kelompok populasi yang menempati
suatu wilayah habitat terfragmentasi dan membentuk patch-patch habitat,
sehingga terdapat patch habitat yang besar (mainland) dan patch
yang lebih kecil (island) di sekitarnya. Kepunahan pada tipe mainland-island
terjadi pada sebagian populasi dan efeknya sangat kecil karena terdapat
habitat untuk menjadi suatu koloni. Populasi dalam patch yang kecil
merupakan rekolonisasi dari patch yang besar. Ketahanan regional
metapopulasi ini bergantung dari kemampuan individu untuk membentuk koloni baru
antarpatch habitat dan koneksinya terhadap patch yang lebih
besar.
3. Model metapopulasi patchy population merupakan
model metapopulasi dengan distribusi populasi terjadi pada patch-patch habitat
dan spasial temporal dalam sebaran unit yang cukup tinggi. Model ini merupakan model
metapopulasi dengan pola yang umum terjadi dan resisten terhadap kepunahan.
Jika terjadi kepunahan, populasi dalam patch dengan cepat melakukan
rekolonisasi. Hal ini dikarenakan koneksi antar-patch sangat baik dalam
satu entitas demografi.
4. Model metapopulasi non-equilibrium merupakan
model metapopulasi dengan rekolonisasi yang tidak sesuai untuk menyeimbangkan
kepunahan lokal terjadi sebagai bagian dari penurunan secara regional. Selain
itu populasi tidak dapat melakukan pergerakan ke patch lainnya atau
untuk melakukan kolonisasi pada patch baru.
5. Model metapopulasi intermediate case merupakan
model metapopulasi gabungan antara model mainland island dan patchy
population. Pusat sebaran tergabung dalam satu populasi tetapi cukup rendah
untuk terjadi kepunahan lokal pada patch sekitarnya.
Labels:
Konservasi
Thanks for reading Penggunaan Model Metapopulasi di Konservasi Hayati Elang Jawa . Please share...!
0 Comment for "Penggunaan Model Metapopulasi di Konservasi Hayati Elang Jawa "