Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Keadaan Umum Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004 sekaligus sebagai cagar biosfer pada tahun 1981. kawasan ini sangat penting bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitarnya (Balai TNGL, 2006).


TNGL adalah salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia seluas 1.094.692 ha yang secara administrasi pemerintahan terletak di dua Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Provinsi NAD yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya,Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, sedangkan Provinsi Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo dan Langkat. Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut di Nanggroe Aceh Darussalam.

Taman nasional ini meliputi ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan salah satu taman nasinal yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi yang terletak di wilayah sumatera bagian utara.

 Selain itu TNGL merupakan hulu dari sepuluh daerah aliran sungai yang mensuplai air untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara. Namun keadaan terkini TNGL mengalami degradasi dan deforestrasi akibat perambahan hutan dan alih guna lahan di beberapa lokasi (Waruwu, 1984). Dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, Kawasan Taman Nasional dikatagorikan sebagai kawasan lindung merupakan satu komponen yang menyusun suatu pola keruangan berdasarkan fungsi utama kawasan. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan denagn fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan (Lubis, 2009).


Sumber Artikel (Klik Disini)

Camera Trap untuk Pengamatan Satwa Liar

Camera trap bukan alat baru dalam satwa liar ilmu pengetahuan. Ini ditemukan di akhir 1890-an, sebelum yang pertama kali digunakan di lapangan pada 1913 (Sanderson dan Trolle, 2005). Dalam dekade belakangan ini, telah banyak digunakan di dunia, dengan kenaikan tahunan sebesar 50%. Hasil ini penelitian telah dipublikasikan di internasional diakui jurnal (Rowcliffe dan Carbone, 2008). Camera trap berfungsi untuk mendapatkan gambar satwa liar di alam yang sulit untuk ditemui dengan pertemuan langsung.

Camera trapping adalah tehnik yang semakin banyak digunakan untuk memonitor satwa yang sulit ditemui, karena kamera dapat ditinggalkan di lapangan dan akan memicu pengambilan foto saat dilewati oleh satwa. Hasil foto dapat digunakan sebagai perhitungan kasar dari kelimpahan relatif, perkiraan dari jumlah populasi minimum suatu spesies berdasarkan pada pengenalan secara individual atau perkiraan dari kelimpahan berdasarkan cara menangkap tandai dan tangkap kembali (capture mark recapture) (Maddox dkk., 2004).

Foto-foto yang dihasilkan camera trap juga menunjukkan adanya tumpang tindih di wilayah hidup untuk kedua jenis kelamin. Compelx polygon yang mempresentasikan wilayah hidup harimau, ditentukan di sekitar lokasi kamera dimana tercatat kemunculan beberapa individu harimau tertentu (Franklin dkk., 1999). Camera trap dipasang secara berpasangan pada setiap lokasi dan titik koordinat serta ketinggian lokasi direkam dengan GPS (Global Positioning System). Jarak antar lokasi camera trap ditentukan dari luas daerah jelajah minimum Harimau Sumatera.

Berdasarkan hasil penelitian Franklin dkk. (1999) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, luas jelajah minimum Harimau Sumatera betina adalah 49 km2 , sehingga diperoleh jarak maksimal antar stasiun camera trap tidak melebihi 3,95 km (Hutajulu, 2007). Menurut Franklin dkk. (1994) Penghitungan luas daerah jelajah harimau dengan menggunakan data camera trap kurang akurat untuk menggambarkan wilayah jelajah sebenarnya. Ukuran sampel kecil sangat sensitif untuk menggambarkan home range suatu individu jenis (Pete, 2005).

Pada kebanyakan studi dengan menggunakan camera trap, jumlah kamera merupakan faktor pembatas, akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan desain sampel yang baik. Apabila jumlah kamera yang digunakan sedikit maka solusinya adalah dengan membagi lokasi studi menjadi beberapa petak area dengan luas yang lebih kecil, kemudian pemasangan kamera dilakukan per bagian area yang lebih kecil tersebut satu demi satu . Lokasi dan lama waktu pemasangan camera trap merupakan dua faktor yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan data yang mencukupi dan mewakili untuk suatu area penelitian (Karanth dan Nicholas, 2002).

Seperti manusia, kebanyakan satwa liar menggunakan jalur-jalur yang ada di hutan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga jalur-jalur yang ada di dalam hutan dapat digunakan sebagai lokasi pemasangan camera trap (Asriana, 2007).


Status Konservasi Banteng

Sebagai satwa langka dan terancam kelestariannya, maka perlindungan akan banteng sangat diperlukan, terutama dari perburuan yang dilakukan oleh pemburu liar serta terdesaknya habitat banteng oleh pemukiman manusia. Kegiatan pelestarian dilakukan dengan penetapan peraturan dalam berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species (2008) masuk dalam kategori endangered yang merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi resiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang.

Status endangered ini diberikan pada banteng karena penurunan populasinya mencapai 80% terutama di Indochina. Berdasarkan adanya pengamatan langsung telah terjadi penurunan banteng sebesar 50%, hal ini diakibatkan oleh tingginya perdagangan illegal terhadap tanduk banteng. Hal serupa diproyeksikan sebagian besar karena perdagangan hewan-hewan tak terkendali di Asia Tenggara dan perburuan untuk perdagangan tanduk, serta hilangnya habitat dan degradasi di Jawa. Pemerintah Indonesia memasukan banteng dalam Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 sebagai salah satu satwa yang dilindungi keberadaannya.


Penggunaan Model Metapopulasi di Konservasi Hayati Elang Jawa

Istilah metapopulasi diperkenalkan pertama kali oleh Richard Levins pada tahun 1970 untuk menjelaskan sebuah model dinamika populasi dari serangga hama pada lahan pertanian. Seiring perkembangan pengetahuan, metapopulasi berkembang luas dan diterapkan pada habitat yang terfragmentasi secara alami maupun secara buatan. Pemahaman struktur populasi merupakan hal yang sangat dibutuhkan bagi konservasi satwa, baik dalam mendefinisikan unit konservasi yang dituju, unit signifikan, serta unit manajemennya. Model metapopulasi memberikan satu kerangka kerja konseptual untuk mempertimbangkan struktur dan demografi populasi. Model metapopulasi dapat menyediakan kerangka kerja bagaimana dinamika beberapa populasi dapat dipertimbangkan dan diprediksi (Hanski dan Gilpin 1991).

Metapopulasi adalah suatu sistem dinamika tingkat rata-rata keberadaan serta rekolonisasi yang mengakibatkan terjadinya perpindahan individuindividu yang menjamin terjadinya hubungan secara genetis antara masingmasing sub-populasi (Hanski 2004). Secara istilah, Levins menjelaskan bahwa metapopulasi adalah populasi dari populasi. Secara fisik, metapopulasi terdiri dari kepunahan (extinction) dan kolonisasi (colonization) (Harrison 1991). Metapopulasi terdiri dari beberapa populasi yang secara spasial terpisah dari jenis yang sama dan terkoneksi karena adanya pergerakan individu di antara unit populasi (Hilty et al. 2006). Sebuah metapopulasi secara umum dipertimbangkan terdiri dari beberapa populasi menempati area dengan habitat yang sesuai yang sekarang tidak ditempati lagi (Hanski dan Gilpin 1991). Sistem metapopulasi ini kemungkinan terjadi pada habitat Elang Jawa. Hal ini dikarenakan secara biologis, anak Elang Jawa ketika sudah dapat terbang dan berburu akan meninggalkan sarang induk dan membentuk wilayah teritori yang baru (Prawiradilaga 1999). Pembentukan wilayah teritori ini dapat berada di dalam patch yang sama atau di luar patch wilayah jelajah induk, bergantung pada kapasitas daya dukung patch tersebut. Hanski dan Simberloff (1997) menyatakan bahwa metapopulasi dikatakan berhasil ketika penyebaran antar-patch jarang terjadi atau dengan jarak bermigrasi satwa tidak jauh dari habitat awal. Oleh sebab itu, peran konektivitas dalam metapopulasi sangat penting untuk menghubungkan antar-patch. Metapopulasi dapat dijadikan sebagai pemodelan yang baik sebagai tindak lanjut usaha konservasi dalam lanskap (Hanski 2004). Metapopulasi secara keseluruhan pada umumnya stabil untuk mengendalikan kelimpahan populasi dikarenakan adanya imigrasi. Individu juga melakukan emigrasi ke populasi kecil untuk menyelamatkan populasi tersebut dari kepunahan. Hal ini disebut sebagai efek penyelamatan atau successful rescue (Morrison 2009).

Selain itu, metapopulasi terbukti bermanfaat bagi burung khususnya nonmigran. Pada burung non-migran, derajat bebas demografi secara jelas berhubungan dengan geografi, dan pertukaran individu merupakan fungsi dari kemungkinan migrasi di antara area geografi. Sub-populasi terpisah jelas secara spasial dan akan saling bertemu dengan individu pada sub-populasi lain hanya jika terjadi migrasi. Proses demografi akan mempengaruhi kelompok hewan di dalam masing-masing patch dalam menetapkan kemungkinan kepunahan subpopulasi. Laju migrasi yang cukup tinggi akan mencegah kepunahan pada masing-masing patch (Hanski dan Gilpin 1991). Sub-populasi yang berkembang dengan migrasi yang berbeda-beda membentuk tipe-tipe model metapopulasi (Gambar 5). Model metapopulasi yang umum digunakan dalam lanskap terdiri dari 5 tipe (Harrison 1991) sebagai berikut:

1. Model metapopulasi classic Levins adalah suatu populasi yang spesifik bertahan dalam keseimbangan regional yang dinamis antara kepunahan dan kolonisasi yang ditunjukkan oleh model metapopulasi standar. Model metapopulasi ini bergantung pada jumlah patch dan konektivitas di antara patch tersebut. Fluktuasi ukuran patch bergantung dari kondisi demografi secara acak. Patch yang lebih kecil akan lebih rawan menjadi punah.

2. Model metapopulasi mainland-island adalah model metapopulasi yang terbentuk dari sebuah kelompok populasi yang menempati suatu wilayah habitat terfragmentasi dan membentuk patch-patch habitat, sehingga terdapat patch habitat yang besar (mainland) dan patch yang lebih kecil (island) di sekitarnya. Kepunahan pada tipe mainland-island terjadi pada sebagian populasi dan efeknya sangat kecil karena terdapat habitat untuk menjadi suatu koloni. Populasi dalam patch yang kecil merupakan rekolonisasi dari patch yang besar. Ketahanan regional metapopulasi ini bergantung dari kemampuan individu untuk membentuk koloni baru antarpatch habitat dan koneksinya terhadap patch yang lebih besar.

3. Model metapopulasi patchy population merupakan model metapopulasi dengan distribusi populasi terjadi pada patch-patch habitat dan spasial temporal dalam sebaran unit yang cukup tinggi. Model ini merupakan model metapopulasi dengan pola yang umum terjadi dan resisten terhadap kepunahan. Jika terjadi kepunahan, populasi dalam patch dengan cepat melakukan rekolonisasi. Hal ini dikarenakan koneksi antar-patch sangat baik dalam satu entitas demografi.

4. Model metapopulasi non-equilibrium merupakan model metapopulasi dengan rekolonisasi yang tidak sesuai untuk menyeimbangkan kepunahan lokal terjadi sebagai bagian dari penurunan secara regional. Selain itu populasi tidak dapat melakukan pergerakan ke patch lainnya atau untuk melakukan kolonisasi pada patch baru.

5. Model metapopulasi intermediate case merupakan model metapopulasi gabungan antara model mainland island dan patchy population. Pusat sebaran tergabung dalam satu populasi tetapi cukup rendah untuk terjadi kepunahan lokal pada patch sekitarnya.


Konektivitas Lanskap Untuk Keperluan Konservasi

Konektivitas merupakan fungsi dari patch habitat dan distribusi jarak antar-patch (Baranyi et al. 2011). Konektivitas yang terjadi di dalam lanskap mempertimbangkan variabel patch, batas tepi (edge), kontinuitas, dan koridor. Konektivitas lanskap harus dipertimbangkan dalam konsep ketersediaan habitat secara luas agar dapat diintegrasikan ke dalam aplikasi perencanaan konservasi lanskap. Ketersediaan habitat mempertimbangkan patch sebagai ruang terjadinya konektivitas, integrasi patch habitat, dan hubungan antar-patch yang berbeda dalam ukuran tunggal (Saura dan Pascual 2007). Konektivitas dalam lanskap berperan sebagai derajat lanskap yang memfasilitasi atau menghambat gerakan yang terjadi antar-patch habitat, mendukung arus ekologi, dan sebagai pelestarian keanekaragaman hayati jangka panjang (Saura dan Pascual 2007). Konektivitas dapat memastikan kemungkinan terjadinya penyebaran dan aliran gen, yang keduanya sangat penting untuk menghindari penurunan dan kepunahan populasi (Haddad 2003). Oleh sebab itu, konektivitas menjadi salah satu komponen yang paling penting dipertimbangkan dalam manajemen lanskap sebagai dasar perencanaan konservasi dan analisis perubahan lanskap.

Konektivitas antar-patch habitat dapat dianalisis melalui model probabilitas. Beragam pendekatan pemodelan telah digunakan untuk menentukan potensi dalam konektivitas habitat. Konektivitas dalam lanskap dapat diukur dengan menggunakan indeks probabilitas konektivitas (PC/probability of connectivity) (Saura dan Pascual 2007). Probability of connectivity merupakan pendekatan dasar area konektivitas yang menggabungkan dua elemen penting dalam evaluasi keanekaragaman hayati, yaitu ukuran patch habitat dan jarak dalam ukuran tunggal. Probability of connectivity didefinisikan sebagai kemungkinan dua satwa secara acak ditempatkan dalam lanskap dengan habitat yang mudah dicapai satu sama lain (interconnected) dengan indikator jumlah patch dan koneksi di antara patch tersebut. Aplikasi PC dapat mengidentifikasi elemen-elemen penting dan elemen lanskap yang paling kritis (patch atau koridor) untuk pemeliharaan konektivitas habitat secara keseluruhan. Hasil dari analisis PC ini juga dapat dengan mudah dipahami dan dimanfaatkan oleh para perencana dan manajer pengelolaan lingkungan (Saura dan Pascual 2007).

Probabilitas konektivitas (PC) terdiri dari tiga indeks utama, yaitu PCintra, PCflux, dan PCconnector (Saura dan Rubio 2010). PCintra menunjukkan besarnya konektivitas yang terjadi di dalam patch itu sendiri (inter patch). Nilai PCintra yang tinggi menunjukkan bahwa konektivitas yang terjadi di dalam patch tersebut semakin tinggi. PCflux merupakan penyebaran aliran yang masuk dan keluar melalui konektivitas yang terjalin antar dan inter patch. Semakin luas patch habitat, maka aliran yang terjalin antar-patch semakin tinggi dan ditunjukkan dengan nilai PCflux yang tinggi. Patch habitat dengan nilai PCintra dan PCflux yang tinggi dapat dijadikan sebagai habitat inti (core habitat). PCconnector (PCcon) merupakan indeks yang paling penting yang menunjukkan tingkat konektivitas antar patch. Berdasarkan nilai PCcon ini dapat menentukan patch yang terisolasi dengan nilai PCcon = 0 dan patch yang terkoneksi dengan nilai PCcon > 0. Semakin tinggi nilai PCcon maka semakin besar suatu patch memberikan koneksi terhadap patch lainnya (Saura dan Rubio 2010).


Back To Top