Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Patofisiologi Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada Kucing (Felis catus)

Sumber cairan pada rongga abdomen dan rongga thoraks dapat bersumber dari efusi plasma dari pembuluh darah maupun transudat peritoneum yang mengalami peradangan. Cairan bersifat transudat pada rongga abdomen yang disebut sebagai hidrops ascites dapat berasal dari plasma yang berefusi dari pembuluh darah terutama akibat gangguan keseimbangan protein. Menurut Macfarlane (2000), kongesti dan oedema adalah akibat dari penurunan tekanan osmotik darah dan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Rendahnya protein dalam darah berakibat pada dua hal yaitu rendahnya daya ikat air serta penurunan osmolaritas darah. Hal ini berkaitan dengan albumin sebagai komponen protein utama dalam darah yang bertanggung jawab untuk mempertahankan tegangan osmolaritas aliran darah. Daya ikat air yang rendah dan rendahnya tekanan osmolaritas aliran darah menyebabkan air terlepas dan merembes ke luar pembuluh darah, kemudian menurunnya tegangan osmolaritas menyebabkan endotel mengalami perenggangan sehingga cairan merembes ke ekstravaskular. Oedema juga terjadi saat ada peningkatan tekanan intravena (tekanan hydrostatik) terutama akibat gagal jantung dan obstruksi vena pada ujung ekstermitas.

FIP menyebabkan peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis) akibat infeksi coronavirus. FIP tipe basah adalah bentuk awal yang akut pada kucing muda yang sangat peka terhadap infeksi coronavirus (FCoV). Virus ini menginfeksi pembuluh darah sehingga mengalami peradangan, degenerasi sampai rusak. Rusaknya pembuluh darah mengakibatkan terlepasnya cairan ke rongga tubuh, kemudian kerusakan pembuluh darah diatasi oleh pembentukan jaringan fibrinous oleh trombosit yang dampak negatifnya dapat menyebabkan thrombus hemoragi yang mengobstruksi pembuluh darah. Adanya obstruksi pada pembuluh darah kapiler menyebabkan serum darah merembes keluar menuju rongga tubuh seperti rongga abdomen atau rongga thoraks. Akumulasi cairan pada rongga abdomen akan menyebakan kerusakan pada permukaan peritoneum sehingga peritoneum mengalami peritonitis (Simons et al 2005).

Vaskulitis jarang terlihat secara klinis maupun secara patologi anatomi terutama pada kapiler. Oleh karena itu lesi dan gejala klinis yang terlihat akibat infeksi coronavirus pada FIP hanyalah saat peritoneum mulai mengalami peradangan sehingga lebih mudah disebut sebagai peradangan pada peritoneum yang bersifat infeksius pada kucing (FIP) (Hartmann 2003). Peritoneum adalah organ yang sangat sensitif dan penting bila mengalami peradangan. Peritonitis menyebabkan peritoneum melekat pada organ dan jaringan disekitarnya sehingga dengan cepat membuat organ lain turut mengalami peradangan. Selain itu pada peritoneum yang mengalami peradangan akan menghasilkan eksudat serous yang merembes keluar (effusi) sebagai produk dari lapisan sel-sel serosa pelapis rongga tubuh yang mengalami peradangan akut sehingga semakin hebat pemicu radang peritoneum maka semakin hebat pula pula kerusakan yang dialami peritoneum sehingga eksudat yang dihasilkan terakumulasi pada permukaan peritoneum membentuk eksudat serofibrinos (Carlton dan Mc Gavin 1995).

Kongesti umum yang terjadi di organ kucing ini penyebabnya dapat merupakan komplikasi dari berbagai pemicu. Vaskulitis akibat infeksi, kompensasi jantung paru pada kongesti yang berlanjut, kelemahan kontraksi jantung akibat adanya tamponade jantung, serta akibat kerusakan hati yang umum terjadi pada FIP dimana semua lesi patologi anatomi ini dapat ditemukan pada pemeriksaan nekropsi.  


Diagnosis Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada Kucing (Felis catus)

Menurut Hartmann (2003) diagnosa FIP biasanya didasarkan pada hasil pemeriksaan hewan-hewan dengan tanda dan gejala klinis, foto sinar-X, pemeriksaan rutin, dan evaluasi cairan pada rongga dada dan abdominal. Dalam beberapa kasus sangat sulit untuk mendiagnosa karena gejalanya sangat bervariasi dan mirip dengan penyakit lainnya. Hal ini menjadikan pemeriksaan mikroskopis dan sampel jaringan (biopsi) sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui diagnosa FIP secara tepat. Tes yang biasanya digunakan pada kucing dengan tanda-tanda klinis mencurigakan adalah sebagai berikut :

1. Enzyme Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA), Immunoflourescent Assay (IFA) dan tes netralisasi virus dapat mendeteksi adanya FCoV pada kucing, tetapi tes ini tidak dapat membedakan macam-macam strain dari FCoV. Hasil positif hanya menunjukkan bahwa kucing pernah terinfeksi FCoV tetapi bukan virus penyebab FIP. Kucing yang sehat dengan titer antibodi tinggi bukan berarti pembawa dan penyebab FIP dibanding dengan kucing yang titer rendah. Kucing sehat dengan titer tinggi akan aman dari kemungkinan menderita FIP dikemudian hari.

2. Tes lain yang telah dikembangkan untuk mendeteksi virus ini adalah tes immunoperoxidase. Tes ini mendeteksi sel yang terinfeksi virus di dalam jaringan tubuh, dengan cara biopsi dari jaringan yang terinfeksi.

3. Tes antigen lainnya menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi material genetik virus pada jaringan atau cairan darah. Tetapi tes ini hanya bisa mendeteksi FCoV secara umum, bukan virus penyebab FIP.

4. Sampai saat ini, tidak ada cara untuk mendiagnosa FIP pada kucing sehat, satu-satunya jalan adalah dengan biopsi atau analisa jaringan pada saat autopsi. Secara umum, dokter hewan mungkin akan menggunakan diagnosa dugaan yang dapat dibuat dengan keyakinan yang tinggi dengan cara mengevaluasi sejarah kucing tersebut, gejala yang muncul, menganalisa cairan (kalau ada) dan hasil dari laboratorium termasuk titer antibodi coronavirus yang hasilnya positif.

Dalam diagnosis FIP harus memiliki diagnosa banding dimana suatu kondisi tentang selaput atau yang berkaitan dengan toraks dan akumulasi cairan yang berkenaan dengan penyakit kronis pada kucing. Infeksi FIP dengan keterlibatan selaput harus dapat dibedakan dengan ascites karena kongesti kegagalan jantung atau hypoproteinemia (ginjal dan penyakit hati, glomerulonepritis, malabsorbsi, parasitisme), neoplasia, toxoplasmosis, tuberculosis, kehamilan dan trauma (Simons et al 2005).


Gejala Klinis Feline Infectious Peritonitis (FIP) pada Kucing (Felis catus)

Sebagian besar kucing yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala yang nyata, tetapi sebenarnya virus tetap berkembang di dalam tubuh. Setelah kontak, virus mulai berkembang di tenggorokan dan usus halus kucing. Kemudian pindah ke paru-paru, perut dan menyebar di seluruh usus (Sparkes 2004). Sekitar 1–10 hari kemudian virus sudah dapat ditularkan ke kucing lain. Selama infeksi ini, gejala yang muncul bisa berupa bersin-bersin, mata berair, lendir hidung yang berlebihan, diare, berat badan berkurang, lemah dan lesu. Gejala yang muncul bisa juga non spesifik seperti hilang nafsu makan, depresi, rambut kasar dan demam (Simons et al 2004).

Bentuk penyakit yang muncul sangat tergantung pada reaksi kekebalan tubuh kucing. Kucing dengan imunitas selular relatif kuat, biasanya dapat menyingkirkan infeksi. Kucing dengan imunitas selular yang relatif sedang, tidak dapat membunuh semua virus, sehingga gejala penyakit bisa tidak muncul tetapi kucing dapat menjadi carrier dan dapat menularkan virus selama beberapa tahun, hingga kekebalan tubuhnya berkurang sedikit demi sedikit. Kucing dengan imunitas seluler relatif rendah sangat mudah terinfeksi dari kucing lain, sifat carrier menjadi aktif, seiring dengan berkurangnya kekebalan, penyakit akan semakin berkembang hingga timbul gejala sakit dan akhirnya menyebabkan kematian (Foley 2005).

Penyakit ini bermanifestasi dalam dua bentuk, yaitu tipe basah dan tipe kering. Tipe basah menyebabkan sekitar 60-70% dari keseluruhan kasus penyakit ini dan lebih ganas dari tipe kering. Bila kekebalan tubuh bereaksi cepat biasanya yang muncul adalah tipe kering. Sebaliknya bila kekebalan tubuh lambat bereaksi, maka tipe yang muncul adalah tipe basah (Scott 1997). Pada bentuk basah terlihat gejala klinis seperti berat badan menurun, demam, kehilangan nafsu makan dan kecapaian atau lemas. Anemia, sehingga membrana mukosa terlihat pucat, sembelit dan diare juga dapat terjadi akumulasi cairan di rongga perut dan rongga dada, menyebabkan pembengkakan daerah perut (biasanya tanpa rasa sakit) disertai kesulitan bernafas.

Pada bentuk kering, cairan yang menumpuk relatif sedikit dan gejala yang muncul tergantung organ yang terinfeksi virus. Sekitar setengah dari kasus bentuk kering, menunjukkan gejala radang mata atau gangguan syaraf seperti lumpuh, cara berjalan yang tidak stabil dan kejang-kejang. Gejala lainnya bisa berupa gagal ginjal atau pembengkakan hati, depresi, anemia, berat badan berkurang drastis, gangguan pankreas dan sering disertai demam, muntah, diare dan ikterus (warna kekuningan pada kulit dan selaput lendir) (Sparkes 2004).


Kejadian dan Penyebaran Feline Infectious Peritonitis pada Kucing (Felis catus)

Infeksi FCoV terjadi pada kucing di seluruh dunia. Survei serologis menunjukkan bahwa 25-40% kucing peliharaan memiliki seropositif terhadap FCoV, sedangkan gambaran ini meningkat mencapai 80-100% pada kucingkucing di breeding cateries. Walaupun infeksi FCoV pada populasi kucing tinggi, tetapi infeksi FIP relatif jarang terjadi secara langsung. Sebagian besar penyakit FIP yang terjadi diduga berasal dari mutasi FECV yang memang banyak terdapat pada pencernaan kucing dan relatif tidak berbahaya (Simons 2005).

FIP terjadi paling banyak pada anak kucing. Kasus klinis biasanya terjadi selama periode sapih, namun FIP terjadi antara umur 6 bulan dan 2 tahun. Secara umum mortalitas FIP relatif rendah sekitar 5% (Sparkes 2004). Virus FIP dapat bertahan hidup selama 2-3 minggu dengan suhu ruangan pada permukaan kering, termasuk pada peralatan makan kucing, mainan, kotak kotoran (litter), tempat tidur (bedding), pakaian kucing (clothing) atau rambut kucing. Dalam waktu 24 jam sejak virus tertelan, virus akan menyebar dari tonsil ke dalam saluran cerna. Dalam waktu 2 minggu sudah menyebar ke usus besar, kelenjar getah bening, dan hati. Dari sana ia dapat menyebar ke organ tubuh lainnya (Evermann et al 1995).

Anak kucing yang dilahirkan pada lingkungan dengan infeksi FcoV nampaknya dapat dilindungi oleh antibodi maternal. Bila kucing terinfeksi FcoV secara alami Pada umur 6-8 minggu titer antibodi maternalnya akan mengalami penurunan dan titer antibodi maternal akan meningkat kembali pada umur 8-14 minggu. Studi yang menggunakan PCR menunjukkan bahwa anak kucing akan mengeluarkan (shedding) virus pada feses pada umur 5-11 minggu dan pengeluaran virus ini biasanya mengarah pada serokonversi (Hartmann 2003).

Kucing sehat tertular coronavirus melalui kontak langsung dengan kucing yang terinfeksi atau kotorannya (feses). Kucing yang terinfeksi menyebarkan virus melalui liur dan feses. Penularan terutama terjadi melalui jalur fekal-oral, selain melalui air liur atau lendir dan saluran pernafasan. Anak kucing yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis, namun beberapa anak kucing dapat menunjukan gejala ringan sampai sedang seperti muntah dan diare selama beberapa hari dan juga mengeluarkan virus dalam fesesnya. Pada beberapa kucing shedding virus bersifat tidak teratur (intermitant) yang menunjukkan adanya infeksi berulang. Sedangkan shedding virus pada kucing lainnya bersifat persisten, yang menunjukkan adanya infeksi persisten di ileum, colon dan rektum. Meskipun demikian shedding virus dalam feses tidak berhubungan dengan besarnya titer antibodi dalam serum (Bell et al 2006).

Carier FCoV dalam jangka panjang yang tidak menunjukkan gejala klinis akan mengeluarkan virus dalam feses selama beberapa bulan, hal ini menunjukkan bahwa kucing tersebut terinfeksi oleh galur virus dengan virulensi rendah. Studi lain menunjukkan bahwa infeksi dengan galur virus FIP dapat mengarah pada status carrier jangka panjang (Sparkes 2004). Induk yang carrier dapat menularkan virus keanaknya. FIP biasanya ditemukan pada anak kucing yang menggunakan litter individual dalam jangka waktu lama. Selain itu kejadian FIP juga dipengaruhi oleh faktor stres. Beberapa faktor yang menyebabkan stres adalah perpindahan tempat, tindakan bedah, vaksinasi dan adanya infeksi oleh virus lain seperti Feline Leukemia dan Feline Imunodeficiency (Sparkes 2004).

Infeksi FCoV terjadi melalui rute fekal-oral. Sekali kucing sudah terinfeksi biasanya akan bersifat persisten dan mengeluarkan virus dalam fesesnya, sedangkan beberapa kucing mengeluarkan virus hanya pada waktu tertentu. Virus bereplikasi dalam enterosit matang di usus halus dan besar, yang menyebabkan diare dan muntah. Gejala terparah ditunjukkan dengan adanya lesio yang parah di ileum, dengan terjadinya atrofi vili dan fusi vili ( Foley 2005).

Infeksi Galur virus FCoV penyebab enteritis bersifat terbatas khususnya hanya pada epitelium saluran intestinal. Galur FCoV penyebab FIP mampu menerobos barier usus dan menimbulkan infeksi sistemik terkait replikasi di dalam makrofag. Penelitian mengunakan RT-PCR material genom FCoV ditemukan ekstra intestinal pada kucing sehat dengan FCoV seropositif (Sparkes 2004).

Sumber Artikel (Klik Disini)



Pengertian Feline Infectious Peritonitis pada Kucing (Felis catus)

Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah penyakit yang sangat serius pada kucing, karena tidak mudah didiagnosis, sulit dikendalikan, dan hampir selalu berakibat kematian pada kucing. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia dan tidak hanya mempengaruhi kucing domestik, tapi juga kucing yang liar, termasuk cougars, bobcats, lynx, singa, dan Cheetah (Sherding 2004). Penyakit ini disebabkan oleh Feline Coronavirus (FCoV), yaitu termasuk keluarga coronavirus yang menimbulkan beragam gejala klinik, dari gejala yang tidak tampak sampai bentuk infeksi progresif yang fatal (Sparkes 2004).

Coronavirus adalah virus RNA ber-envelope yang memiliki genom RNA terbesar, yang menyebabkan virus ini sangat rentan terhadap mutasi spontan selama replikasi (Sparkes 2004). FCoV terdiri dari dua serotipe yaitu tipe satu (FCoV-1) dan tipe dua (FCoV-2) yang dibedakan dengan uji netralisasi. Prevalensi infeksi tipe satu dan dua sangat bervariasi di setiap negara, namun virus tipe satu umumnya lebih banyak terjadi, walaupun sulit dibiakkan secara in vitro. Sedangkan tipe dua jarang terjadi, namun mudah dibiakkan secara in vitro. Serotipe FCoV penting dari perspektif evolusi, tetapi tidak terlalu penting dari perspektif klinis. Dari perspektif klinis, dikenal biotipe FCoV yang tidak ada kaitannya dengan serotipe. Biotipe FCoV yang dikenal adalah Feline Infectious Coronavirus dan Feline Enteric Coronavirus (Hartmann 2003).

Pada dasarnya biotipe Feline Enteric Coronavirus (FECV) relatif tidak berbahaya dan biasa menyerang kucing. FECV yang bermutasi menjadi virus ganas disebut Feline Infectious Peritonitis virus (FIPV). Bila respon kekebalan tubuh kucing kurang baik, FECV yang bermutasi jadi FIPV ini dapat menyebabkan penyakit sistemik yang disebut Feline Infectious Peritonitis (Bell 2006).

Virus FCoV bersifat labil dan tidak tahan desinfektan, namun beberapa studi menunjukkan bahwa FCoV mampu bertahan pada lingkungan selama 2-7 minggu, yang berpotensi sebagai sumber infeksi terutama bila praktek higiene tidak diterapkan (Sparkes 2004).

Selain terjadi pada kucing, FIPV juga dapat menginfeksi anjing, babi dan beberapa spesies virus ini dapat pula menyerang manusia. Virus yang menyebabkan FIP pada kucing, tidak dapat menyerang manusia. Feline Coronavirus termasuk dalam kelompok coronavirus penyebab Transmisible Gastroenteritis Virus (TGEV) pada babi, Porcine Respiratory Coronavirus, Canine Coronavirus (CCV), dan Human Coronavirus (HCV-229E). Penularan antar spesies pernah dilaporkan pada coronavirus ini yang terkait dengan mutasi (Foley 2005).


Sumber Artikel (Klik Disini)
Back To Top