Home » Arsip untuk March 2015
Download Skirpsi - Pengaruh Pemberian Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus) Dan Murbei (Morus sp.) Terhadap Serum Kolesterol Dan Hormon Progesteron Pada Puyuh
selayangpandang 22:20 Admin Bandung Indonesia
selayangpandang 22:20 Admin Bandung Indonesia
Download Skripsi - Studi Pengembangan Bahan Pengawet Bakso Berbasis Asam Asetat Dan Atau Garam Asetat (Skripsi)
selayangpandang 21:50 Admin Bandung Indonesia
selayangpandang 21:50 Admin Bandung Indonesia
Kelinci memiliki
potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging,
kulit atau bulu, hewan percobaan, dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991).
Kelinci termasuk hewan herbivor non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan
monogastrik dengan perkembangan sekum seperti rumen ruminansia, sehingga
kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke dan Patton, 1982).
Klasifikasi
kelinci menurut Lebas et al. (1986) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Ordo : Logomorph
Family : Lepotidae
Sub family : Leporine
Genus : Oryctolagus
Species :
Oryctolagus cuniculus
Kelinci New Zealand White |
Bangsa kelinci
yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan penelitian paramedis adalah
New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan antara lain:
sifat produksi tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus
hidup yang pendek, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, adaptif
terhadap lingkungan yang baru, dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelinci New
Zealand White ini termasuk dalam bangsa medium yang memiliki bobot hidup
antara 3,5-4 kg (Lebas et al., 1986) dan mencapai bobot dewasa pada umur
5-6 bulan (Cheeke et al., 1982).
Kelinci dapat
menggunakan protein hijauan secara efisien, dengan tingkat reproduksi tinggi,
efisiensi pakan tinggi, hanya membutuhkan makanan dalam jumlah sedikit dan
kualitas dagingnya cukup tinggi (Cheeke, 1983; Farrel dan Raharjo, 1984).
Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensi reproduksi tinggi, laju pertumbuhan
cepat, periode kebuntingan yang pendek bila dibandingkan dengan ternak lain,
seperti sapi, kerbau, babi, kecuali unggas (Cheeke et al., 1982). Seekor
induk kelinci mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan
30-35 hari dan dari satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor
anak
(Rismunandar, 1981).
Daftar Pustaka
Cheeke, P. R. & N. M. Patton.
1982. Rabbit Production. 6th
Edition.
The Interstate Printers and Publisher Inc. Danville. Illinois.
Cheeke, P. R. 1983. Rabbit
production in Indonesia. Journal of Applied Rabbit Research 6 (3): 80-86.
Church, D. C. 1991. Livestock
Feeds and Feeding. 3rd
Edition.
Prentice Hall International. New Jersey.
Farrel, D. J. & Y. C.
Raharjo. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbit. Central Research
Institut for Animal Science. Bogor.
Lebas, F., P. Coudert, R. Rouvier
& H. D. Rochambeau. 1986. The Rabbit Husbandry, Health and Production. Food
and Agriculture Organization of The United Nation. Rome. Italy.
Rismunandar. 1981. Meningkatkan
Konsumsi Protein dengan Beternak Kelinci. Edisi ke-7. Penerbit CV. Sinar Baru.
Bandung.
Kelinci New Zealand White
Kelinci memiliki
potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging,
kulit atau bulu, hewan percobaan, dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991).
Kelinci termasuk hewan herbivor non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan
monogastrik dengan perkembangan sekum seperti rumen ruminansia, sehingga
kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke dan Patton, 1982).
Klasifikasi
kelinci menurut Lebas et al. (1986) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animal
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Ordo : Logomorph
Family : Lepotidae
Sub family : Leporine
Genus : Oryctolagus
Species :
Oryctolagus cuniculus
Kelinci New Zealand White |
Bangsa kelinci
yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan penelitian paramedis adalah
New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan antara lain:
sifat produksi tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus
hidup yang pendek, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, adaptif
terhadap lingkungan yang baru, dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelinci New
Zealand White ini termasuk dalam bangsa medium yang memiliki bobot hidup
antara 3,5-4 kg (Lebas et al., 1986) dan mencapai bobot dewasa pada umur
5-6 bulan (Cheeke et al., 1982).
Kelinci dapat
menggunakan protein hijauan secara efisien, dengan tingkat reproduksi tinggi,
efisiensi pakan tinggi, hanya membutuhkan makanan dalam jumlah sedikit dan
kualitas dagingnya cukup tinggi (Cheeke, 1983; Farrel dan Raharjo, 1984).
Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensi reproduksi tinggi, laju pertumbuhan
cepat, periode kebuntingan yang pendek bila dibandingkan dengan ternak lain,
seperti sapi, kerbau, babi, kecuali unggas (Cheeke et al., 1982). Seekor
induk kelinci mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan
30-35 hari dan dari satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor
anak
(Rismunandar, 1981).
Daftar Pustaka
Cheeke, P. R. & N. M. Patton.
1982. Rabbit Production. 6th
Edition.
The Interstate Printers and Publisher Inc. Danville. Illinois.
Cheeke, P. R. 1983. Rabbit
production in Indonesia. Journal of Applied Rabbit Research 6 (3): 80-86.
Church, D. C. 1991. Livestock
Feeds and Feeding. 3rd
Edition.
Prentice Hall International. New Jersey.
Farrel, D. J. & Y. C.
Raharjo. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbit. Central Research
Institut for Animal Science. Bogor.
Lebas, F., P. Coudert, R. Rouvier
& H. D. Rochambeau. 1986. The Rabbit Husbandry, Health and Production. Food
and Agriculture Organization of The United Nation. Rome. Italy.
Rismunandar. 1981. Meningkatkan
Konsumsi Protein dengan Beternak Kelinci. Edisi ke-7. Penerbit CV. Sinar Baru.
Bandung.
Menurut McDonald et al. (1995), tepung ikan dibuat dari ikan berkualitas yang kemudian diproses menjadi sumber protein dalam bentuk tepung ikan. Tepung ikan kaya akan asam amino esensial terutama lisin, sistin, metionin dan tryptopan. Bahan pakan ini juga mempunyai kandungan mineral yang tinggi (100-200 g/kg) seperti kalsium, phospor, mangan, besi dan iodine.
Tepung Ikan. Sumber Foto : http://www.siimat.com/wp-content/uploads/2013/03/jual-tepung-ikan.jpg |
Tepung ikan juga merupakan sumber vitamin B-kompleks yang baik terutama cholin, B12 dan riboflavin. Secara umum tepung ikan berkualitas baik mengandung protein kasar 60%-70% dan kaya akan asam amino esensial terutama lisin dan metionin yang baik, yang selalu kurang dalam bahan-bahan makanan ternak asal nabati (Rasyaf, 1999).
Daftar Pustaka
McDonald, P., R. A. Edwards., J. F. D. Greenhalgh & C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman Singapore Publishers. Singapore.
Rasyaf, M. 1999. Bahan Makanan Unggas Indonesia. Penerbit Kansius. Jakarta.
Tepung Ikan
Menurut McDonald et al. (1995), tepung ikan dibuat dari ikan berkualitas yang kemudian diproses menjadi sumber protein dalam bentuk tepung ikan. Tepung ikan kaya akan asam amino esensial terutama lisin, sistin, metionin dan tryptopan. Bahan pakan ini juga mempunyai kandungan mineral yang tinggi (100-200 g/kg) seperti kalsium, phospor, mangan, besi dan iodine.
Tepung Ikan. Sumber Foto : http://www.siimat.com/wp-content/uploads/2013/03/jual-tepung-ikan.jpg |
Tepung ikan juga merupakan sumber vitamin B-kompleks yang baik terutama cholin, B12 dan riboflavin. Secara umum tepung ikan berkualitas baik mengandung protein kasar 60%-70% dan kaya akan asam amino esensial terutama lisin dan metionin yang baik, yang selalu kurang dalam bahan-bahan makanan ternak asal nabati (Rasyaf, 1999).
Daftar Pustaka
McDonald, P., R. A. Edwards., J. F. D. Greenhalgh & C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman Singapore Publishers. Singapore.
Rasyaf, M. 1999. Bahan Makanan Unggas Indonesia. Penerbit Kansius. Jakarta.
Menurut Rukmana (1997), tanaman ubi jalar (Ipomea batatas
L.) termasuk tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh utama
terdiri dari batang, ubi, daun, buah, dan biji. Batang tanaman ini tidak
berkayu, berbentuk bulat dengan gabus di bagian tengahnya dan berwarna
hijau atau ungu. Daun berbentuk bulat sampai lonjong dengan tepi rata,
berlekuk dangkal, sampai berlekuk dalam. Daun berukuran lebar, menyatu,
ada pula yang bersifat menjari. Daun biasanya berwarna hijau tua atau
hijau kekuningan (Najiyati dan Danarti 2000).
Badan Pusat Statistik (2009) menyatakan bahwa produksi ubi
jalar di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 1.881.761 ton dan
diperkirakan produksi ubi jalar tahun 2009 akan meningkat menjadi
1.947.311 ton. Luas lahan panen ubi jalar sekitar 174.561
Ha dan diperkirakan akan meningkat menjadi 181.183
Ha pada tahun 2009.
Menurut Sudaryanto et al. (1984), dari beberapa
hijauan yang dimanfaatkan oleh ternak kelinci, konsumsi daun ubi jalar segar
merupakan yang tertinggi, yaitu 379,50 g/ekor/hari pada kelinci jantan dan
389,85 g/ekor/hari pada kelinci betina. Efisiensi pakan yang paling baik juga
terlihat pada perlakuan dengan pemberian ransum yang mengandung daun ubi jalar,
baik untuk kelinci jantan maupun kelinci betina.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2009. Luas
panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar menurut provinsi tahun 2008 dan
2009. http//bps.go.id. [5 Agustus 2009]
Najiayati. S. & Danarti.
2000. Palawija, Budidaya, dan Analisis Usaha Tani. PT. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Rukmana, R.
1997. Ubi Jalar: Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta.
Sudaryanto, B., Y. C. Rahardjo
& M. Rangkuti. 1984. Pengaruh beberapa hijauan terhadap performan kelinci
di pedesaan. Laporan Penelitian. Ilmu dan Peternakan. Puslitbangnak. Bogor.
Daun Ubi Jalar untuk Pakan Kelinci
Menurut Rukmana (1997), tanaman ubi jalar (Ipomea batatas
L.) termasuk tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh utama
terdiri dari batang, ubi, daun, buah, dan biji. Batang tanaman ini tidak
berkayu, berbentuk bulat dengan gabus di bagian tengahnya dan berwarna
hijau atau ungu. Daun berbentuk bulat sampai lonjong dengan tepi rata,
berlekuk dangkal, sampai berlekuk dalam. Daun berukuran lebar, menyatu,
ada pula yang bersifat menjari. Daun biasanya berwarna hijau tua atau
hijau kekuningan (Najiyati dan Danarti 2000).
Badan Pusat Statistik (2009) menyatakan bahwa produksi ubi
jalar di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 1.881.761 ton dan
diperkirakan produksi ubi jalar tahun 2009 akan meningkat menjadi
1.947.311 ton. Luas lahan panen ubi jalar sekitar 174.561
Ha dan diperkirakan akan meningkat menjadi 181.183
Ha pada tahun 2009.
Menurut Sudaryanto et al. (1984), dari beberapa
hijauan yang dimanfaatkan oleh ternak kelinci, konsumsi daun ubi jalar segar
merupakan yang tertinggi, yaitu 379,50 g/ekor/hari pada kelinci jantan dan
389,85 g/ekor/hari pada kelinci betina. Efisiensi pakan yang paling baik juga
terlihat pada perlakuan dengan pemberian ransum yang mengandung daun ubi jalar,
baik untuk kelinci jantan maupun kelinci betina.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2009. Luas
panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar menurut provinsi tahun 2008 dan
2009. http//bps.go.id. [5 Agustus 2009]
Najiayati. S. & Danarti.
2000. Palawija, Budidaya, dan Analisis Usaha Tani. PT. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Rukmana, R.
1997. Ubi Jalar: Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta.
Sudaryanto, B., Y. C. Rahardjo
& M. Rangkuti. 1984. Pengaruh beberapa hijauan terhadap performan kelinci
di pedesaan. Laporan Penelitian. Ilmu dan Peternakan. Puslitbangnak. Bogor.
Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil samping dari proses
ekstraksi inti sawit. Bahan ini diperoleh dengan cara proses kimia atau mekanik
(Mirwandhono dan Siregar, 2004). Satu tandan buah sawit segar menghasilkan
bungkil inti sawit sebanyak 45-46%. BIS umumnya mengandung air kurang dari 10%,
protein 14-17%, lemak 9,5-10,5%, dan serat kasar 12-18%. BIS mengandung serat
kasar yang tinggi dan sekitar 20% protein kasar (McNab dan Boorman, 2002).
Bungkil Inti Sawit Sumber Foto : http://usahabudidaya.com/wp-content/uploads/2014/06/Bungkil-Inti-Sawit.jpg |
Menurut Elisabeth dan Ginting (2003), BIS kurang disarankan sebagai
bahan baku pakan ternak non-ruminansia karena kandungan serat kasar pada BIS
lebih tinggi dibandingkan bahan baku sumber protein lainnya. Menurut Adeniji
(2002), ransum yang mengandung bungkil inti sawit tidak memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, serta
konversi ransum.
Peningkatan level penggunaan bungkil inti sawit (12,5; 25;
37,5; dan 50%) dalam ransum mengakibatkan penurunan level bobot badan akhir
kelinci. Persentase penggunaan bungkil inti sawit sebagai pengganti bungkil
kacang tanah dalam ransum yang optimal dan direkomendasikan sebagai pakan untuk
kelinci lepas sapih adalah 37,5% dari total ransum (Adeniji, 2002).
Daftar Pustaka
Adeniji, A. A. 2002. The
replacement value of palmkernel cake for groundnut cake in the diets of weaner
rabbits. Journal of Livestock Production Science 85: 287-291.
Elisabeth, J. & S. P.
Ginting. 2003. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan
pakan ternak sapi potong. Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu.
Mirwandhono, E. & Z. Siregar.
2004. Pemanfaatan hidrolisat tepung kepala udang dan limbah kelapa sawit yang
difermentasi dengan Aspergillus niger, Rhizopus oligosporus dan Thricoderma
viridae dalam ransum ayam pedaging. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Medan.
McNab, J. M. & K. N. Boorman.
2002. Poultry Feedstuffs: Supply, Composition, and Nutritive Value. CABI
Publishing, Oxfordshire.
selayangpandang
19:44
Admin
Bandung IndonesiaBungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil samping dari proses
ekstraksi inti sawit. Bahan ini diperoleh dengan cara proses kimia atau mekanik
(Mirwandhono dan Siregar, 2004). Satu tandan buah sawit segar menghasilkan
bungkil inti sawit sebanyak 45-46%. BIS umumnya mengandung air kurang dari 10%,
protein 14-17%, lemak 9,5-10,5%, dan serat kasar 12-18%. BIS mengandung serat
kasar yang tinggi dan sekitar 20% protein kasar (McNab dan Boorman, 2002).
Bungkil Inti Sawit Sumber Foto : http://usahabudidaya.com/wp-content/uploads/2014/06/Bungkil-Inti-Sawit.jpg |
Menurut Elisabeth dan Ginting (2003), BIS kurang disarankan sebagai
bahan baku pakan ternak non-ruminansia karena kandungan serat kasar pada BIS
lebih tinggi dibandingkan bahan baku sumber protein lainnya. Menurut Adeniji
(2002), ransum yang mengandung bungkil inti sawit tidak memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, serta
konversi ransum.
Peningkatan level penggunaan bungkil inti sawit (12,5; 25;
37,5; dan 50%) dalam ransum mengakibatkan penurunan level bobot badan akhir
kelinci. Persentase penggunaan bungkil inti sawit sebagai pengganti bungkil
kacang tanah dalam ransum yang optimal dan direkomendasikan sebagai pakan untuk
kelinci lepas sapih adalah 37,5% dari total ransum (Adeniji, 2002).
Daftar Pustaka
Adeniji, A. A. 2002. The
replacement value of palmkernel cake for groundnut cake in the diets of weaner
rabbits. Journal of Livestock Production Science 85: 287-291.
Elisabeth, J. & S. P.
Ginting. 2003. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan
pakan ternak sapi potong. Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu.
Mirwandhono, E. & Z. Siregar.
2004. Pemanfaatan hidrolisat tepung kepala udang dan limbah kelapa sawit yang
difermentasi dengan Aspergillus niger, Rhizopus oligosporus dan Thricoderma
viridae dalam ransum ayam pedaging. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Medan.
McNab, J. M. & K. N. Boorman.
2002. Poultry Feedstuffs: Supply, Composition, and Nutritive Value. CABI
Publishing, Oxfordshire.
Bungkil kedelai merupakan produk hasil ikutan penggilingan
biji kedelai setelah diekstraksi minyaknya, baik secara mekanik dengan
penekanan maupun kimia menggunakan pelarut organik. Protein bungkil kedelai
mengandung seluruh asam amino esensial, tetapi untuk methionin dan sistin
jumlahnya belum optimal (McDonald et al., 1995).
Bungkil Kedelai (Soy Bean Meal) Sumber Foto : http://www.sinarmentarigroup.com/ |
Bungkil kedelai yang dihasilkan secara mekanis mengandung
lebih banyak minyak dan serat kasar, serta kandungan proteinnya lebih rendah
dibandingkan dengan bungkil kedelai yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut
heksan (Suryahadi et al., 1997).
Rasidi (2002) menyatakan bahwa bungkil kedelai merupakan
sisa hasil dari proses pembuatan minyak kedelai. Bahan ini sangat baik untuk
campuran pakan ternak karena kandungan proteinnya tinggi, yaitu antara 42-45 %.
Bungkil kedelai merupakan sumber protein nabati dan sumber energi sehingga
sangat disukai ternak.
Daftar Pustaka
McDonald, P., R. A. Edwards., J.
F. D. Greenhalgh & C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman
Singapore Publishers. Singapore.
Rasidi. 2002. 302 Formulasi Pakan
Lokal Alternatif untuk Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suryahadi, Nahrowi, I. G.
Permana, L. Abdullah, & Hadiyanto. 1997. Pengelolaan Pakan Sapi Perah. Buku
Materi Penyuluhan. Kerjasama Fakultas Peternakan IPB dengan Gabungan Koperasi
Susu Indonesia. Bogor.
selayangpandang
19:42
Admin
Bandung IndonesiaBungkil Kedelai
Bungkil kedelai merupakan produk hasil ikutan penggilingan
biji kedelai setelah diekstraksi minyaknya, baik secara mekanik dengan
penekanan maupun kimia menggunakan pelarut organik. Protein bungkil kedelai
mengandung seluruh asam amino esensial, tetapi untuk methionin dan sistin
jumlahnya belum optimal (McDonald et al., 1995).
Bungkil Kedelai (Soy Bean Meal) Sumber Foto : http://www.sinarmentarigroup.com/ |
Bungkil kedelai yang dihasilkan secara mekanis mengandung
lebih banyak minyak dan serat kasar, serta kandungan proteinnya lebih rendah
dibandingkan dengan bungkil kedelai yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut
heksan (Suryahadi et al., 1997).
Rasidi (2002) menyatakan bahwa bungkil kedelai merupakan
sisa hasil dari proses pembuatan minyak kedelai. Bahan ini sangat baik untuk
campuran pakan ternak karena kandungan proteinnya tinggi, yaitu antara 42-45 %.
Bungkil kedelai merupakan sumber protein nabati dan sumber energi sehingga
sangat disukai ternak.
Daftar Pustaka
McDonald, P., R. A. Edwards., J.
F. D. Greenhalgh & C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman
Singapore Publishers. Singapore.
Rasidi. 2002. 302 Formulasi Pakan
Lokal Alternatif untuk Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suryahadi, Nahrowi, I. G.
Permana, L. Abdullah, & Hadiyanto. 1997. Pengelolaan Pakan Sapi Perah. Buku
Materi Penyuluhan. Kerjasama Fakultas Peternakan IPB dengan Gabungan Koperasi
Susu Indonesia. Bogor.
Silase adalah pakan produk fermentasi
hijauan, hasil sampingan pertanian fan agroindustri dengan kadar air tinggi
yang diawetkan dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun
secara alami dihasilkan bahan selama penyimpanan dalam kondisi anaerob
(McDonald et al., 1991). Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk
mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijaun untuk
dimanfaatkan pada masa mendatang (Sapienza dan Bolsen, 1993). Stimulan
fermentasi bekerja membantu pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi
asam segera tercapai, contohnya inokulan bakteri yaitu bakteri asam laktat yang
berfungsi untuk meningkatkan populasi bakteri asam laktat dalam bahan pakan
(McDonald et al, 1991).
Menurut Ensminger (1990), karakteristik
silase yang baik antara lain pH kurang dari 4,5 serta barbau asam laktat atau
campuran asam laktat dan asam asetat, warna tidak berubah dengan warna asalnya,
dan kehilangan nutrien dapat ditekan. Silase memiliki beberapa kelebihan antara
lain: ransum lebih awet, memiliki kandungan bakteri asam laktat yang berperan
sebagai probiotik dan memiliki kandungan asam organik yang berperan sebagai growth
promotor dan penghambat penyakit. Silase yang baik diperoleh dengan menekan
berbagai aktivitas enzim yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki
namun dapat mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan
Bolsen, 1993).
Pembuatan silase secara garis besar dibagi menjadi empat fase (Sapienza dan Bolsen, 1993). Pertama adalah fase aerob, fase ini berlangsung dua proses yaitu proses respirasi dan proses proteolisis, akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut. Proses respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbondioksida dan air, dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan panas. Kedua adalah fase fermentasi ketika kondisi aerob tercapai pada bahan yang diawetkan beberapa proses mulai berlangsung, isi sel makanan mulai dirombak. Pada hijauan basah, proses ini berlagsung dalam beberapa jam, sedangkan pada hijaun kering dapat berlangsung hingga satu hari. Ketiga adalah fase stabil, setelah masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir, maka proses ensilase memasuki fase stabil, hanya sedikit sekali aktivitas mikroba. Keempat adalah fase pengeluaran silase, oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase terbuka.
Daftar Pustaka
Ensminger, M. E., J. E. Oldfield
& W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition
Complete). 2nd
Edition.
The Ensminger Publishing California.
McDonald, P., A. R. Henderson,
& S. J. E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. 2nd Edition.
Chalcombe. Marlow.
Sapienza, D. A., & K. K.
Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Penerjemah, Martoyoedo R.B.S. Pioner-Hi-Bred
International, Inc. Kansas State University. Kansas.
selayangpandang
19:36
Admin
Bandung IndonesiaSilase
Silase adalah pakan produk fermentasi
hijauan, hasil sampingan pertanian fan agroindustri dengan kadar air tinggi
yang diawetkan dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun
secara alami dihasilkan bahan selama penyimpanan dalam kondisi anaerob
(McDonald et al., 1991). Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk
mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijaun untuk
dimanfaatkan pada masa mendatang (Sapienza dan Bolsen, 1993). Stimulan
fermentasi bekerja membantu pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi
asam segera tercapai, contohnya inokulan bakteri yaitu bakteri asam laktat yang
berfungsi untuk meningkatkan populasi bakteri asam laktat dalam bahan pakan
(McDonald et al, 1991).
Menurut Ensminger (1990), karakteristik
silase yang baik antara lain pH kurang dari 4,5 serta barbau asam laktat atau
campuran asam laktat dan asam asetat, warna tidak berubah dengan warna asalnya,
dan kehilangan nutrien dapat ditekan. Silase memiliki beberapa kelebihan antara
lain: ransum lebih awet, memiliki kandungan bakteri asam laktat yang berperan
sebagai probiotik dan memiliki kandungan asam organik yang berperan sebagai growth
promotor dan penghambat penyakit. Silase yang baik diperoleh dengan menekan
berbagai aktivitas enzim yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki
namun dapat mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan
Bolsen, 1993).
Pembuatan silase secara garis besar dibagi menjadi empat fase (Sapienza dan Bolsen, 1993). Pertama adalah fase aerob, fase ini berlangsung dua proses yaitu proses respirasi dan proses proteolisis, akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut. Proses respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbondioksida dan air, dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan panas. Kedua adalah fase fermentasi ketika kondisi aerob tercapai pada bahan yang diawetkan beberapa proses mulai berlangsung, isi sel makanan mulai dirombak. Pada hijauan basah, proses ini berlagsung dalam beberapa jam, sedangkan pada hijaun kering dapat berlangsung hingga satu hari. Ketiga adalah fase stabil, setelah masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir, maka proses ensilase memasuki fase stabil, hanya sedikit sekali aktivitas mikroba. Keempat adalah fase pengeluaran silase, oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase terbuka.
Daftar Pustaka
Ensminger, M. E., J. E. Oldfield
& W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition
Complete). 2nd
Edition.
The Ensminger Publishing California.
McDonald, P., A. R. Henderson,
& S. J. E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. 2nd Edition.
Chalcombe. Marlow.
Sapienza, D. A., & K. K.
Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Penerjemah, Martoyoedo R.B.S. Pioner-Hi-Bred
International, Inc. Kansas State University. Kansas.
McElhiney (1994) menyatakan bahwa
pellet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara mekanik yang
didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan, selain itu dua faktor yang
mempengaruhi ketahanan serta kualitas fisik pellet adalah karakteristik dan
ukuran partikel bahan. Pellet yang berkualitas harus mempunyai nutrien tinggi
misalnya meningkatkan konsumsi ransum dan mungkin meningkatkan nilai nutrien
(Thomas dan van der Poel, 1995).
Produksi pellet adalah suatu proses
pengolahan pakan dengan mengompakkan bahan menggunakan mesin die sehingga
menjadi bentuk silinder atau potongan kecil dengan diameter, panjang, dan
derajat kekerasan yang berbeda. Pellet yang berukuran besar umumnya terbuat
dari pakan hijauan. Pakan pellet populer dengan pemilik kuda atau karateker
terdiri dari pellet konsentrat, pellet hay, dan pakan pellet komplit (kombinasi
hay dengan konsentrat) (Ensminger et al. 1990).
Pakan dalam bentuk pellet merupakan
salah satu bentuk awetan karena melalui pengawetan bahan pakan dalam bentuk
yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan penyediaannya dalam hal
mempertahankan kualitas pakan (Mathius et al. 2006). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas pellet antara lain pati, serat dan lemak (Balagopalan et
al., 1988). Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi
yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pellet. Serat
berfungsi sebagai kerangka pellet dan lemak berfungsi sebagai pelicin selama
proses pembentukan pellet dalam mesin pellet sehingga mempermudah pembentukan
pellet.
Kestabilan pellet juga dipengaruhi oleh
kandungan kadar air bahan baku, ukuran partikel dan suhu sebelum pengolahan,
selain itu untuk menghasilkan pellet yang berkualitas baik dengan biaya
operasional yang rendah perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya ukuran
ketebalan die (cetakan), diameter die, kecepatan putaran die dan
ukuran pemberian ransum (Balagopalan et al., 1988).
Daftar Pustaka
Balagopalan, C.,
G. Padmaja, S. K. Nanda, & S. N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and
Industry. CRC Press, Florida.
Ensminger, M.
E., J. E. Oldfield & W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed
and Nutrition Complete). 2nd Edition. The Ensminger Publishing California.
Mathius, J. W.,
A. P. Sinurat, D. M. Sitompul, B. P. Manurung, & Azmi. 2006. Pengaruh
bentuk dan lama penyimpanan terhadap kualitas dan nilai biologis pakan komplit.
Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner hal: 57-66.
McElhiney, R. R.
1994. Feed Manufacturing Technology IV. American Feed Industry Association,
Inc. Arlington, Virginia.
Thomas, M. &
A. F. B. V. D. Poel. 1996. Physical quality of pelleted animal feed 1. Criteria
for pellet quality. Animal Feed Sci. Tech. 61: 89-112.
Pakan Bentuk Pellet
McElhiney (1994) menyatakan bahwa
pellet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara mekanik yang
didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan, selain itu dua faktor yang
mempengaruhi ketahanan serta kualitas fisik pellet adalah karakteristik dan
ukuran partikel bahan. Pellet yang berkualitas harus mempunyai nutrien tinggi
misalnya meningkatkan konsumsi ransum dan mungkin meningkatkan nilai nutrien
(Thomas dan van der Poel, 1995).
Produksi pellet adalah suatu proses
pengolahan pakan dengan mengompakkan bahan menggunakan mesin die sehingga
menjadi bentuk silinder atau potongan kecil dengan diameter, panjang, dan
derajat kekerasan yang berbeda. Pellet yang berukuran besar umumnya terbuat
dari pakan hijauan. Pakan pellet populer dengan pemilik kuda atau karateker
terdiri dari pellet konsentrat, pellet hay, dan pakan pellet komplit (kombinasi
hay dengan konsentrat) (Ensminger et al. 1990).
Pakan dalam bentuk pellet merupakan
salah satu bentuk awetan karena melalui pengawetan bahan pakan dalam bentuk
yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan penyediaannya dalam hal
mempertahankan kualitas pakan (Mathius et al. 2006). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas pellet antara lain pati, serat dan lemak (Balagopalan et
al., 1988). Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi
yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pellet. Serat
berfungsi sebagai kerangka pellet dan lemak berfungsi sebagai pelicin selama
proses pembentukan pellet dalam mesin pellet sehingga mempermudah pembentukan
pellet.
Kestabilan pellet juga dipengaruhi oleh
kandungan kadar air bahan baku, ukuran partikel dan suhu sebelum pengolahan,
selain itu untuk menghasilkan pellet yang berkualitas baik dengan biaya
operasional yang rendah perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya ukuran
ketebalan die (cetakan), diameter die, kecepatan putaran die dan
ukuran pemberian ransum (Balagopalan et al., 1988).
Daftar Pustaka
Balagopalan, C.,
G. Padmaja, S. K. Nanda, & S. N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and
Industry. CRC Press, Florida.
Ensminger, M.
E., J. E. Oldfield & W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed
and Nutrition Complete). 2nd Edition. The Ensminger Publishing California.
Mathius, J. W.,
A. P. Sinurat, D. M. Sitompul, B. P. Manurung, & Azmi. 2006. Pengaruh
bentuk dan lama penyimpanan terhadap kualitas dan nilai biologis pakan komplit.
Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner hal: 57-66.
McElhiney, R. R.
1994. Feed Manufacturing Technology IV. American Feed Industry Association,
Inc. Arlington, Virginia.
Thomas, M. &
A. F. B. V. D. Poel. 1996. Physical quality of pelleted animal feed 1. Criteria
for pellet quality. Animal Feed Sci. Tech. 61: 89-112.
Mortalitas
ialah angka kematian ayam yang terjadi dalam satu kelompok kandang. Angka
mortalitas merupakan perbandingan antara jumlah seluruh ayam mati dan jumlah
ayam total yang dipelihara (Bell dan Weaver, 2002). Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat mortalitas antara lain bobot badan, tipe ayam, iklim,
kebersihan, suhu lingkungan, sanitasi peralatan, dan kandang serta pernyakit.
Penyakit salah satu penyebab tingginya angka kematian pada ayam pedaging |
Pemeliharaan
ayam broiler dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang
dari 5%. Angka mortalitas dipengaruhi oleh umur. Ayam broiler umur 5-8 minggu
memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan umur 2-4 minggu
(Bell dan Weaver, 2002). Penggunaan antibiotik Zinc bacitracin dapat
menurunkan tingkat kematian ayam broiler sebesar 2,5% (Mujiasih, 2001).
Penambahan herbal dapat meningkatkan daya tahan broiler sehingga mengurangi
kematian. Penambahan tepung kencur dan bawang putih tidak mengakibatkan
kematian selama penelitian (Bintang dan Jarmani, 2006). Dewi (2007) melaporkan
bahwa penambahan herbal medicine berupa tepung daun pepaya dan tepung
kunyit dapat menurunkan tingkat kematian ayam broiler sebesar 5%.
Daftar Pustaka
Bell, D. D. and W. D. Weaver Jr. 2002. Commercial Chicken Meat and
Egg Production. 5th Ed. Springer Science Business Media, Inc., New York.
Bintang, I. A. K. dan S. N. Jarmani. 2006. Penggunaan kencur (Kaempferia
galanga L.), bawang putih (Akkium sativum L.) dan kombinasinya dalam
pakan broiler. Dalam: Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi
dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Hal: 53-57.
Dewi, F. K. 2007. Pengaruh pemberian tepung kunyit dan tepung daun
pepaya dalam ransum terhadap performa, persentase karkas dan lemak abdominal
ayam broiler yang mengalami cekaman panas. Skripsi. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mujiasih. 2001. Performa ayam broiler yang diberi antibiotik Zinc
bacitracin, probiotik Bacillus sp. dan berbagai level Saccharomyces
cerevisiae dalam ransumnya. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Wahyono, A. 2009. Optimalkan program kesehatan unggas, investasi aman
peternak senang. http://www.vet-indo.com. [10 April 2009]
Mortalitas Pada Broiler
Mortalitas
ialah angka kematian ayam yang terjadi dalam satu kelompok kandang. Angka
mortalitas merupakan perbandingan antara jumlah seluruh ayam mati dan jumlah
ayam total yang dipelihara (Bell dan Weaver, 2002). Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat mortalitas antara lain bobot badan, tipe ayam, iklim,
kebersihan, suhu lingkungan, sanitasi peralatan, dan kandang serta pernyakit.
Penyakit salah satu penyebab tingginya angka kematian pada ayam pedaging |
Pemeliharaan
ayam broiler dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang
dari 5%. Angka mortalitas dipengaruhi oleh umur. Ayam broiler umur 5-8 minggu
memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan umur 2-4 minggu
(Bell dan Weaver, 2002). Penggunaan antibiotik Zinc bacitracin dapat
menurunkan tingkat kematian ayam broiler sebesar 2,5% (Mujiasih, 2001).
Penambahan herbal dapat meningkatkan daya tahan broiler sehingga mengurangi
kematian. Penambahan tepung kencur dan bawang putih tidak mengakibatkan
kematian selama penelitian (Bintang dan Jarmani, 2006). Dewi (2007) melaporkan
bahwa penambahan herbal medicine berupa tepung daun pepaya dan tepung
kunyit dapat menurunkan tingkat kematian ayam broiler sebesar 5%.
Daftar Pustaka
Bell, D. D. and W. D. Weaver Jr. 2002. Commercial Chicken Meat and
Egg Production. 5th Ed. Springer Science Business Media, Inc., New York.
Bintang, I. A. K. dan S. N. Jarmani. 2006. Penggunaan kencur (Kaempferia
galanga L.), bawang putih (Akkium sativum L.) dan kombinasinya dalam
pakan broiler. Dalam: Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi
dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Hal: 53-57.
Dewi, F. K. 2007. Pengaruh pemberian tepung kunyit dan tepung daun
pepaya dalam ransum terhadap performa, persentase karkas dan lemak abdominal
ayam broiler yang mengalami cekaman panas. Skripsi. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mujiasih. 2001. Performa ayam broiler yang diberi antibiotik Zinc
bacitracin, probiotik Bacillus sp. dan berbagai level Saccharomyces
cerevisiae dalam ransumnya. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Wahyono, A. 2009. Optimalkan program kesehatan unggas, investasi aman
peternak senang. http://www.vet-indo.com. [10 April 2009]
Konsumsi
ransum ialah jumlah ransum dan zat makanan lain yang dimakan dalam jumlah waktu
tertentu dan digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup (Wahju,
2004). Menurut Tillman et al. (1991), konsumsi diperhitungkan sebagai
jumlah makanan yang dimakan oleh ternak dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan
hidup pokok serta produksi ternak tersebut. National Research Council (1994)
menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh bobot tubuh ayam, jenis
kelamin, aktivitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum.
Wahju (2004) menyatakan bahwa besar dan bangsa ayam, suhu lingkungan, tahap
produksi dan energi dalam ransum dapat mempengaruhi konsumsi. Laju pertumbuhan
yang cepat diimbangi oleh konsumsi makanan yang banyak (Amrullah, 2004).
Kebutuhan nutrisi ayam broiler menurut National Research Council (1994) dapat
dilihat pada Tabel.
Tabel. Kebutuhan Nutrisi Ayam Broiler
Nutrien
|
Periode
|
|
Starter
|
Starter
|
Finisher
|
Protein Kasar (%)
Energi Metabolis
(kkal/kg)
Kalsium (%)
P Non Fitat (%)
Asam Linoleat (%)
Histidin (%)
Glisin dan Serin
(%)
Treonin (%)
Arginin (%)
Metionin (%)
Metionin dan Sistin
(%)
Valin (%)
Fenilalanin (%)
Isoleusin (%)
Leusin (%)
Lisin (%)
|
23,00
3.200
1,00
0,45
1,00
0,35
1,25
0,80
1,25
0,50
0,90
0,90
0,72
0,80
1,20
1,10
|
20,00
3.200
0,90
0,35
1,00
0,32
1,14
0,74
1,10
0,38
0,72
0,82
0,65
0,73
1,09
1,00
|
Suhu
lingkungan yang disertai dengan kelembaban tinggi dapat menurunkan konsumsi
ransum dan mengganggu proses metabolisme sehingga berakibat defisiensi zat-zat
makanan untuk pertumbuhan dan produksi (Syamsuhaidi, 1997). Tingkat energi
dalam ransum menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi akan
menurun jika ransum berenergi tinggi. Ransum dengan kandungan energi tinggi
harus diimbangi dengan protein, vitamin dan mineral yang cukup agar ayam tidak
mengalami defisiensi protein, vitamin dan mineral (Wahju, 2004).
Pemberian
beberapa herbal terhadap broiler telah dilakukan, diantaranya oleh Rosalyn
(2005) yang menyatakan bahwa pemberian temulawak sebesar 0,4% memberikan hasil
optimum pada peningkatan konsumsi di periode starter. Pemberian ampas mengkudu
yang meningkat menyebabkan penurunan konsumsi (Bintang et al., 2007).
Penambahan serbuk kunyit, serbuk bawang putih, dan mineral zink tidak
memperbaiki dan juga tidak menurunkan konsumsi ransum ayam penelitian
(Purwanti, 2008).
Daftar
Pustaka
Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler.
Cetakan Ketiga. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.
Bintang,
I. A. K. dan S. N. Jarmani. 2006. Penggunaan kencur (Kaempferia galanga L.),
bawang putih (Akkium sativum L.) dan kombinasinya dalam pakan broiler. Dalam:
Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usahaternak
Unggas Berdayasaing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hal: 53-57
National
Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Revised Ed.
National Academy Press, Washington.
Purwanti,
S. 2008. Kajian efektifitas pemberian kunyit, bawang putih dan mineral zink
terhadap performa, kadar lemak, kolesterol, dan status kesehatan broiler.
Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rosalyn,
E.M. 2005. Pengaruh pemberian kunyit (Curcuma domestica Val.) atau
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dalam ransum terhadap performa
broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syamsuhaidi.
1997. Penggunaan duckweed (famili Lemnaceae) sebagai pakan serat
sumber protein dalam ransum ayam pedaging. Disertasi. Program Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tillman,
A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo dan L. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wahju,
J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Konsumsi Ransum Ayam Pedaging dan Faktor yang Mempengaruhinya
Konsumsi
ransum ialah jumlah ransum dan zat makanan lain yang dimakan dalam jumlah waktu
tertentu dan digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup (Wahju,
2004). Menurut Tillman et al. (1991), konsumsi diperhitungkan sebagai
jumlah makanan yang dimakan oleh ternak dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan
hidup pokok serta produksi ternak tersebut. National Research Council (1994)
menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh bobot tubuh ayam, jenis
kelamin, aktivitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum.
Wahju (2004) menyatakan bahwa besar dan bangsa ayam, suhu lingkungan, tahap
produksi dan energi dalam ransum dapat mempengaruhi konsumsi. Laju pertumbuhan
yang cepat diimbangi oleh konsumsi makanan yang banyak (Amrullah, 2004).
Kebutuhan nutrisi ayam broiler menurut National Research Council (1994) dapat
dilihat pada Tabel.
Tabel. Kebutuhan Nutrisi Ayam Broiler
Nutrien
|
Periode
|
|
Starter
|
Starter
|
Finisher
|
Protein Kasar (%)
Energi Metabolis
(kkal/kg)
Kalsium (%)
P Non Fitat (%)
Asam Linoleat (%)
Histidin (%)
Glisin dan Serin
(%)
Treonin (%)
Arginin (%)
Metionin (%)
Metionin dan Sistin
(%)
Valin (%)
Fenilalanin (%)
Isoleusin (%)
Leusin (%)
Lisin (%)
|
23,00
3.200
1,00
0,45
1,00
0,35
1,25
0,80
1,25
0,50
0,90
0,90
0,72
0,80
1,20
1,10
|
20,00
3.200
0,90
0,35
1,00
0,32
1,14
0,74
1,10
0,38
0,72
0,82
0,65
0,73
1,09
1,00
|
Suhu
lingkungan yang disertai dengan kelembaban tinggi dapat menurunkan konsumsi
ransum dan mengganggu proses metabolisme sehingga berakibat defisiensi zat-zat
makanan untuk pertumbuhan dan produksi (Syamsuhaidi, 1997). Tingkat energi
dalam ransum menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi akan
menurun jika ransum berenergi tinggi. Ransum dengan kandungan energi tinggi
harus diimbangi dengan protein, vitamin dan mineral yang cukup agar ayam tidak
mengalami defisiensi protein, vitamin dan mineral (Wahju, 2004).
Pemberian
beberapa herbal terhadap broiler telah dilakukan, diantaranya oleh Rosalyn
(2005) yang menyatakan bahwa pemberian temulawak sebesar 0,4% memberikan hasil
optimum pada peningkatan konsumsi di periode starter. Pemberian ampas mengkudu
yang meningkat menyebabkan penurunan konsumsi (Bintang et al., 2007).
Penambahan serbuk kunyit, serbuk bawang putih, dan mineral zink tidak
memperbaiki dan juga tidak menurunkan konsumsi ransum ayam penelitian
(Purwanti, 2008).
Daftar
Pustaka
Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler.
Cetakan Ketiga. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.
Bintang,
I. A. K. dan S. N. Jarmani. 2006. Penggunaan kencur (Kaempferia galanga L.),
bawang putih (Akkium sativum L.) dan kombinasinya dalam pakan broiler. Dalam:
Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usahaternak
Unggas Berdayasaing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hal: 53-57
National
Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Revised Ed.
National Academy Press, Washington.
Purwanti,
S. 2008. Kajian efektifitas pemberian kunyit, bawang putih dan mineral zink
terhadap performa, kadar lemak, kolesterol, dan status kesehatan broiler.
Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rosalyn,
E.M. 2005. Pengaruh pemberian kunyit (Curcuma domestica Val.) atau
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dalam ransum terhadap performa
broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syamsuhaidi.
1997. Penggunaan duckweed (famili Lemnaceae) sebagai pakan serat
sumber protein dalam ransum ayam pedaging. Disertasi. Program Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tillman,
A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo dan L. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wahju,
J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Ayam
broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, famili Phasianidae,
genus Gallus dan spesies Gallus domesticus yang dihasilkan dari
bangsa ayam tipe berat Cornish. Ayam broiler merupakan ayam pedaging
tipe berat yang lebih muda dan berukuran lebih kecil. Ayam broiler ini dapat
tumbuh sangat cepat dan dapat dipanen pada umur empat minggu untuk menghasilkan
daging dan menguntungkan secara ekonomis. Bangsa ayam yang dipilih adalah yang
berbulu putih dan seleksi diteruskan sehingga menghasilkan ayam broiler seperti
sekarang (Amrullah, 2004).
Karakteristik
ayam broiler modern menurut Pond et al. (1995) adalah pertumbuhan yang
cepat, banyak penimbunan lemak pada bagian dada dan otot-otot daging, serta
aktivitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan jenis ayam petelur. Ayam
broiler merupakan ayam-ayam muda jantan atau betina yang menghasilkan daging
dan umumnya dipanen pada umur sekitar 5-6 minggu dengan bobot badan antara
1,2-1,9 kg/ekor (Kartasudjana, 2005). Menurut Rasyaf (2003), broiler dipasarkan
pada umur 5-6 minggu dengan bobot hidup antara 1,3-1,6 kg per ekor.
Performa
ayam broiler akan berbeda akibat perbedaan ketinggian atau suhu lingkungan
sekitar kandang (Amrullah, 2004). Broiler mulai panting pada suhu
lingkungan 29 oC dengan kelembapan 50% (Bell dan Weaver, 2002). Suhu lingkungan
yang nyaman sesuai kebutuhan broiler untuk menghasilkan produksi optimum sesuai
umur broiler ditampilkan pada Tabel.
Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Pertumbuhan
Optimum pada Berbagai Umur Ayam Broiler
Umur (Minggu)
|
Suhu Rekomendasi oC
|
1
2
3
≥ 4
|
30
30
27,2
23,9
|
Sumber
: Bell dan Weaver (2002)
Suhu
lingkungan yang tinggi dapat mengganggu proses homeostasis sehingga menyebabkan
kesehatan ternak terganggu (Scott et al., 1982). Selain faktor suhu, keadaan
suatu wilayah juga mempengaruhi performa dan angka mortalitas. Di wilayah
endemik penyakit tertentu perlu diadakan program vaksinasi dan pengobatan jika
diperlukan (Amrullah, 2004). Performa broiler (konsumsi ransum, pertambahan
bobot badan, konversi ransum, tingkat kematian, bobot badan akhir) strain
Ross menurut Ross Breeders (2007) ditunjukan pada Tabel.
Tabel. Performa Broiler Strain Ross selama Lima Minggu Pemeliharaan (Ross Breeders, 2007)
Peubah
|
Waktu
(Minggu)
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Total
|
||
Konsumsi
ransum (g/ekor)
|
114
|
289
|
512
|
715
|
930
|
2.560
|
|
Pertambahan
bobot badan (g/ekor)
|
132
|
256
|
394
|
511
|
585
|
1.878
|
|
Bobot
badan (g/ekor)
|
173
|
429
|
823
|
1.334
|
1.919
|
1.919
|
|
Konversi
ransum
|
0,87
|
1,13
|
1,30
|
1,40
|
1,59
|
1,36
|
|
Kebutuhan
nutrisi dipengaruhi oleh genetik (Ensminger et al., 1992). Menurut Wahju
(2004), ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu
reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh.
Selain itu, ayam broiler membutuhkan protein yang seimbang. Ayam broiler yang
dipelihara di daerah bersuhu tinggi lebih cocok diberikan ransum dengan
kandungan energi rendah (Amrullah, 2004).
Daftar
Pustaka
Amrullah,
I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan Ketiga. Lembaga Satu Gunungbudi,
Bogor.
Bell,
D. D. and W. D. Weaver Jr. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th
Ed. Springer Science Business Media, Inc., New York.
Kartasudjana,
R. 2005. Manajemen Ternak Unggas. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran
Press, Bandung.
Pond,
W.G., D. C. Church and K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th
Ed. John Wiley and Sons, Inc., Canada.
Rasyaf.
2003. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ross
Breeders. 2007. Ross 708 broiler performance objectives.
http://www.rossbreeders.com. [31 Agustus 2009].
Scott,
M. L., M. C. Nesheim, and R. J. Young. 1982. Nutrition of Chicken. 3rd Ed. M.
L. Scott Associates. Ithaca, New York.
Wahju,
J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Pengaruh Suhu Lingkungan Ayam Potong (Broiler)
Ayam
broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, famili Phasianidae,
genus Gallus dan spesies Gallus domesticus yang dihasilkan dari
bangsa ayam tipe berat Cornish. Ayam broiler merupakan ayam pedaging
tipe berat yang lebih muda dan berukuran lebih kecil. Ayam broiler ini dapat
tumbuh sangat cepat dan dapat dipanen pada umur empat minggu untuk menghasilkan
daging dan menguntungkan secara ekonomis. Bangsa ayam yang dipilih adalah yang
berbulu putih dan seleksi diteruskan sehingga menghasilkan ayam broiler seperti
sekarang (Amrullah, 2004).
Karakteristik
ayam broiler modern menurut Pond et al. (1995) adalah pertumbuhan yang
cepat, banyak penimbunan lemak pada bagian dada dan otot-otot daging, serta
aktivitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan jenis ayam petelur. Ayam
broiler merupakan ayam-ayam muda jantan atau betina yang menghasilkan daging
dan umumnya dipanen pada umur sekitar 5-6 minggu dengan bobot badan antara
1,2-1,9 kg/ekor (Kartasudjana, 2005). Menurut Rasyaf (2003), broiler dipasarkan
pada umur 5-6 minggu dengan bobot hidup antara 1,3-1,6 kg per ekor.
Performa
ayam broiler akan berbeda akibat perbedaan ketinggian atau suhu lingkungan
sekitar kandang (Amrullah, 2004). Broiler mulai panting pada suhu
lingkungan 29 oC dengan kelembapan 50% (Bell dan Weaver, 2002). Suhu lingkungan
yang nyaman sesuai kebutuhan broiler untuk menghasilkan produksi optimum sesuai
umur broiler ditampilkan pada Tabel.
Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Pertumbuhan
Optimum pada Berbagai Umur Ayam Broiler
Umur (Minggu)
|
Suhu Rekomendasi oC
|
1
2
3
≥ 4
|
30
30
27,2
23,9
|
Sumber
: Bell dan Weaver (2002)
Suhu
lingkungan yang tinggi dapat mengganggu proses homeostasis sehingga menyebabkan
kesehatan ternak terganggu (Scott et al., 1982). Selain faktor suhu, keadaan
suatu wilayah juga mempengaruhi performa dan angka mortalitas. Di wilayah
endemik penyakit tertentu perlu diadakan program vaksinasi dan pengobatan jika
diperlukan (Amrullah, 2004). Performa broiler (konsumsi ransum, pertambahan
bobot badan, konversi ransum, tingkat kematian, bobot badan akhir) strain
Ross menurut Ross Breeders (2007) ditunjukan pada Tabel.
Tabel. Performa Broiler Strain Ross selama Lima Minggu Pemeliharaan (Ross Breeders, 2007)
Peubah
|
Waktu
(Minggu)
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Total
|
||
Konsumsi
ransum (g/ekor)
|
114
|
289
|
512
|
715
|
930
|
2.560
|
|
Pertambahan
bobot badan (g/ekor)
|
132
|
256
|
394
|
511
|
585
|
1.878
|
|
Bobot
badan (g/ekor)
|
173
|
429
|
823
|
1.334
|
1.919
|
1.919
|
|
Konversi
ransum
|
0,87
|
1,13
|
1,30
|
1,40
|
1,59
|
1,36
|
|
Kebutuhan
nutrisi dipengaruhi oleh genetik (Ensminger et al., 1992). Menurut Wahju
(2004), ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu
reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh.
Selain itu, ayam broiler membutuhkan protein yang seimbang. Ayam broiler yang
dipelihara di daerah bersuhu tinggi lebih cocok diberikan ransum dengan
kandungan energi rendah (Amrullah, 2004).
Daftar
Pustaka
Amrullah,
I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan Ketiga. Lembaga Satu Gunungbudi,
Bogor.
Bell,
D. D. and W. D. Weaver Jr. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th
Ed. Springer Science Business Media, Inc., New York.
Kartasudjana,
R. 2005. Manajemen Ternak Unggas. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran
Press, Bandung.
Pond,
W.G., D. C. Church and K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th
Ed. John Wiley and Sons, Inc., Canada.
Rasyaf.
2003. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ross
Breeders. 2007. Ross 708 broiler performance objectives.
http://www.rossbreeders.com. [31 Agustus 2009].
Scott,
M. L., M. C. Nesheim, and R. J. Young. 1982. Nutrition of Chicken. 3rd Ed. M.
L. Scott Associates. Ithaca, New York.
Wahju,
J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.