Sapi
Pesisir menurut Saladin (1983), diklasifikasikan ke dalam bangsa sapi yang
berukuran kecil. Asal-usul bangsa sapi ini belum diketahui dengan pasti, namun
Saladin (1983) menduga bahwa sapi ini merupakan sisa-sisa sapi asli yang
ditemukan di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Menurut Jakaria et al. (2007),
sapi Pesisir digolongkan ke dalam kelompok sapi Bos indicus. Rusfidra
(2007) menyatakan bahwa sapi Pesisir pada umumnya dipelihara secara bebas
(berkeliaran) dan masih sangat sedikit perhatian peternak. Masyarakat Sumatera
Barat menyebut sapi Pesisir dengan nama lokal seperti jawi ratuih atau bantiang
ratuih, yang memiliki arti sapi yang melahirkan banyak anak. Menurut Adrial
(2010), sapi Pesisir memiliki bobot badan dan ukuran tubuh lebih kecil daripada
sapi lokal lain. Sapi pesisir jantan dewasa (umur empat tahun) memiliki bobot
badan 160,5 kg, panjang badan 114,7 cm, lingkar dada 127,2 cm, dan tinggi badan
100,2 cm.
Menurut
Rusfidra (2007), sapi Pesisir memiliki bobot badan relatif kecil sehingga
digolongkan sebagai sapi mini (mini cattle). Jantan dewasa (umur 4-6 tahun)
memiliki bobot badan 186 kg, jauh lebih rendah dibandingkan dengan sapi Bali (310
kg) dan sapi Madura (248 kg). Sapi Pesisir dengan ukuran kecil ini berpeluang
dijadikan sebagai hewan kesayangan (fancy). Penampilan bobot badan yang kecil
tersebut merupakan salah satu penciri suatu bangsa sapi, sehingga dapat
dinyatakan bahwa sapi Pesisir merupakan sapi khas Indonesia (terutama di
Sumatera Barat) dan merupakan sumber daya genetik (plasma nutfah) nasional yang
perlu dikembangkan dan dilestarikan.
Karakteristik
sapi Pesisir menurut Saladin (1983) memiliki tanduk pendek yang mengarah ke
luar seperti tanduk kambing. Jantan memiliki kepala pendek, leher pendek dan
besar, belakang leher lebar, punuk kecil, kemudi pendek dan membulat. Betina
memiliki kepala agak panjang dan tipis, kemudi miring, pendek dan tipis, tanduk
kecil yang mengarah ke luar. Sapi Pesisir memiliki keragaman warna bulu yang
tinggi. Menurut Sarbaini (2004), warna bulu sapi Pesisir memiliki pola tunggal
yang dikelompokkan atas lima warna utama, yaitu merah bata (34,35%), kuning
(25,51%), coklat (19,96%), hitam (10,91%) dan putih (9,26%). Sapi Pesisir
dikenal memiliki temperamen yang jinak sehingga lebih mudah dikendalikan.
Menurut
Saladin (1983), persentase karkas sapi Pesisir adalah 50,6%, lebih tinggi
daripada persentase karkas sapi Ongole (48,8%), sapi Madura (47,2%), sapi PO
(45%) dan kerbau (39,3%), namun sedikit lebih rendah daripada persentase karkas
sapi Bali (56,9%). Persentase karkas tersebut menunjukkan potensi sapi Pesisir
sebagai penghasil daging dapat diperbandingkan dengan jenis sapi lain di
Indonesia. Hal tersebut diperlihatkan dengan peran penting sapi Pesisir sebagai
sumber daging bagi masyarakat di kota Padang; karena sebanyak 75% sapi yang
dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) kota Padang adalah sapi Pesisir (Rusfidra,
2007)
Daftar Pustaka
Adrial. 2010. Potensi sapi pesisir dan upaya
pengembangannya di Sumatera Barat. Jurnal Litbang Pertanian 29 [2]: 66-72.
Jakaria., D. Duryadi, R. R. Noor, B. Tappa, & H.
Martojo. 2007. Hubungan polimorfisme gen hormon pertumbuhan Msp-1 dengan
bobot badan dan ukuran tubuh sapi Pesisir Sumatera Barat. J. Indon. Trop. Anim.
Agric. 32 [1]: 33-40.
Rusfidra. 2007. Sapi pesisir, sapi asli di Sumatera
Barat. Terakhir disunting 08 Februari 2007. http://www.cimbuak.net/content/view/871/5/.
[13 Oktober 2010].
Saladin, R. 1983. Penampilan sifat-sifat produksi dan
reproduksi sapi lokal Pesisir Selatan di Propinsi Sumatera Barat. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakter eksternal
dan DNA mikrosatelit sapi Pesisir di Sumetera Barat. Disertasi. Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
0 Comment for "Sapi Pesisir"