Terminologi daya saing dapat
diterapkan tidak hanya pada suatu negara melainkan berlaku pula pada suatu
komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Terdapat beberapa penelitian yang
berkaitan dengan penetapan komoditas di daerah tertentu untuk mengetahui daya
saing terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah. Adapun metode yang dapat
digunakan untuk menghitung maupun menilai dayasaing suatu komoditas pertanian
antara lain Revealed Competitive Adventage (RCA), Berlian porter, dan Policy
Analysis Matrix (PAM) (Novianto 2012).
Berbagai sumber menyebutkan
bahwa produk kelapa sawit Indonesia yang dalam hal ini adalah Crude Palm Oil
(CPO) memiliki daya saing di pasar internasional baik secara kompetitif maupun
komparatif. Astriani (2014) mengungkapkan bahwa melalui metode RCA, diketahui
ekspor CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif dengan tingkat daya saing
yang cukup kuat di pasar internasional dengan nilai rata-rata 2.61 sedangkan
negara Australia dan Jepang tidak memiliki keunggulan komparatif untuk produk
CPO karena memiliki tingkat daya saing yang lemah di pasar internasional (nilai
RCA lebih kecil dari satu).
Hal ini didukung pula oleh
Sari (2008) dan Kania (2014) yang mengungkapkan bahwa komoditi CPO Indonesia
memiliki daya saing yang tinggi (memiliki keunggulan komparatif) di pasar
International dengan nilai RCA lebih dari satu. Perdagangan produk ekspor
kelapa sawit Indonesia di pasar internasional sudah terbukti memiliki
keunggulan komparatif tertinggi untuk CPO namun menurut Kusuma (2014) Indonesia
harus lebih waspada karena suatu saat Indonesia akan memperebutkan pasar yang
sama dengan negara pesaing yakni Malaysia. Sedangkan secara kompetitif, menurut
Astriani (2014) daya saing CPO Indonesia berada pada tahap pematangan ekspor,
sehingga produk CPO Indonesia sangat kompetitif untuk bersaing di pasar
internasional. Penelitian tersebut dilakukan dengan pengukuran Indeks
Spesialisasi Perdagangan (ISP). Analisis daya saing lainnya dilakukan dengan
Policy Analysis Matrix (PAM).
PAM merupakan suatu metode
yang digunakan untuk menganalisis keuntungan, dayasaing, dan dampak kebijakan
pemerintah terhadap komoditas. Namun analisis PAM ini masih jarang diterapkan
untuk tanaman tahunan seperti kelapa sawit. Beberapa penelitian terkait PAM
menyebutkan bahwa usahatani kelapa sawit di beberapa daerah memiliki daya saing
yang tinggi. Aprizal, Asriani, dan Sriyoto (2013) menyebutkan bahwa usahatani
kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko memiliki daya saing (keunggulan komparatif
dan kompetitif). Penelitian ini melibatkan 86 petani sebagai responden yang
dipilih dengan sengaja (purposive).
Pemilihan Kabupaten Mukomuko
sebagai daerah penelitian dengan alasan Mukomuko sebagai penghasil sawit
terbesar di Provinsi Bengkulu. Penelitian dengan metode Policy Analysis Matrix
(PAM) di Desa Bumi Mulya Kabupaten Mukomuko memiliki keunggulan kompetitif dan
komparatif dengan nilai PCR sebesar 0.91 dan DCR sebesar 0.72. PCR 0.91
memiliki makna bahwa untuk menghasilkan satu unit nilai tambah memerlukan biaya
domestik yang lebih kecil dengan kata lain bahwa Desa Bumi Mulya masih memiliki
kemampuan secara finansial dalam membiayai dan memproduksi sedangkan nilai DRC
tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 1 unit nilai tambah diperlukan biaya
domestik sebesar 0.72 unit pada usahatani kelapa sawit.
Semakin rendah nilai koefisien
DRC berarti Desa Bumi Mulya mampu bertahan walaupun tanpa bantuan pemerintah
karena memiliki sumber daya domestik yang diperlukan bagi pengembangan
komoditas kelapa sawit. Penelitian lain yang menganalisis daya saing kelapa
sawit dengan metode PAM dilakukan oleh Hermawati, Abidin, dan Santoso (2013).
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lampung Timur ini melibatkan 26 petani
kelapa sawit. Umur maksimal kelapa sawit pada lokasi penelitian Hermawati,
Abidin, dan Santoso (2013) adalah 13 tahun sehingga untuk megetahui produksi
sampai umur ekonomis tanaman dilakukan analisis trend kuadratik.
Penelitian tersebut menujukkan
bahwa usahatani kelapa sawit memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.
Keunggulan kompetitif ditunjukkan dengan rasio biaya privat (PCR) yang kurang
dari satu yaitu 0.68. Nilai ini dapat mengandung makna bahwa untuk menghasilkan
satu satuan produksi secara privat membutuhkan sumberdaya domestik sebanyak 68
persen atau dengan kata lain untuk memperoleh nilai tambah sebesar 1 rupiah
diperlukan biaya input domestik sebesar 0.65 rupiah. Sedangkan keunggulan
komparatif ditunjukkan dengan rasio biaya domestik (DRC) yang kurang dari satu
yaitu 0.65. Nilai ini mengandung makna bahwa untuk menghasilkan satu satuan
produksi secara ekonomi membutuhkan sumberdaya domestik sebesar 65 persen atau
dengan kata lain untuk memperoleh nilai tambah sebesar 1 rupiah diperlukan
biaya input domestik sebesar 0.65 rupiah.
Labels:
Kelapa Sawit
Thanks for reading Daya Saing Produk Kelapa Sawit . Please share...!
0 Comment for "Daya Saing Produk Kelapa Sawit "