Sistem gaduh sapi secara umum
mirip dengan sistem paruhan atau bagi hasil. Menurut Scheltema (1985)
menyatakan: “Bagi hasil semata-mata hanya merupakan bagi usaha pada kegiatan
pertanian, yang dalam pelaksanaan priode usaha seluruh pekerjaan di laksanakan
oleh penggarap atau di bawah pimpinanya. Bagi usaha yang di maksud dalam hal
ini adalah suatu perjanjian kerja dengan upah khusus”.
Pada prinsipnya sistem bagi
hasil dalam peternakan sapi tidak lepas dari modal komunitas yang berada di
lingkungan tersebut. ( Hasbullah 2006 ) menyatakan: “Bahwa konsep pembangunan
harus memiliki modal komunitas didalamnya yang terdiri dari :
(a) Modal Manusia ( human
capital ) berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,kesehatan,
keahlian dan keadaan terkait lainnya;
(b) modal sumberdaya alam (
natural capital) seperti perairan laut;
(c) Modal Ekonomi Produktif (
produced economic capital ) berupa aset ekonomi dan finansial serta aset
lainnya, dan Modal Sosial ( sosial capital ) berupa norma/nilai, kepercayaan (
trust ) dan partisipasi dalam jaringan”.
Sedangkan Mosher dalam Tarigan
(1996), Menyatkan: “Bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat dengan
perjanjian bagi hasil 50%-50%. Sistem ini banyak di lakukan karena kemiskinan
dan kesukaran mendapatkan modal usaha yang memaksa seseorang untuk menerima
nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara ternak yang bukan miliknya sendiri”.
Penggaduhan ternak adalah
keadaan dimana seseorang dapat memlihara ternak sapi yang diperolehnya dari
orang lain dengan disertai suatu aturan tertentu tentang pembiayaan dengan
pembagian hasilnya. Mereka yang memelihar ternak orang lain atau pihak lainnya
dengan sistem menggaduh ini, selanjutnya disebut penggaduh ( peternak
penggaduh), sedangkan di lain pihak adalah pemilik ternak (Muhzi 1984).
Menurut (Sajogyo dalam
Siswijono,1992), pada sensus pertanian 1983 menunjukakan bahwa penerapan persyaratan
bagi hasil sangat bervariasi. Bahkan Sinaga dan (Kasryno dalam Siswijono,1992)
menyatakan bahwa dalam satu komunitas pun sering dijumpai penerapan persyaratan
aturan sistem bagi hasil yang berbeda. Variasi yang dimaksud mencakup pembagian
hasil serta pembagian sarana produksi. Besarnya bagian untuk menggaduh sapi
sangatlah beragam, misalnya besarnya berkisar antara 1/4 , 1/3 , ½, 2/3 dari nilai pertambahan bobot badan.
selama pemeliharaannya. Dari
hasil penelitian (Simatupang dalam Lole,1995), ditemukan bahwa bagian untuk
penggaduhan sebesar 2 dari pertumbuhan bobot 3 badan sapi, sedangkan pada pola
tradisional bahagi penggaduh sapi sebesar 1 dari 2 pertambahan nilai modal
usaha. Dalam bagi hasil usaha ternak, Scheltema (1985) menyatakan:
“Bahwa perjanjian-perjanjian
dengan pembagian keuntungan dapat dibagi seperti berikut :
perjanjian-perjanjian dengan penyerahan ternak kepada seseorang selama waktu
tertentu untuk dipelihara dengan maksud untuk kemudian dijual dan dibagi
keuntungannya, atau nilainya diperkirakan pada awal dan akhir perjanjian dan
nilai tambah atau nilai kurangnya dibagi, dan perjanjian-perjanjian di mana
anak-anak ternak yang dilahirkan dijual dan keuntungannya dibagi. Lebih lanjut
menurut Scheltema (1985) kecuali syarat pembagian, dalam bagi usaha ternak yang
penting ialah arti ekonominya, bagaimana pengaturannya, siapa yang menaggung
risiko bila terjadi kematian, pencurian, dan kehilangan karena hal lari, dalam
hal ini juga terdapat banyak variasi”.
Muhzi (1985) menyatakan bahwa
pada pokoknya pemilik ternak di bedakan dalam dua macam yaitu pemerintah dan
non pemerintah dengan demikian terdapat suatu perbedaan yang sangat pokok dalam
pembagian hasilnya sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap
pendapatan yang diperoleh petani dalam satu-satuan tertentu. Bentuk kerja sama
dalam sistem bagi hasil atau sistem gaduh secara umum melibatkan peternak yang
kekurangan modal atau peternak miskin. Mereka umumnya tidak memiliki ternak
sendiri atau kalaupun ada hanya dalam jumlah yang kecil saja. Dalam keadaan
demikian, petani merasa kesulitan karena dihadapkan pada berbagai usaha untuk
meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, upaya alternatif yang relevan
adalah pengembangan intensifikasi penggunaan lahan usaha tani, misalnya usaha
penggemukan ternak sapi. Hal ini dapat diterima sebab usaha ekstensifikasi pada
daerah tertentu sudah tidak memungkinkan. Tetapi salah satu kendala utama untuk
pengembangan usaha ternak tersebut adalah keterbatasan modal usaha, khususnya
untuk pengadaan ternak bakalan baik untuk bibitan maupun untuk digemukkan (
Simatupang 1993).
Selain itu, yang perlu
mendapat perhatian khusus adalah tentang faktorfaktor sosial ekonomi (fisik dan
non-fisik) yang mempengaruhi besar kecilnya bagian bagi hasil yang diterima
oleh para peternak penggaduh sapi. Hal ini penting diketahui sebab ketentuan
bagi hasil yang formal belum ada, sehingga dapat menjadi bahan rekomendasi
dalam rangka menghindari terjadinya eksploitasi tenaga kerja peternak oleh para
pemilik modal (Lole,1995).
Labels:
Sosial Ekonomi Peternakan
Thanks for reading Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil. Please share...!
0 Comment for "Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil"