Mutu telur akan
dapat mengalami penurunan selama penyimpanan telur, baik oleh proses fisiologi
maupun oleh bakteri pembusuk, proses fisiologi berlangsung dengan laju yang
pesat pada penyimpanan suhu kamar. Telur mengalami evaporasi air dan mengeluarkan
CO2 dalam jumlah
tertentu sehingga semakin lama akan semakin turun kesegarannya (Winarno dan
Koswara, 2002). Telur akan mengalami perubahan kualitas seiring dengan lamanya
penyimpanan. Semakin lama waktu penyimpanan akan mengakibatkan terjadinya
banyak penguapan cairan di dalam telur dan menyebabkan kantung udara semakin
besar (Sudaryani, 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi kantong udara yaitu
umur telur atau yang telah mengalami penyimpanan, kondisi temperatur dan
kelembaban tempat telur itu berada (Romanoff dan Romanoff 1963).
Kualitas telur
segar bagian dalam tidak bisa dipertahankan tanpa perlakuan khusus. Di ruang
terbuka (suhu kamar) telur segar hanya mempunyai masa simpan yang pendek. Lama
penyimpanan ini akan mementukan kondisi telur. Semakin lama disimpan, kualitas
dan kesegaran telur semakin merosot, untuk telur konsumsi akan mengalami
kerusakan setelah disimpan lebih dari dua minggu. Kerusakan air biasanya
ditandai dengan kocaknya isi telur dan bila dipecah isinya tidak menggumpal
lagi (Haryoto, 1996).
Telur yang baru
saja keluar dari badan induk umumnya masih baik dan termasuk dalam kelas AA
atau A akan tetapi, beberapa lama kemudian mutu telur dapat menjadi rendah.
Romanoff dan Romanoff (1963) serta Buckle et al., (1987) menyatakan
bahwa penyusutan berat telur disebabkan terjadinya penguapan air selama 8
penyimpanan, terutama pada bagian putih telur dan sebagian kecil oleh penguapan
gas-gas seperti CO2, NH3, N2 dan H2S akibat degradasi
komponen organik telur. Berdasarkan beratnya, telur dapat digolongkan menjadi
beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Jumbo dengan
berat di atas 65 g per butir
2. Ekstra besar
dengan berat 60-65 g per butir
3. Besar dengan
berat 55-60 g per butir
4. Sedang dengan
berat 50-55 g per butir
5. Kecil dengan
berat 45-55 g per butir
6. Kecil sekali
dengan berat di bawah 45 g per butir. (Sarwono, 1995).
Lesson dan Caston
(1997) menjelaskan bahwa kondisi penyimpanan telur merupakan salah satu faktor
yang memiliki potensial untuk mempengaruhi albumen (putih telur). Haugh unit
merupakan salah satu kriteria untuk menentukan kualitas telur bagian dalam
dengan cara mengukur tinggi putih telur kental dan berat telur (Iza, et al.,
1985). Muchtadi dan Sugiyono (1992) menyatakan bahwa kehilangan CO2 melalui pori-pori
kulit dari albumen menyebabkan perubahan fisik dan kimia. Albumen yang
kehilangan CO2
dan
tampak berair (encer). Pengenceran tersebut disebabkan perubahan struktur
protein musin yang memberikan tekstur kental dari putih telur.
Romanoff dan Romanoff
(1963) menjelaskan bahwa hilangnya CO2 melalui pori-pori kerabang telur
menyebabkan turunnya konsentrasi ion bikarbonat dalam putih telur dan
menyebabkan rusaknya sistem buffer sehingga kekentalan putih telur menurun.
Nilai Haugh unit untuk telur yang baru ditelurkan nilainya 100,
sedangkan telur dengan mutu terbaik nilainya diatas 72. Telur busuk nilainya di
bawah 50 (Buckle et al., 1987).
Suatu metode yang
dirancang untuk menyatakan kondisi dalam telur secara umum dan bersifat
perhitungan matematika yang terukur. Pengukuran dengan membandingkan tinggi
kuning telur dan lebar kuning telur yang baru dipecahkan diatas meja datar
(Romanoff dan Romanoff, 1963). Buckle et al., (1987) menyatakan bahwa
indeks kuning telur segar beragam antara 0,33 dan 0,50 dengan nilai rata-rata
0,42. Bertambahnya umur telur, indeks kuning telur menurun karena penambahan
ukuran kuning telur sebagai akibat perpindahan air.
Salah satu cara
mempertahankan mutu telur supaya dapat tahan lama adalah dengan cara melakukan
perendaman atau pelapisan dengan cairan yaitu dilakukan dengan cara merendam
telur segar dalam berbagai larutan seperti air kapur, larutan air garam dan
filtrat atau penyamak nabati yang mengandung tanin. Salah satu tanaman yang
mengandung tanin yaitu melinjo, kandungan kimia melinjo terutama pada biji dan
daunnya antara lain mengandung saponin, flavonoida dan tanin (Syarif dan Halid,
1990).
Daftar Pustaka
Buckle, K. A. R.
A. Edward, G. H. Fleet and M. Wooton. 1987. Ilmu pangan. Universitas Indonesia,
Jakarta.
Haryoto. 1996.
Pengawetan telur segar. Kanisius. Yogyakarta.
Iza, A.L., F.A.
Garhner and. B. Meller. 1985. Effect of egg and season of the year quality.
Poultry Sci. 64 : 1900
Lesson. S. dan
L.J. Caston. 1997. A problem with characteristic of the thin albumen in laying
hens. Poultry Sci. 76 : 1332-1336.
Muchtadi. T.R.
dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB,
Bogor.
Romanoff, A. L
& A.J. Romanoff. 1963. The avian egg. John willey and sons inc., New
York.
Sarwono. 1995.
Pengawetan dan pemanfaatan telur. Penebar swadaya. Jakarta.
Sudaryani. 1996.
Kualitas Telur. Penebar Swadaya. Tangerang.
Syarief dan H.
Halid. 1990. Buku Monograf teknologi penyimpanan pangan. laboratorium rekayasa
pangan dan gizi. institut pertanian bogor. Bogor.
Winarno. F. G.
dan Koswara, S. 2002. Telur; Komposisi, Penanganan dan pengolahannya. M-Brio
press. Bogor.
Labels:
Telur
Thanks for reading Kualitas Telur. Please share...!
0 Comment for "Kualitas Telur"