Sapi bali merupakan salah satu
ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah bangsa sapi yang dominan
dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa provinsi di Indonesia
bagian Barat (Talib et al., 2003). Menurut data yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jendral Peternakan (2011) rumpun sapi potong yang terbanyak
dipelihara di Indonesia adalah rumpun sapi bali mencapai 4,8 juta ekor
(32,31%). Pada Negara berkembang beternak sapi bali dapat menjadi salah satu
industri utama yang dapat memperbaiki sektor ekonomi dari negara tersebut
(Rouse, 1969).
Sapi bali merupakan bangsa
sapi yang memiliki fertilitas tinggi meskipun berada pada kondisi kekurangan
nutrisi pakan dan mampu beradaptasi pada lingkungan yang kurang baik
(Toelihere, 2003). Sapi bali memiliki keistimewaan dalam hal daya reproduksi,
persentase karkas serta kualitas daging, tetapi memiliki keterbatasan dalam hal
kecepatan pertumbuhan dan ukuran bobot badan (Diwyanto dan Priyanti, 2008).
Karakteristik fisik dari sapi
bali diantaranya adalah memiliki ukuran badan sedang, berdada dalam, seringkali
memiliki warna bulu merah, warna keemasan dan coklat tua namun warna ini tidak
umum. Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam. Pada bagian lutut ke bawah berwarna
putih dan terdapat warna putih di bawah paha dan bagian oval putih yang amat
jelas pada bagian pantatnya. Ciri fisik lainnya yang dapat ditemui pada sapi
bali adalah terdapatnya suatu garis hitam yang jelas, dari bahu dan berakhir di
atas ekor. Warna bulu menjadi coklat tua sampai hitam pada saat mencapai
dewasa. Pada waktu lahir anak-anaknya yang jantan atau betina keduanya memiliki
warna bulu keemasan sampai warna coklat kemerah-merahan dengan bagian warna
terang yang khas pada bagian belakang kaki (Williamson dan Payne, 1993).
Sapi ini merupakan hasil
domestikasi dari banteng, dengan rata-rata berat pejantan 360 kg dan berat
betina rata-rata 270 kg. Pada pejantan yang dikastrasi akan terjadi perubahan
warna bulu menjadi lebih gelap setelah 4 bulan dilakukan kastrasi, sedangkan
pada betina yang telah berumur 1 tahun akan memiliki warna bulu berwarna coklat
(Rouse, 1969). Sapi bali mencapai dewasa kelamin pada umur berkisar antara 12
bulan-24 bulan (Fordyce et al., 2003). Umur kawin pertama pada sapi bali yang
dianjurkan yakni pada umur 14 bulan-22 bulan (Toelihere, 1977).
Aspek reproduksi lainnya pada
sapi bali diantaranya adalah tingkat kelahiran yang merupakan salah satu aspek
penting dalam usaha peternakan. Kondisi yang paling baik adalah seekor induk
mampu menghasilkan satu anak setiap tahunnya (Ball dan Peters, 2004). Bamualim
dan Wirdahayati (2003) menyebutkan bahwa sapi bali di Nusa Tenggara Barat
memiliki nilai tingkat kelahiran anak sebesar 75%-90%. Tingkat kelahiran
dihitung dari jumlah anak dibagi jumlah total sapi betina dewasa dalam satu
tahun (Martojoyo, 2003). Kematian anak pada sapi bali dipengaruhi oleh beberapa
faktor di Nusa Tenggara Timur. Penyebab kematian anak sapi bali adalah kesulitan makanan pada musim kemarau panjang,
persediaan yang kurang atau tidak cukup dan adanya parasit (Mallessy et al,
1990). Persentase kematian anak sapi bali di daerah Sumbawa adalah sebesar
7%-31% dan di daerah Lombok 2%-14% (Bamualim dan Wirdahayati, 2003). Umur sapi
bali beranak untuk pertama kali adalah 2 tahun, hal ini bergantung pada pakan
yang diberikan (Toelihere, 1981). Parakkasi (1999) menyebutkan bahwa dalam
prakteknya induk beranak pertama kali pada umur 3 tahun, hal ini tergantung
pada bangsa ternak, pemberian pakan pada ternak dan pengelolaan lainnya.
Sumber :
Ball, P. J. H. & A. R. Peters.
2004. Reproduction In Cattle 3th Edition. Blackwell Publishing, Iowa.
Bamualim, A. & A. Wirdahayati.
2003. Nutrition and management strategies to improve bali cattle productivity
in Nusa Tenggara. Prosiding seminar strategies to improve bali cattle in
Eastren Indonesia. Australian Centre for International Agricultural Research.
Denpasar, 4-7 Februari 2002.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011. Statistik
peternakan dan kesehatan hewan 2011.
http://199.91.154.124/ndfo6kn55ulg/41cjlk41fc-dan3w/StatistikPeternakan
2011.pdf. [11 Juni 2012].
Diwyanto, K. & A. Priyanti. 2008.
Keberhasilan pemanfaatan sapi bali berbasis pakan lokal dalam pengembangan
usaha sapi potong di Indonesia. Wartazoa Vol. 18. No. 1: 34-45.
Fordyce, G, T. Panjaitan, Muzani & D. Poppi. 2003. Management to
facilitate genetic improvement of bali cattle in Eastern Indonesia. Prosiding
seminar strategies to improve bali cattle in Eastren Indonesia. Australian
Centre for International Agricultural Research. Denpasar, 4-7 Februari 2002.
Martojoyo, H. 2003. A simple selection
program for smallholder bali cattle farmers. Prosiding seminar strategies to
improve bali cattle in Eastren Indonesia. Australian Centre for International
Agricultural Research. Denpasar, 4-7 Februari 2002.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak Ruminan.Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Rouse, E. J. 1969. Cattle of Africa and Asia. University of Oklahoma
Press, Publishing Division of University. USA.
Toelihere, M. 2003. Increasing the success rate and adoption of
artificial insemination for genetic improvement of bali cattle. Prosiding
seminar strategies to improve bali cattle in Eastren Indonesia. Australian
Centre for International Agricultural Research. Denpasar, 4-7 Februari 2002.
Williamson, G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di
Daerah Tropis. Terjemahan SGN Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Labels:
Sapi,
Sapi Lokal,
Sapi Potong
Thanks for reading Karakteristik Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat. Please share...!
0 Comment for "Karakteristik Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat"