Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Diversifikasi ekspor di Indonesia

Alhayat (2012) meneliti tentang dekomposisi pertumbuhan dan diversifikasi ekspor non-migas Indonesia untuk mengetahui peran komponen pertumbuhan ekspor dan menganalisis struktur ekspor. Metode yang pertama adalah dekomposisi pertumbuhan ekspor menjadi produk baru, produk bertahan dan produk menghilang. Metode yang kedua adalah indeks feenstra atas pertumbuhan ekspor netto.Hasil yang diperoleh adalah marjin intensif menjelaskan 98 persen pertumbuhan ekspor. Dan Asia merupakan pasar paling penting bagi pertumbuhan ekspor non-migas. Kemungkinan rentang waktu penelitian yang sangat singkat, 2006-2010 yang mengarahkan penelitian hingga didapat kesimpulan demikian.

Kajian Alhayat tersebut mengikuti Amiti dan Freund (2007) yang menganalisa komposisi pertumbuhan Cina yang secara total tumbuh 450 persen dari tahun 1996-2006. Pertumbuhan tersebut salah satunya didukung oleh perubahan struktur ekspor dari produk agrikultur dan tekstil kearah elektronik dan produk manufaktur yang lebih canggih lainnya. Dari sisi produk, 5-15 persen pertumbuhan ekspor Cina dijelaskan melalui ekspor produk baru. Namun hampir seluruh pertumbuhan ekspor Cina ke Amerika dalam marjin intensif.

Tarman et al. (2011) dalam kajian diversifikasi ekspor meneliti tentang diversifikasi di pasar Asia dan Afrika untuk produk-produk konsumen Berbagai perhitungan digunakan yaitu Trade performance index (TPI), Export product dynamic (EPD), Constant market share analysis (CMSA) dan gravity model. Kesimpulannya pasar potensial di kawasan Afrika adalah Nigeria, Afrika Selatan, Aljazair, Mauritius dan Maroko; dengan seluruh empat kelompok komoditas yang diteliti menjadi unggulan. Untuk pasar di kawasan Asia adalah Saudi Arabia, Taiwan, Jordan, Oman dan Sri Lanka; dengan tiga kelompok komoditas unggulan yaitu perkebunan dan olahannya, perikanan dan olahannya, serta makanan dan minuman olahan. Salah satu tahapan dalam kajian ini adalah menghimpun informasi mengenai hambatan ekspor yang dialami oleh eksportir dalam melaksanakan usahanya melalui Focus Group Discussion (FGD).

Kesimpulan yang sama dalam penelitan-penelitian tersebut adalah struktur ekspor sangat penting bagi pengembangan ekspor dan diversifikasi penting terutama untuk negara berkembang. Banyak literatur, sejauh ini, berfokus pada identifikasi transmisi diversifikasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Manfaat yang diyakini bersama dalam berbagai literatur adalah bahwa negara berkembang cenderung terkonsentrasi untuk mengekspor produk yang terbatas, bersifat komoditi hingga memicu tingginya fluktuasi. Dalam hal ini, diversifikasi menciptakan pemasukan ekspor yang lebih stabil. Efek lainnya yang dilihat adalah spillover terhadap ekonomi sebagai hasil dari struktur produk yang lebih terdiversifikasi.


Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia

Beberapa penelitian terdahulu memberikan ulasan bahwa harga, kualitas dan diversifikasi merupakan link bagi kelanjutan pengembangan kopi secara berkelanjutan. Namun pembentukan harga kopi sebagai komoditas adalah melalui mekanisme pasar. Tidak demikian halnya untuk produk selain biji kopi. Produk kopi olahan memiliki tingkat harga yang lebih baik dan dengan demikian dapat dikatakan diversifikasi ekspor merupakan salah satu cara dalam meningkatkan ekspor kopi.

Secara umum, literatur perekonomian umum lainnya memberikan prediksi tentang hubungan antara konsentrasi/kebergantungan ekspor, diversifikasi ekspor, pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Penelitian tersebut memberikan kesimpulan yang sama bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ekspor dan diversifikasi ekspor. Diversifikasi ekspor mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama bila diversifikasi produk ekspornya ke arah produk manufaktur.

Penelitian terkini mengemukakan bahwa diversifikasi lebih penting bagi negara berkembang. Terdapat beberapa alasan untuk hal ini, antara lain yang pertama melalui penelitian Haddad et al. (2010) yang mengemukakan bahwa perdagangan terbuka dapat mengurangi volatilitas saat suatu ekonomi negara terdiversifikasi dengan baik. Negara berkembang umumnya terkonsentrasi untuk mengekspor kelompok produk yang sama kepada pasar yang terbatas karena terbatasnya basis sumberdaya. Kenyataan ini menyebabkan ketergantungan terhadap produk dan pasar tersebut sangat tinggi. Bila terjadi goncangan dalam supply dan faktor eksternal lainnya maka akan mempengaruhi terms of trade negara yang bersangkutan dan mengguncang perekonomiannya. Di sisi lain, diversifikasi ekspor baik produk dan pasar membantu untuk menghasilkan pendapatan ekspor yang stabil dan mengurangi resiko ekonomi dan politik.

Kedua, Imbs dan Wacziarg (2003) menyimpulkan bahwa level konsentrasi berubah seiring tingkat pendapatan per kapita. Ditunjukkan bahwa berbagai pengukuran konsentrasi secara sektoral mengukuti bentuk melengkung (U-shapped). Pada tahap awal, suatu negara harus menemukan keunggulan komparatifnya, dan saat industri mulai beroperasi, sampai suatu titik akan ditemukan ketidakefisienan yang akan menggeser produksi ke arah yang memiliki keunggulan komparatif. Dengan demikian, saat proses ekonomi dimulai, ekonomi justru lebih terdiversifikasi dan seiring dengan terjadinya pengembangan, proses menuju spesialisasi lebih mendominasi. Temuan yang sama juga dihasilkan Hesse (2008).

Hubungan diversifikasi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi juga banyak diteliti dalam penelitian lainnya, antara lain Chandra et al. (2007) serta Amiti dan Freund (2007) yang menghasilkan kesimpulan bahwa diversifikasi ekspor penting terutama untuk negara berkembang dan dengan itu dapat memicu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Siregar dan Daryanto (2005) menyebutkan bahwa kinerja ekspor dapat dinilai dari laju pertumbuhan baik dari sisi nilai maupun volume. Namun selain laju pertumbuhan ekspor, sisi yang perlu diperhatikan adalah tingkat diversifikasinya, baik produk maupun negara tujuan ekspor. Pengembangan ekspor yang berhasil adalah jika laju pertumbuhan ekspor tinggi dan komposisinya tidak didominasi negara tertentu dan produk tertentu.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa diversifikasi ekspor sangat penting bagi negara berkembang. Bagaimana cara mengukur diversifikasi ekspor juga bervariasi dari tiap penelitian. Literatur terkini mengungkapkan cara pengukuran diversifikasi ekspor, yaitu melalui pembagian marjin ekspor kedalam marjin ekstensif dan marjin intensif. Tingginya marjin ekstensif menunjukkan tingginya diversifikasi dan marjin intensif yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat spesialisasi/konsentrasi. Pembagian marjin ekspor ini juga memiliki manfaat untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya perdagangan ke arah marjin tersebut.

Sumber Artikel (Klik)

Krisis Pasar Produksi dan Perdagangan Kopi

Pembahasan mengenai ketergantungan antara lain dibahas dalam struktur pendapatan dari perdagangan kopi yang merupakan bagian dalam penelitian dalam ranah pembangunan baik ekonomi pembangunan, kelembagaan dan ekonomi politik. Salah satu pemicu pembahasan mengenai struktur pasar kopi adalah coffee crisis. Istilah ini mengacu pada anjloknya harga kopi sebagai komoditas di pasaran internasional semenjak terjadinya liberalisasi pasar untuk produk kopi dan kemudian anjloknya harga ini berdampak pada petani kopi, sebagai penanggung resiko terbesar. Petani kopi di negara berkembang umumnya tidak memiliki pendapatan lain di luar usaha tani kopinya, dengan anjloknya kopi, maka petani menjadi bertambah miskin dan pembangunan daerah menjadi gagal, terutama saat komposisi ekonomi suatu negara sangat bergantung pada satu komoditi tunggal, yaitu kopi.

Salah satu penelitian di bidang ekonomi kelembagaan adalah Ponte (2002). Metode yang digunakan adalah analisis GCC (global commodity chain). GCC memiliki spektrum penelitian mencakup kontrol, koordinasi dan peran masing-masing agen dalam rantai pemasaran dari produk primer dihasilkan hingga konsumen akhir. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah terjadinya coffee crisis yang merugikan petani dan produsen dari negara berkembang, selain disebabkan sisi produksi, juga ditengarai karena adanya perubahan struktur kelembagaan. Perubahan struktur tersebut terutama karena beralihnya komoditi kopi menuju sistem liberalisasi pasar. Dengan liberalisasi pasar ini, negara produsen yang semula masih memiliki kekuatan, semakin terdesak oleh kekuatan negara konsumen. Tumbuhnya perusahaan raksasa bergerak di bidang pengolahan kopi (roaster) yang mendominasi perdagangan kopi dunia, menghasilkan kepentingan korporasi, yaitu keuntungan jangka pendek, dan menyebabkan ketidakstabilan harga yang tinggi di pasar kopi

Salah satu penelitian kritis lainnya mengenai coffee crisis adalah penelitian dari Oxfam International. Penelitian-penelitian dari Oxfam membahas tentang kemiskinan, bahayanya dan upaya mengatasinya termasuk di sektor kopi. Salah satunya adalah Gresser dan Tickell (2002) menyatakan bahwa coffee crisis, beranjak dari anjloknya harga komoditas kopi di pasaran internasional membawa masalah yang lebih serius, yaitu kemiskinan dan masalah fundamental lainnya yang menyeret negara produsen kepada masalah pembangunan manusia. Namun demikian, hal ini tidak tercermin dalam konsumsi kopi di tingkat konsumen akhir. Dengan kata lain, ada rantai yang hilang, dimana saat terjadi kemiskinan di pihak petani namun di sisi lain, perusahaan besar (roaster) justru memperoleh margin yang terus meningkat. Dengan demikian, ada perubahan struktur pendapatan dari komoditas kopi yang dihasilkan petani hingga nilai tambah yang dihasilkan industri yang semakin menekan petani.

Saran yang diutarakan adalah dengan menyelenggarakan a coffee rescue plan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, antara lain mengenai harga yang sepatutnya diterima petani dan harus diatas harga produksi (diselenggarakan melalui Fair Trade), peningkatan kualitas kopi dan perdangangan hanya kopi dengan standar kualitas tertentu (yang baik) dan kualitas tersebut harus terinformasikan dengan baik pada produk akhir. Saran ini juga bersesuaian dengan yang diungkapkan oleh Ponte (2002) yang mengungkapkan bahwa negara produsen perlu meningkatkan kualitas produksinya dengan berbagai upaya untuk menyelenggarakan hubungan langsung antara konsumen dan produsen sehingga kualitas dapat terinformasikan dengan baik dan produsen dibayarkan sebagaimana mestinya. Saran ini juga bersesuaian dengan resolusi ICO, agar kopi yang diperdagangkan secara internasional harus memiliki standar kualitas tertentu, sehingga kopi dengan kualitas buruk akan tereleminasi dari perdagangan internasional dan harga akan meningkat.

Daniels dan Petchers (2005) menekankan kepentingan petani kopi skala kecil. Setidaknya ada enam hal yang diidentifikasi sebagai hal yang paling dibutuhkan oleh petani skala kecil, yaitu : stabilitas harga, akses kepada sumber dana, akses pasar, pendampingan/bantuan teknis dalam peningkatan kualitas dan diversifikasi, penguatan organisasi dan partisipasi dalam debat internasional. Dengan demikian, penelitian-penelitian tersebut di atas menyetujui akan satu hal, yaitu bagaimana menyusun suatu strategi yang pro-poor yang dianggap menjadi strategi yang berkelanjutan (sustainable). Salah satu cara yang disepakati adalah dengan meningkatkan kualitas dan standar. Salah satu cara lainnya yang disebutkan adalah diversifikasi.

Penelitian tentang kopi di Indonesia antara lain dilakukan oleh Hutabarat (2010), Anggraini (2006), dan Raharjo (2013). Studi Hutabarat (2010) menggunakan teknik wawancara dan diskusi dengan para pemangku kepentingan di bidang kopi (petani kopi, pedagang, pengusaha) dan mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber. Hasilnya menunjukkan bahwa pajak terutama pajak pertambahan nilai, kebijakan pemasaran dan coffee crisis yang terjadi secara internasional telah menghambat pertumbuhan industri kopi nasional (berdasarkan pengolahan menggunakan OLS terhadap faktor-faktor dimaksud).

Volume ekspor didominasi kopi biji dan hanya menyisakan sedikit untuk kopi olahan, sementara perusahaan kopi internasional mendominasi pasar kopi olahan. Dampaknya adalah kopi Indonesia tidak mampu bersaing dan industri nasional tidak mampu mengembangkan produknya untuk pasar internasional. Saran yang disampaikan adalah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan untuk mengurangi area penanaman kopi yang tidak produktif dan menggunakannya untuk tanaman lainnya serta meningkatkan kualitas produk kopi yang ditanam saat ini, yaitu kopi spesialti dan kopi organik di lahan yang sudah ada.

Anggraini (2006) dan Raharjo (2013) meneliti faktor yang menentukan ekspor kopi Indonesia. Anggraini (2006) menyatakan bahwa Amerika Serikat merupakan sasaran ekspor yang menarik karena merupakan negara konsumen kopi terbesar dunia. Saat krisis moneter terjadi di Indonesia, pada periode 1996-1998, impor kopi Amerika Serikat dari Indonesia justru meningkat tertinggi dibanding empat negara terbesar pengimpor kopi, walaupun menurun di dua tahun berikutnya. Variabel dependen yang diteliti adalah pendapatan per kapita Amerika Serikat (tidak signifikan), harga kopi dunia (berpengaruh signifikan), harga teh dunia (berpengaruh signifikan), konsumsi kopi Amerika Serikat tahun sebelumnya (berpengaruh signifikan), nilai tukar Dolar terhadap Rupiah (tidak signifikan), jumlah penduduk Amerika Serikat (berpengaruh signifikan) terhadap terhadap permintaan ekspor kopi Amerika Serikat dari Indonesia sebagai variabel independen. Argumentasi yang diberikan karena tidak signifikannya peningkatan pendapatan per kapita AS terhadap permintaan ekspor produk kopi Indonesia diduga karena faktor food safety dari produk Indonesia yang masih berstatus “not guaranteed to pass the FDA”. Dengan demikian, saran yang diberikan antara lain dengan memenuhi persyaratan terkait kualitas, memperkuat hubungan bilateral, kemudahan regulasi, promosi, serta diversifikasi baik produk maupun negara tujuan lain agar tidak mengalami kebergantungan.

Raharjo (2013) memberikan hasil estimasi variabel dependen pada pengolahan data panel terhadap ekspor kopi Indonesia ke delapan negara yaitu : Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia, Inggris, Malaysia, Singapura dan Aljazair. PDB riil, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, harga ritel kopi negara pengimpor memiliki pengaruh yang positif terhadap volume permintaan ekspor kopi Indonesia. sedangkan, variabel dummy krisis moneter tidak berpengaruh signifikan terhadap volume kopi Indonesia, ini membuktikan bahwa komoditas ekspor kopi merupakan tahan akan krisis.

Salah satu penelitian mengenai dampak sosial ekonomi terjadinya krisis kopi terhadap petani kopi di Indonesia antara lain Gunadi (2007). Lokasi yang diteliti adalah Pasemah, salah satu daerah penghasil yang membentang di tiga provinsi yaitu Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Hasil dari penelitian ini adalah meskipun petani kopi Indonesia sempat mengalami masa kejayaan hingga tahun 1980an, krisis kopi yang terjadi pada masa liberalisasi pasar menimbulkan dampak yang cukup serius bagi petani kopi di Pasemah. Untuk bertahan hidup petani mengubah pola konsumsi mereka. Beberapa mencari pekerjaan informal lainnya dan bahkan berurbanisasi ke Jabodetabek. Petani yang bertahan tetap mengusahakan kopi namun ada juga yang mendiversifikasikan jenis tanamannya.

Saran yang diberikan adalah dengan mengembangkan diversifikasi kopi olahan, seperti kopi sangrai, instant coffee, coffee mix, decaffeinated coffee, soluble coffee, kopi bir (coffee beer), iced coffee mempunyai arti penting, karena dapat menjadi komoditas unggulan yang mempunyai daya saing tinggi di pasar internasional. Indonesia sebagai negara tropis disamping berpeluang untuk pengembangan produk diversifikasi kopi olahan tersebut diatas, juga berpotensi untuk pengembangan produk industri pengolahan kopi specialties. Lebih lanjut, penulis menyarankan dalam upaya pengembangan produksi kopi menjadi industri hulu dan hilir perlu adanya keseriusan dari pemerintah maupun dari pihak-pihak yang terkait, melalui sinkronisasi kebijakan antara pemerintah dengan industri pengolahan kopi; pengembangan lembaga riset khususnya penggunaan teknologi di bidang kopi untuk mendukung pengembangan produksi kopi dan industri kopi; pembentukan lembaga promosi khusus untuk mempromosikan produk kopi Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor dalam upaya meningkatkan akses pasar; meningkatkan investasi di industri kopi; dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk pengembangan industri kopi dengan memberikan fasilitas sarana dan prasarana penunjang. Kustiari (2007) juga memberikan saran serupa, berupa kebijakan pemerintah yang pro-aktif dalam mempromosikan produk kopi Indonesia, peningkatan daya saing dan produktivitas, serta diversifikasi ekspor.



Pengolahan Kopi Instan

Kopi instan ditemukan oleh G. Washington pada tahun 1906, seorang kebangsaan Inggris yang hidup di Guatemala. Kopi instan merupakan kopi yang bersifat mudah larut air (soluble) tanpa meninggalkan serbuk atau endapan. Menurut Siswoputranto (1993), kopi instan merupakan kopi yang bersifat mudah larut dalam air (soluble) tanpa meninggalkan ampas. Pengolahan kopi instan yang essensial berupa produksi ekstrak kopi melalui tahap : penyangraian (roasting), penggilingan (grinding), ekstraksi, pengeringan (Spray Drying maupun Freeze Drying), dan pengemasan produk. Berdasarkan SNI 01-2983-1992, kopi instan adalah produk kering yang mudah larut dalam air, diperoleh seluruhnya dengan mengekstrak biji tanaman kopi (Coffee sp.) yang telah disangrai, hanya dengan menggunakan air.

Keuntungan utama dari kopi instan adalah kopi instan memungkinkan konsumen untuk membuat kopi tanpa peralatan lain selain cangkir dan pengaduk, secepat memanaskan air. Peneliti pemasaran juga menemukan bahwa konsumen lebih senang membuat kopi tanpa harus menyisakan ampas. Beberapa pelanggan yang sudah terbiasa mengkonsumsi kopi instan, sebagaimana yang ditemukan melalui penelitian taste test oleh sebuah pabrikan kopi, bahkan tidak mengenal rasa dari kopi yang diseduh secara tradisional (Sumahamijaya 2009).

Pengolahan kopi instan (soluble coffee) sangat tergantung dari proses sebelumnya. Pada tahap penggilingan, biji-biji kopi yang berbeda ukuran partikelnya harus disesuaikan untuk menjamin efisiensi ekstraksi. Hasil penggilingan yang terlalu halus akan menganggu perjalanan cairan kopi pada kolom ekstraksi, karena itu hasil penggilingan yang agak kasar dan seragam lebih diinginkan (Ridwansyah 2003).

1. Ekstraksi
Proses ekstraksi untuk pembuatan kopi instan menggunakan percolator (penyaring kopi) dan alat sentrifuge untuk mengepres sisa ampas. Proses ini terjadi di dalam 6 percolator (penyaring kopi) menggunakan prinsip counter curent. Tujuan pengolahan adalah untuk memperoleh ekstraksi optimum dari padatan terlarut tanpa merusak kualitas. Ekstraksi yang optimum tergantung pada suhu air ekstraksi dan laju alir melalui ampas kopi. Pada prakteknya air panas dimasukkan dengan tekanan dan suhunya 180 °C. Suhu dari cairan pada setiap kolom makin turun sampai cairan berhubungan dengan kopi pada suhu 100 °C. Penggunaan suhu air yang tinggi memungkinkan hasil konsentrasi ekstrak yang tinggi. Penggunaan suhu tinggi akan menjaga tekanan sistem tetap rendah untuk mempertahankan kondisi hidroulik (suhu air 173 °C, dibutuhkan tekanan 120 psig atau 828 kPa) dan kolom yang dihubungkan oleh pipa harus didesain pada tekanan sedemikian rupa sehingga tidak melebihi hidraulik minimum.

Air mengumpulkan sisa padatan larut air pada tekanan tinggi dan sisa padatan terlarut yang tidak terekstraksi akan secara langsung terbawa ke kolom percolator berikutnya dan terekstraksi, begitu selanjutnya. Setiap penyaring pelarut mengumpulkan padatan larut air lebih banyak. Pada gilingan kopi yang lebih bersih akan meningkatkan ekstraksi dan mengurangi waktu perputaran. Larutan ekstrak bergerak ke depan secara kontinu dan pada kolom terakhir keluar berupa sirup dengan konsentrasi bahan terlarut 25-35 %. Pengisian air panas mengalir secara kontinu dengan ampas kopi bubuk yang terbanyak (Syamsir 2010).

Menurut Ridwansyah (2003), kopi hasil ekstraksi yang dihasilkan dari kolom terakhir harus didinginkan terlebih dahulu pada tempat penampungan. Kopi hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dengan menggunakan metode spray drying atau freeze drying, namun biasanya terlebih dahulu dilakukan penyaringan (filter) atau sentrifugasi terhadap cairan tersebut untuk memisahkan koloid berupa ter atau bahan bahan tidak larut lainnya. Ekstrak dipekatkan dengan cara evaporasi dengan evaporator tradisional. Ekstrak kemudian disimpan sementara di tangki penyimpanan untuk menunggu proses pengeringan. Ampas kopi bubuk dikeluarkan dari kolom untuk dibuang, terlebih dahulu dilakukan pengurangan kadar air agar mudah diangkut dengan truk ke tempat pembuangan karena masih mengandung 70 % kadar air.

Selain menggunakan perkolator, proses penyangraian dapat dilakukan dengan cara counter-current extraction atau slurry extraction. Ekstraksi dengan cara counter-current extraction dilakukan dengan meletakkan kopi yang akan diekstrak pada silinder yang berotasi, air panas disemburkan dari atas silinder untuk mengestrak kafein kopi. Ekstraksi dengan cara slurry extraction merupakan cara yang paling sederhana, kopi yang akan diekstrak dicampur dengan air panas, diaduk-aduk. Setelah ekstraksi, kopi disaring kemudian dilakukan sentrifugasi untuk memisahkan padatan yang tidak terlarut (Rahardian 2008).

Dalam proses ekstraksi kopi menggunakan air, kualitas air juga perlu diperhatikan karena berkaitan dengan pembuatan bahan pangan. Menurut Buckle et al. (1987), air yang berhubungan dengan hasil-hasil industri pengolahan pangan harus memenuhi standar mutu yang diperlukan untuk air minum. Masing-masing bagian dari industri pengolahan pangan mungkin perlu mengembangkan syarat-syarat mutu air khusus untuk mencapai hasil-hasil pengolahan yang memuaskan. Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), sifat kimia air memberikan pengaruh kecil pada proses ekstraksi kopi. Air yang mengandung alkali menghambat kecepatan perkolasi. Air alkali dengan perbandingan tinggi mempengaruhi pH, rasa seduhan dan warna gelap. Pada perkolasi komersial, perbandingan kopi : air yang dipakai adalah 1:4 dengan pH ampas 3,8. Air yang digunakan dalam proses esktraksi kopi merupakan air yang memenuhi baku mutu air minum.

2. Pengeringan
a. Spray Drying
Proses spray drying terjadi di dalam tower silindris yang besar dengan dasar kerucut, pada bagian ini cairan kopi dimasukkan dengan tekanan ke dalam bagian atas tower bersamaan dengan pancaran udara panas sekitar 250 °C. Partikel-partikel yang disemprotkan akan kering dan jatuh serta terkumpul sebagai bubuk pada bagian ujung kerucut lalu dipindahkan menggunakan alat katup yang berputar. Udara yang telah terpakai dilepaskan melewati sisi tower dan biasanya dilewatkan melalui peralatan siklon dengan tujuan untuk memperoleh kembali partikel kopi halus yang mungkin tercampur dengan aliran bubuk. Pada proses kosentrasi awal larutan kopi, kecenderungan yang terjadi adalah diproduksinya partikel bubuk berukuran besar dan sedikit halus, jika partikel berukuran besar lebih banyak pada proses recyling akan mengakibatkan rusaknya kualitas dan rendahnya mutu produk akhir. Selain itu, makin sedikit bagian yang halus, makin kecil pula kemungkinan padatan kopi menempel pada dinding tower sehingga pengkonsentrasian larutan akan mengurangi beban pengering dan meningkatkan kapasitas produksi (Ridwansyah 2003).

b. Freeze Drying
Prinsip kerja freeze drying meliputi pembekuan larutan, menggranulasikan larutan yang beku, mengkondisikannya pada vacum ultra-high dengan pemanasan yang sedang sehingga mengakibatkan air pada bahan pangan tersebut akan menyublim dan akan menghasilkan produk padat (solid product). Pada prakteknya, ekstrak kopi disaring dan dikumpulkan pada tangki utama, kemudian cairan tersebut dibawa ke drum pendinginan yang berputar. Setelah itu dibawa keruang pendinginan. Pada ruang pendinginan ditambahkan etilen glikol dan ekstrak dibiarkan berhubungan dengan larutan selama 20-30 menit dengan suhu -40°C. Setelah meninggalkan daerah tesebut lempeng beku dilewatkan menuju grinder untuk mengatur produksi granula sesuai dengan ukuran yakni sesuai persyaratan untuk produk jadi. Partikel-partikel disaring untuk keseragaman produk dan tingkat kekeringan yang merata.
Granula-granula yang membeku tersebut kemudian dibawa menggunakan konveyor menuju ruangan vakum yang dioperasikan secara batch atau kontinu. Selama proses pengeringan suhu produk umumnya tidak lebih dari 50 °C (Ridwansyah 2003).

Pada tahapan proses ekstraksi, komponen flavor yang bersifat mudah menguap seringkali tidak terekstrak secara sempurna. Hal ini terjadi karena beberapa komponen tersebut memiliki kelarutan yang rendah di dalam air, sehingga tidak ikut terekstrak pada saat proses ekstraksi. Proses pemekatan dan pengeringan yang menggunakan panas (evaporasi vakum dan pengeringan semprot) juga berpotensi menyebabkan hilangnya komponen aroma dan cita rasa yang mudah menguap karena ikut menguap bersama air yang dikeluarkan sehingga menghasilkan produk kopi instan dengan aroma dan citarasa yang lebih „ringan‟ dibandingkan dengan proses beku (pemekatan beku dan pengeringan beku). Akan tetapi, karena penggunaan teknik pemekatan beku dan pengeringan beku memerlukan biaya produksi yang sangat tinggi, disamping teknologinya yang diproteksi oleh paten, maka teknik ini hanya digunakan untuk kopi instan dengan kelas superior yang harganya relatif lebih mahal (Syamsir 2010). Kopi instan yang dihasilkan harus sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Karakteristik mutu kopi instan berdasarkan SNI 01-2983,1992 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Standar mutu kopi instan berdasarkan SNI 01-2983-1992
Uraian
Satuan
Persyaratan
Keadaan :
Bau
Normal
Rasa
Normal
Air
% bobot
Maks 4
Abu
% bobot
7 – 14
Kealkalian Abu
ml 1 N NaOH/100g
80 – 140
Kafein
% bobot
2 – 8
Jumlah gula (sebagai gula pereduksi)
% bobot
Maks 10
Padatan yang tidak larut dalam air
% bobot
Maks 0,25
Cemaran logam :
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 2
Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks 30
Arsen (As)
mg/kg
Maks 1
Pemeriksaan Mikrobiologi :
Kapang
koloni/g
Maks. 50
Jumlah bakteri
koloni/g
Lebih kecil dari 300

Untuk mengetahui cita rasa yang dihasilkan dari kopi instan, dilakukan analisis sensori. Pada umumnya, analisis sensori pada kopi dilakukan dengan analisis sensori deskriptif. Analisis sensori deskriptif adalah metode analisis sensori di mana atribut sensori suatu produk atau bahan pangan diidentifikasi, dideskripdikan, dan dikuantifikasi dengan menggunakan panelis yang dilatih khusus untuk tujuan ini (Setianingsih et al. 2010). Aroma dan cita rasa pada kopi dapat dideskripsikan berdasarkan kesan yang paling dominan. Deskripsi para ahli kopi terhadap atribut sensori bubuk kopi instan dan seduhannya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Deskripsi dan definisi atribut sensori pada kopi instan
No
Atribut
Penjelasan
1.
Penampakan Bubuk
Warna
Menunjukkan intensitas kecoklatan bubuk kopi (cokelat muda atau cokelat pekat)
Tekstur
Granula bubuk kopi menjadi kasar ketika memiliki ukuran partikel yang besar dan keras
Simetri
Sebuah partikel kopi dikatan simetris ketika kedua bagian partikel mencerminkan satu sama lain
Kerapatan
Partikel yang dikemas bersama dan memiliki tekstur yang halus dikatakan memiliki kerapatan tinggi, sedangkan yang kerapatannya rendah partikel terlihat berlubang (lubang kecil yang tidak terlihat dari permukaan)
2.
Aroma Bubuk
Fishy
Aroma bubuk kopi instan yang timbul menyerupai aroma ikan kaleng (seperti tuna)
3.
Penampakan Seduhan
Kelarutan
Kemudahan bubuk kopi larut ketika ditambahkan air panas.
Kabut
Kejernihan atau kekeruhan dari penampakan seduhan kopi instan.
4.
Aroma Seduhan
Leather
Mengingatkan bau hewan, memiliki karakteristik aroma bulu basah, kulit samak atau kulit mentah.
Cocoa
Aroma ini menunjukkan aroma dan flavor dari bubuk coklat
Malty
Karakteristik aroma seperti biji-bijian mentah atau malt ekstrak
Toasted cereal
Mengarah ke biji-bijian yang disangrai, seperti roti yang baru selesai di panggang.
Nutty
Seperti aroma kacang segar
Barthy
Aroma tanah basah atau aroma kentang mentah.
Spicy
Aroma rempah-rempah seperti cengkeh, sereh atau lada.
Roasted
Menunjukkan tingkat penyangraian mulai dari sangrai ringan hingga seperti asap kayu bakar.
Acidic odour
Aroma ini muncul karena adanya aroma asam buah yang segar, tidak mengindikasikan proses fermentasi.
Sweet odour
Aroma karamel (gula dipanaskan)
Mushroom
Aroma seperti jamur segar, aroma ini berbeda dengan aroma tanah.
Fenugreek
Aroma gurih pedas seperti daging dengan merica
Root
Aroma yang mengGambarkan aroma pemasakan ubi jalar.
5.
Cita Rasa Seduhan
Acidic taste
Karakteristik dasar cita rasa dibentuk oleh asam-asam organik.
Bitter taste
Cita rasa terbentuk karena kandungan kafein, quinon dan alkaloid.
Sweet
Cita rasa terbentuk karena larutnya glukosa dan fruktosa.
Body
Cita rasa yang menggambarkan rasa kopi seutuhnya ketika di mulut.
Astringency
Cita rasa yang tertinggal setelah meminum kopi, seperti efek pengeringan di daerah mulut.


Back To Top