Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Krisis Pasar Produksi dan Perdagangan Kopi

Pembahasan mengenai ketergantungan antara lain dibahas dalam struktur pendapatan dari perdagangan kopi yang merupakan bagian dalam penelitian dalam ranah pembangunan baik ekonomi pembangunan, kelembagaan dan ekonomi politik. Salah satu pemicu pembahasan mengenai struktur pasar kopi adalah coffee crisis. Istilah ini mengacu pada anjloknya harga kopi sebagai komoditas di pasaran internasional semenjak terjadinya liberalisasi pasar untuk produk kopi dan kemudian anjloknya harga ini berdampak pada petani kopi, sebagai penanggung resiko terbesar. Petani kopi di negara berkembang umumnya tidak memiliki pendapatan lain di luar usaha tani kopinya, dengan anjloknya kopi, maka petani menjadi bertambah miskin dan pembangunan daerah menjadi gagal, terutama saat komposisi ekonomi suatu negara sangat bergantung pada satu komoditi tunggal, yaitu kopi.

Salah satu penelitian di bidang ekonomi kelembagaan adalah Ponte (2002). Metode yang digunakan adalah analisis GCC (global commodity chain). GCC memiliki spektrum penelitian mencakup kontrol, koordinasi dan peran masing-masing agen dalam rantai pemasaran dari produk primer dihasilkan hingga konsumen akhir. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah terjadinya coffee crisis yang merugikan petani dan produsen dari negara berkembang, selain disebabkan sisi produksi, juga ditengarai karena adanya perubahan struktur kelembagaan. Perubahan struktur tersebut terutama karena beralihnya komoditi kopi menuju sistem liberalisasi pasar. Dengan liberalisasi pasar ini, negara produsen yang semula masih memiliki kekuatan, semakin terdesak oleh kekuatan negara konsumen. Tumbuhnya perusahaan raksasa bergerak di bidang pengolahan kopi (roaster) yang mendominasi perdagangan kopi dunia, menghasilkan kepentingan korporasi, yaitu keuntungan jangka pendek, dan menyebabkan ketidakstabilan harga yang tinggi di pasar kopi

Salah satu penelitian kritis lainnya mengenai coffee crisis adalah penelitian dari Oxfam International. Penelitian-penelitian dari Oxfam membahas tentang kemiskinan, bahayanya dan upaya mengatasinya termasuk di sektor kopi. Salah satunya adalah Gresser dan Tickell (2002) menyatakan bahwa coffee crisis, beranjak dari anjloknya harga komoditas kopi di pasaran internasional membawa masalah yang lebih serius, yaitu kemiskinan dan masalah fundamental lainnya yang menyeret negara produsen kepada masalah pembangunan manusia. Namun demikian, hal ini tidak tercermin dalam konsumsi kopi di tingkat konsumen akhir. Dengan kata lain, ada rantai yang hilang, dimana saat terjadi kemiskinan di pihak petani namun di sisi lain, perusahaan besar (roaster) justru memperoleh margin yang terus meningkat. Dengan demikian, ada perubahan struktur pendapatan dari komoditas kopi yang dihasilkan petani hingga nilai tambah yang dihasilkan industri yang semakin menekan petani.

Saran yang diutarakan adalah dengan menyelenggarakan a coffee rescue plan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, antara lain mengenai harga yang sepatutnya diterima petani dan harus diatas harga produksi (diselenggarakan melalui Fair Trade), peningkatan kualitas kopi dan perdangangan hanya kopi dengan standar kualitas tertentu (yang baik) dan kualitas tersebut harus terinformasikan dengan baik pada produk akhir. Saran ini juga bersesuaian dengan yang diungkapkan oleh Ponte (2002) yang mengungkapkan bahwa negara produsen perlu meningkatkan kualitas produksinya dengan berbagai upaya untuk menyelenggarakan hubungan langsung antara konsumen dan produsen sehingga kualitas dapat terinformasikan dengan baik dan produsen dibayarkan sebagaimana mestinya. Saran ini juga bersesuaian dengan resolusi ICO, agar kopi yang diperdagangkan secara internasional harus memiliki standar kualitas tertentu, sehingga kopi dengan kualitas buruk akan tereleminasi dari perdagangan internasional dan harga akan meningkat.

Daniels dan Petchers (2005) menekankan kepentingan petani kopi skala kecil. Setidaknya ada enam hal yang diidentifikasi sebagai hal yang paling dibutuhkan oleh petani skala kecil, yaitu : stabilitas harga, akses kepada sumber dana, akses pasar, pendampingan/bantuan teknis dalam peningkatan kualitas dan diversifikasi, penguatan organisasi dan partisipasi dalam debat internasional. Dengan demikian, penelitian-penelitian tersebut di atas menyetujui akan satu hal, yaitu bagaimana menyusun suatu strategi yang pro-poor yang dianggap menjadi strategi yang berkelanjutan (sustainable). Salah satu cara yang disepakati adalah dengan meningkatkan kualitas dan standar. Salah satu cara lainnya yang disebutkan adalah diversifikasi.

Penelitian tentang kopi di Indonesia antara lain dilakukan oleh Hutabarat (2010), Anggraini (2006), dan Raharjo (2013). Studi Hutabarat (2010) menggunakan teknik wawancara dan diskusi dengan para pemangku kepentingan di bidang kopi (petani kopi, pedagang, pengusaha) dan mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber. Hasilnya menunjukkan bahwa pajak terutama pajak pertambahan nilai, kebijakan pemasaran dan coffee crisis yang terjadi secara internasional telah menghambat pertumbuhan industri kopi nasional (berdasarkan pengolahan menggunakan OLS terhadap faktor-faktor dimaksud).

Volume ekspor didominasi kopi biji dan hanya menyisakan sedikit untuk kopi olahan, sementara perusahaan kopi internasional mendominasi pasar kopi olahan. Dampaknya adalah kopi Indonesia tidak mampu bersaing dan industri nasional tidak mampu mengembangkan produknya untuk pasar internasional. Saran yang disampaikan adalah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan untuk mengurangi area penanaman kopi yang tidak produktif dan menggunakannya untuk tanaman lainnya serta meningkatkan kualitas produk kopi yang ditanam saat ini, yaitu kopi spesialti dan kopi organik di lahan yang sudah ada.

Anggraini (2006) dan Raharjo (2013) meneliti faktor yang menentukan ekspor kopi Indonesia. Anggraini (2006) menyatakan bahwa Amerika Serikat merupakan sasaran ekspor yang menarik karena merupakan negara konsumen kopi terbesar dunia. Saat krisis moneter terjadi di Indonesia, pada periode 1996-1998, impor kopi Amerika Serikat dari Indonesia justru meningkat tertinggi dibanding empat negara terbesar pengimpor kopi, walaupun menurun di dua tahun berikutnya. Variabel dependen yang diteliti adalah pendapatan per kapita Amerika Serikat (tidak signifikan), harga kopi dunia (berpengaruh signifikan), harga teh dunia (berpengaruh signifikan), konsumsi kopi Amerika Serikat tahun sebelumnya (berpengaruh signifikan), nilai tukar Dolar terhadap Rupiah (tidak signifikan), jumlah penduduk Amerika Serikat (berpengaruh signifikan) terhadap terhadap permintaan ekspor kopi Amerika Serikat dari Indonesia sebagai variabel independen. Argumentasi yang diberikan karena tidak signifikannya peningkatan pendapatan per kapita AS terhadap permintaan ekspor produk kopi Indonesia diduga karena faktor food safety dari produk Indonesia yang masih berstatus “not guaranteed to pass the FDA”. Dengan demikian, saran yang diberikan antara lain dengan memenuhi persyaratan terkait kualitas, memperkuat hubungan bilateral, kemudahan regulasi, promosi, serta diversifikasi baik produk maupun negara tujuan lain agar tidak mengalami kebergantungan.

Raharjo (2013) memberikan hasil estimasi variabel dependen pada pengolahan data panel terhadap ekspor kopi Indonesia ke delapan negara yaitu : Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia, Inggris, Malaysia, Singapura dan Aljazair. PDB riil, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, harga ritel kopi negara pengimpor memiliki pengaruh yang positif terhadap volume permintaan ekspor kopi Indonesia. sedangkan, variabel dummy krisis moneter tidak berpengaruh signifikan terhadap volume kopi Indonesia, ini membuktikan bahwa komoditas ekspor kopi merupakan tahan akan krisis.

Salah satu penelitian mengenai dampak sosial ekonomi terjadinya krisis kopi terhadap petani kopi di Indonesia antara lain Gunadi (2007). Lokasi yang diteliti adalah Pasemah, salah satu daerah penghasil yang membentang di tiga provinsi yaitu Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Hasil dari penelitian ini adalah meskipun petani kopi Indonesia sempat mengalami masa kejayaan hingga tahun 1980an, krisis kopi yang terjadi pada masa liberalisasi pasar menimbulkan dampak yang cukup serius bagi petani kopi di Pasemah. Untuk bertahan hidup petani mengubah pola konsumsi mereka. Beberapa mencari pekerjaan informal lainnya dan bahkan berurbanisasi ke Jabodetabek. Petani yang bertahan tetap mengusahakan kopi namun ada juga yang mendiversifikasikan jenis tanamannya.

Saran yang diberikan adalah dengan mengembangkan diversifikasi kopi olahan, seperti kopi sangrai, instant coffee, coffee mix, decaffeinated coffee, soluble coffee, kopi bir (coffee beer), iced coffee mempunyai arti penting, karena dapat menjadi komoditas unggulan yang mempunyai daya saing tinggi di pasar internasional. Indonesia sebagai negara tropis disamping berpeluang untuk pengembangan produk diversifikasi kopi olahan tersebut diatas, juga berpotensi untuk pengembangan produk industri pengolahan kopi specialties. Lebih lanjut, penulis menyarankan dalam upaya pengembangan produksi kopi menjadi industri hulu dan hilir perlu adanya keseriusan dari pemerintah maupun dari pihak-pihak yang terkait, melalui sinkronisasi kebijakan antara pemerintah dengan industri pengolahan kopi; pengembangan lembaga riset khususnya penggunaan teknologi di bidang kopi untuk mendukung pengembangan produksi kopi dan industri kopi; pembentukan lembaga promosi khusus untuk mempromosikan produk kopi Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor dalam upaya meningkatkan akses pasar; meningkatkan investasi di industri kopi; dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk pengembangan industri kopi dengan memberikan fasilitas sarana dan prasarana penunjang. Kustiari (2007) juga memberikan saran serupa, berupa kebijakan pemerintah yang pro-aktif dalam mempromosikan produk kopi Indonesia, peningkatan daya saing dan produktivitas, serta diversifikasi ekspor.



Labels: Kopi

Thanks for reading Krisis Pasar Produksi dan Perdagangan Kopi . Please share...!

0 Comment for "Krisis Pasar Produksi dan Perdagangan Kopi "

Back To Top