Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Kelinci New Zealand White

Kelinci memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit atau bulu, hewan percobaan, dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991). Kelinci termasuk hewan herbivor non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan monogastrik dengan perkembangan sekum seperti rumen ruminansia, sehingga kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke dan Patton, 1982).

Klasifikasi kelinci menurut Lebas et al. (1986) adalah sebagai berikut :
Kingdom         : Animal
Phylum            : Chordata
Sub phylum     : Vertebrata
Ordo                : Logomorph
Family             : Lepotidae
Sub family       : Leporine
Genus              : Oryctolagus
Species            : Oryctolagus cuniculus

Kelinci New Zealand White
Bangsa kelinci yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan penelitian paramedis adalah New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan antara lain: sifat produksi tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus hidup yang pendek, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, adaptif terhadap lingkungan yang baru, dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelinci New Zealand White ini termasuk dalam bangsa medium yang memiliki bobot hidup antara 3,5-4 kg (Lebas et al., 1986) dan mencapai bobot dewasa pada umur 5-6 bulan (Cheeke et al., 1982).


Kelinci dapat menggunakan protein hijauan secara efisien, dengan tingkat reproduksi tinggi, efisiensi pakan tinggi, hanya membutuhkan makanan dalam jumlah sedikit dan kualitas dagingnya cukup tinggi (Cheeke, 1983; Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci merupakan ternak yang mempunyai potensi reproduksi tinggi, laju pertumbuhan cepat, periode kebuntingan yang pendek bila dibandingkan dengan ternak lain, seperti sapi, kerbau, babi, kecuali unggas (Cheeke et al., 1982). Seekor induk kelinci mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan 30-35 hari dan dari satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor
anak (Rismunandar, 1981).


Daftar Pustaka

Cheeke, P. R. & N. M. Patton. 1982. Rabbit Production. 6th Edition. The Interstate Printers and Publisher Inc. Danville. Illinois.
Cheeke, P. R. 1983. Rabbit production in Indonesia. Journal of Applied Rabbit Research 6 (3): 80-86.
Church, D. C. 1991. Livestock Feeds and Feeding. 3rd Edition. Prentice Hall International. New Jersey.
Farrel, D. J. & Y. C. Raharjo. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbit. Central Research Institut for Animal Science. Bogor.
Lebas, F., P. Coudert, R. Rouvier & H. D. Rochambeau. 1986. The Rabbit Husbandry, Health and Production. Food and Agriculture Organization of The United Nation. Rome. Italy.
Rismunandar. 1981. Meningkatkan Konsumsi Protein dengan Beternak Kelinci. Edisi ke-7. Penerbit CV. Sinar Baru. Bandung.


Tepung Ikan

Menurut McDonald et al. (1995), tepung ikan dibuat dari ikan berkualitas yang kemudian diproses menjadi sumber protein dalam bentuk tepung ikan. Tepung ikan kaya akan asam amino esensial terutama lisin, sistin, metionin dan tryptopan. Bahan pakan ini juga mempunyai kandungan mineral yang tinggi (100-200 g/kg) seperti kalsium, phospor, mangan, besi dan iodine. 

Tepung Ikan.
Sumber Foto : http://www.siimat.com/wp-content/uploads/2013/03/jual-tepung-ikan.jpg
Tepung ikan juga merupakan sumber vitamin B-kompleks yang baik terutama cholin, B12 dan riboflavin. Secara umum tepung ikan berkualitas baik mengandung protein kasar 60%-70% dan kaya akan asam amino esensial terutama lisin dan metionin yang baik, yang selalu kurang dalam bahan-bahan makanan ternak asal nabati (Rasyaf, 1999).


Daftar Pustaka

McDonald, P., R. A. Edwards., J. F. D. Greenhalgh & C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman Singapore Publishers. Singapore.

Rasyaf, M. 1999. Bahan Makanan Unggas Indonesia. Penerbit Kansius. Jakarta.

Daun Ubi Jalar untuk Pakan Kelinci

Menurut Rukmana (1997), tanaman ubi jalar (Ipomea batatas L.) termasuk tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh utama terdiri dari batang, ubi, daun, buah, dan biji. Batang tanaman ini tidak berkayu, berbentuk bulat dengan gabus di bagian tengahnya dan berwarna hijau atau ungu. Daun berbentuk bulat sampai lonjong dengan tepi rata, berlekuk dangkal, sampai berlekuk dalam. Daun berukuran lebar, menyatu, ada pula yang bersifat menjari. Daun biasanya berwarna hijau tua atau hijau kekuningan (Najiyati dan Danarti 2000).


Badan Pusat Statistik (2009) menyatakan bahwa produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 1.881.761 ton dan diperkirakan produksi ubi jalar tahun 2009 akan meningkat menjadi 1.947.311 ton. Luas lahan panen ubi jalar sekitar 174.561 Ha dan diperkirakan akan meningkat menjadi 181.183 Ha pada tahun 2009.

Menurut Sudaryanto et al. (1984), dari beberapa hijauan yang dimanfaatkan oleh ternak kelinci, konsumsi daun ubi jalar segar merupakan yang tertinggi, yaitu 379,50 g/ekor/hari pada kelinci jantan dan 389,85 g/ekor/hari pada kelinci betina. Efisiensi pakan yang paling baik juga terlihat pada perlakuan dengan pemberian ransum yang mengandung daun ubi jalar, baik untuk kelinci jantan maupun kelinci betina.


Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2009. Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar menurut provinsi tahun 2008 dan 2009. http//bps.go.id. [5 Agustus 2009]

Najiayati. S. & Danarti. 2000. Palawija, Budidaya, dan Analisis Usaha Tani. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar: Budidaya dan Pascapanen. Kanisius, Yogyakarta.

Sudaryanto, B., Y. C. Rahardjo & M. Rangkuti. 1984. Pengaruh beberapa hijauan terhadap performan kelinci di pedesaan. Laporan Penelitian. Ilmu dan Peternakan. Puslitbangnak. Bogor.


Bungkil Inti Sawit

Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil samping dari proses ekstraksi inti sawit. Bahan ini diperoleh dengan cara proses kimia atau mekanik (Mirwandhono dan Siregar, 2004). Satu tandan buah sawit segar menghasilkan bungkil inti sawit sebanyak 45-46%. BIS umumnya mengandung air kurang dari 10%, protein 14-17%, lemak 9,5-10,5%, dan serat kasar 12-18%. BIS mengandung serat kasar yang tinggi dan sekitar 20% protein kasar (McNab dan Boorman, 2002).

Bungkil Inti Sawit
Sumber Foto : http://usahabudidaya.com/wp-content/uploads/2014/06/Bungkil-Inti-Sawit.jpg
Menurut Elisabeth dan Ginting (2003), BIS kurang disarankan sebagai bahan baku pakan ternak non-ruminansia karena kandungan serat kasar pada BIS lebih tinggi dibandingkan bahan baku sumber protein lainnya. Menurut Adeniji (2002), ransum yang mengandung bungkil inti sawit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, serta konversi ransum.

Peningkatan level penggunaan bungkil inti sawit (12,5; 25; 37,5; dan 50%) dalam ransum mengakibatkan penurunan level bobot badan akhir kelinci. Persentase penggunaan bungkil inti sawit sebagai pengganti bungkil kacang tanah dalam ransum yang optimal dan direkomendasikan sebagai pakan untuk kelinci lepas sapih adalah 37,5% dari total ransum (Adeniji, 2002).


Daftar Pustaka

Adeniji, A. A. 2002. The replacement value of palmkernel cake for groundnut cake in the diets of weaner rabbits. Journal of Livestock Production Science 85: 287-291.

Elisabeth, J. & S. P. Ginting. 2003. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Prosiding Lokakarya Nasional. Bengkulu.

Mirwandhono, E. & Z. Siregar. 2004. Pemanfaatan hidrolisat tepung kepala udang dan limbah kelapa sawit yang difermentasi dengan Aspergillus niger, Rhizopus oligosporus dan Thricoderma viridae dalam ransum ayam pedaging. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.


McNab, J. M. & K. N. Boorman. 2002. Poultry Feedstuffs: Supply, Composition, and Nutritive Value. CABI Publishing, Oxfordshire.

Bungkil Kedelai

Bungkil kedelai merupakan produk hasil ikutan penggilingan biji kedelai setelah diekstraksi minyaknya, baik secara mekanik dengan penekanan maupun kimia menggunakan pelarut organik. Protein bungkil kedelai mengandung seluruh asam amino esensial, tetapi untuk methionin dan sistin jumlahnya belum optimal (McDonald et al., 1995).
Bungkil Kedelai (Soy Bean Meal)
Sumber Foto : http://www.sinarmentarigroup.com/
Bungkil kedelai yang dihasilkan secara mekanis mengandung lebih banyak minyak dan serat kasar, serta kandungan proteinnya lebih rendah dibandingkan dengan bungkil kedelai yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut heksan (Suryahadi et al., 1997).

Rasidi (2002) menyatakan bahwa bungkil kedelai merupakan sisa hasil dari proses pembuatan minyak kedelai. Bahan ini sangat baik untuk campuran pakan ternak karena kandungan proteinnya tinggi, yaitu antara 42-45 %. Bungkil kedelai merupakan sumber protein nabati dan sumber energi sehingga sangat disukai ternak.


Daftar Pustaka

McDonald, P., R. A. Edwards., J. F. D. Greenhalgh & C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. 5th Edition. Longman Singapore Publishers. Singapore.

Rasidi. 2002. 302 Formulasi Pakan Lokal Alternatif untuk Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.


Suryahadi, Nahrowi, I. G. Permana, L. Abdullah, & Hadiyanto. 1997. Pengelolaan Pakan Sapi Perah. Buku Materi Penyuluhan. Kerjasama Fakultas Peternakan IPB dengan Gabungan Koperasi Susu Indonesia. Bogor.

Silase

Silase adalah pakan produk fermentasi hijauan, hasil sampingan pertanian fan agroindustri dengan kadar air tinggi yang diawetkan dengan menggunakan asam, baik yang sengaja ditambahkan maupun secara alami dihasilkan bahan selama penyimpanan dalam kondisi anaerob (McDonald et al., 1991). Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu hijaun untuk dimanfaatkan pada masa mendatang (Sapienza dan Bolsen, 1993). Stimulan fermentasi bekerja membantu pertumbuhan bakteri asam laktat sehingga kondisi asam segera tercapai, contohnya inokulan bakteri yaitu bakteri asam laktat yang berfungsi untuk meningkatkan populasi bakteri asam laktat dalam bahan pakan (McDonald et al, 1991).

Menurut Ensminger (1990), karakteristik silase yang baik antara lain pH kurang dari 4,5 serta barbau asam laktat atau campuran asam laktat dan asam asetat, warna tidak berubah dengan warna asalnya, dan kehilangan nutrien dapat ditekan. Silase memiliki beberapa kelebihan antara lain: ransum lebih awet, memiliki kandungan bakteri asam laktat yang berperan sebagai probiotik dan memiliki kandungan asam organik yang berperan sebagai growth promotor dan penghambat penyakit. Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang berada dalam bahan baku yang tidak dikehendaki namun dapat mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat (Sapienza dan Bolsen, 1993).

Pembuatan silase secara garis besar dibagi menjadi empat fase (Sapienza dan Bolsen, 1993). Pertama adalah fase aerob, fase ini berlangsung dua proses yaitu proses respirasi dan proses proteolisis, akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut. Proses respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbondioksida dan air, dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan panas. Kedua adalah fase fermentasi ketika kondisi aerob tercapai pada bahan yang diawetkan beberapa proses mulai berlangsung, isi sel makanan mulai dirombak. Pada hijauan basah, proses ini berlagsung dalam beberapa jam, sedangkan pada hijaun kering dapat berlangsung hingga satu hari. Ketiga adalah fase stabil, setelah masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir, maka proses ensilase memasuki fase stabil, hanya sedikit sekali aktivitas mikroba. Keempat adalah fase pengeluaran silase, oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase terbuka.


Daftar Pustaka

Ensminger, M. E., J. E. Oldfield & W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition Complete). 2nd Edition. The Ensminger Publishing California.
McDonald, P., A. R. Henderson, & S. J. E. Heron. 1991. The Biochemistry of Silage. 2nd Edition. Chalcombe. Marlow.

Sapienza, D. A., & K. K. Bolsen. 1993. Teknologi Silase. Penerjemah, Martoyoedo R.B.S. Pioner-Hi-Bred International, Inc. Kansas State University. Kansas.

Pakan Bentuk Pellet

McElhiney (1994) menyatakan bahwa pellet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku ransum secara mekanik yang didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan, selain itu dua faktor yang mempengaruhi ketahanan serta kualitas fisik pellet adalah karakteristik dan ukuran partikel bahan. Pellet yang berkualitas harus mempunyai nutrien tinggi misalnya meningkatkan konsumsi ransum dan mungkin meningkatkan nilai nutrien (Thomas dan van der Poel, 1995).


Produksi pellet adalah suatu proses pengolahan pakan dengan mengompakkan bahan menggunakan mesin die sehingga menjadi bentuk silinder atau potongan kecil dengan diameter, panjang, dan derajat kekerasan yang berbeda. Pellet yang berukuran besar umumnya terbuat dari pakan hijauan. Pakan pellet populer dengan pemilik kuda atau karateker terdiri dari pellet konsentrat, pellet hay, dan pakan pellet komplit (kombinasi hay dengan konsentrat) (Ensminger et al. 1990).

Pakan dalam bentuk pellet merupakan salah satu bentuk awetan karena melalui pengawetan bahan pakan dalam bentuk yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan penyediaannya dalam hal mempertahankan kualitas pakan (Mathius et al. 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pellet antara lain pati, serat dan lemak (Balagopalan et al., 1988). Pati bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi yang berfungsi sebagai perekat sehingga mempengaruhi kekuatan pellet. Serat berfungsi sebagai kerangka pellet dan lemak berfungsi sebagai pelicin selama proses pembentukan pellet dalam mesin pellet sehingga mempermudah pembentukan pellet.
Kestabilan pellet juga dipengaruhi oleh kandungan kadar air bahan baku, ukuran partikel dan suhu sebelum pengolahan, selain itu untuk menghasilkan pellet yang berkualitas baik dengan biaya operasional yang rendah perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya ukuran ketebalan die (cetakan), diameter die, kecepatan putaran die dan ukuran pemberian ransum (Balagopalan et al., 1988).


Daftar Pustaka

Balagopalan, C., G. Padmaja, S. K. Nanda, & S. N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC Press, Florida.

Ensminger, M. E., J. E. Oldfield & W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition Complete). 2nd Edition. The Ensminger Publishing California.

Mathius, J. W., A. P. Sinurat, D. M. Sitompul, B. P. Manurung, & Azmi. 2006. Pengaruh bentuk dan lama penyimpanan terhadap kualitas dan nilai biologis pakan komplit. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner hal: 57-66.

McElhiney, R. R. 1994. Feed Manufacturing Technology IV. American Feed Industry Association, Inc. Arlington, Virginia.
Thomas, M. & A. F. B. V. D. Poel. 1996. Physical quality of pelleted animal feed 1. Criteria for pellet quality. Animal Feed Sci. Tech. 61: 89-112.


Mortalitas Pada Broiler

Mortalitas ialah angka kematian ayam yang terjadi dalam satu kelompok kandang. Angka mortalitas merupakan perbandingan antara jumlah seluruh ayam mati dan jumlah ayam total yang dipelihara (Bell dan Weaver, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas antara lain bobot badan, tipe ayam, iklim, kebersihan, suhu lingkungan, sanitasi peralatan, dan kandang serta pernyakit.

Penyakit salah satu penyebab tingginya angka kematian pada ayam pedaging
Menurut Wahyono (2009), faktor penyebaran penyakit pada unggas dapat terjadi secara vertikal dan horizontal yang memerlukan pengawasan yang ketat dan perlu perhatian yang lebih jika terjadi infeksi (penyakit). Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam pengobatan meliputi umur ayam, jenis dan dosis antibiotik yang digunakan untuk mengobati ayam.

Pemeliharaan ayam broiler dinyatakan berhasil jika angka kematian secara keseluruhan kurang dari 5%. Angka mortalitas dipengaruhi oleh umur. Ayam broiler umur 5-8 minggu memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan umur 2-4 minggu (Bell dan Weaver, 2002). Penggunaan antibiotik Zinc bacitracin dapat menurunkan tingkat kematian ayam broiler sebesar 2,5% (Mujiasih, 2001). Penambahan herbal dapat meningkatkan daya tahan broiler sehingga mengurangi kematian. Penambahan tepung kencur dan bawang putih tidak mengakibatkan kematian selama penelitian (Bintang dan Jarmani, 2006). Dewi (2007) melaporkan bahwa penambahan herbal medicine berupa tepung daun pepaya dan tepung kunyit dapat menurunkan tingkat kematian ayam broiler sebesar 5%.


Daftar Pustaka

Bell, D. D. and W. D. Weaver Jr. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th Ed. Springer Science Business Media, Inc., New York.
Bintang, I. A. K. dan S. N. Jarmani. 2006. Penggunaan kencur (Kaempferia galanga L.), bawang putih (Akkium sativum L.) dan kombinasinya dalam pakan broiler. Dalam: Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hal: 53-57.
Dewi, F. K. 2007. Pengaruh pemberian tepung kunyit dan tepung daun pepaya dalam ransum terhadap performa, persentase karkas dan lemak abdominal ayam broiler yang mengalami cekaman panas. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mujiasih. 2001. Performa ayam broiler yang diberi antibiotik Zinc bacitracin, probiotik Bacillus sp. dan berbagai level Saccharomyces cerevisiae dalam ransumnya. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wahyono, A. 2009. Optimalkan program kesehatan unggas, investasi aman peternak senang. http://www.vet-indo.com. [10 April 2009]


Konsumsi Ransum Ayam Pedaging dan Faktor yang Mempengaruhinya

Konsumsi ransum ialah jumlah ransum dan zat makanan lain yang dimakan dalam jumlah waktu tertentu dan digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup (Wahju, 2004). Menurut Tillman et al. (1991), konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok serta produksi ternak tersebut. National Research Council (1994) menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh bobot tubuh ayam, jenis kelamin, aktivitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum. Wahju (2004) menyatakan bahwa besar dan bangsa ayam, suhu lingkungan, tahap produksi dan energi dalam ransum dapat mempengaruhi konsumsi. Laju pertumbuhan yang cepat diimbangi oleh konsumsi makanan yang banyak (Amrullah, 2004). Kebutuhan nutrisi ayam broiler menurut National Research Council (1994) dapat dilihat pada Tabel.


Tabel. Kebutuhan Nutrisi Ayam Broiler
Nutrien
Periode
Starter
Starter
Finisher
Protein Kasar (%)
Energi Metabolis (kkal/kg)
Kalsium (%)
P Non Fitat (%)
Asam Linoleat (%)
Histidin (%)
Glisin dan Serin (%)
Treonin (%)
Arginin (%)
Metionin (%)
Metionin dan Sistin (%)
Valin (%)
Fenilalanin (%)
Isoleusin (%)
Leusin (%)
Lisin (%)

23,00
3.200
1,00
0,45
1,00
0,35
1,25
0,80
1,25
0,50
0,90
0,90
0,72
0,80
1,20
1,10
20,00
3.200
0,90
0,35
1,00
0,32
1,14
0,74
1,10
0,38
0,72
0,82
0,65
0,73
1,09
1,00




















Suhu lingkungan yang disertai dengan kelembaban tinggi dapat menurunkan konsumsi ransum dan mengganggu proses metabolisme sehingga berakibat defisiensi zat-zat makanan untuk pertumbuhan dan produksi (Syamsuhaidi, 1997). Tingkat energi dalam ransum menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi akan menurun jika ransum berenergi tinggi. Ransum dengan kandungan energi tinggi harus diimbangi dengan protein, vitamin dan mineral yang cukup agar ayam tidak mengalami defisiensi protein, vitamin dan mineral (Wahju, 2004).


Pemberian beberapa herbal terhadap broiler telah dilakukan, diantaranya oleh Rosalyn (2005) yang menyatakan bahwa pemberian temulawak sebesar 0,4% memberikan hasil optimum pada peningkatan konsumsi di periode starter. Pemberian ampas mengkudu yang meningkat menyebabkan penurunan konsumsi (Bintang et al., 2007). Penambahan serbuk kunyit, serbuk bawang putih, dan mineral zink tidak memperbaiki dan juga tidak menurunkan konsumsi ransum ayam penelitian (Purwanti, 2008).


Daftar Pustaka

Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan Ketiga. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.
Bintang, I. A. K. dan S. N. Jarmani. 2006. Penggunaan kencur (Kaempferia galanga L.), bawang putih (Akkium sativum L.) dan kombinasinya dalam pakan broiler. Dalam: Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hal: 53-57
National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Revised Ed. National Academy Press, Washington.
Purwanti, S. 2008. Kajian efektifitas pemberian kunyit, bawang putih dan mineral zink terhadap performa, kadar lemak, kolesterol, dan status kesehatan broiler. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rosalyn, E.M. 2005. Pengaruh pemberian kunyit (Curcuma domestica Val.) atau temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dalam ransum terhadap performa broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan duckweed (famili Lemnaceae) sebagai pakan serat sumber protein dalam ransum ayam pedaging. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo dan L. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.





Pengaruh Suhu Lingkungan Ayam Potong (Broiler)

Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes, famili Phasianidae, genus Gallus dan spesies Gallus domesticus yang dihasilkan dari bangsa ayam tipe berat Cornish. Ayam broiler merupakan ayam pedaging tipe berat yang lebih muda dan berukuran lebih kecil. Ayam broiler ini dapat tumbuh sangat cepat dan dapat dipanen pada umur empat minggu untuk menghasilkan daging dan menguntungkan secara ekonomis. Bangsa ayam yang dipilih adalah yang berbulu putih dan seleksi diteruskan sehingga menghasilkan ayam broiler seperti sekarang (Amrullah, 2004).

Karakteristik ayam broiler modern menurut Pond et al. (1995) adalah pertumbuhan yang cepat, banyak penimbunan lemak pada bagian dada dan otot-otot daging, serta aktivitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan jenis ayam petelur. Ayam broiler merupakan ayam-ayam muda jantan atau betina yang menghasilkan daging dan umumnya dipanen pada umur sekitar 5-6 minggu dengan bobot badan antara 1,2-1,9 kg/ekor (Kartasudjana, 2005). Menurut Rasyaf (2003), broiler dipasarkan pada umur 5-6 minggu dengan bobot hidup antara 1,3-1,6 kg per ekor.

Performa ayam broiler akan berbeda akibat perbedaan ketinggian atau suhu lingkungan sekitar kandang (Amrullah, 2004). Broiler mulai panting pada suhu lingkungan 29 oC dengan kelembapan 50% (Bell dan Weaver, 2002). Suhu lingkungan yang nyaman sesuai kebutuhan broiler untuk menghasilkan produksi optimum sesuai umur broiler ditampilkan pada Tabel.

Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Pertumbuhan Optimum pada Berbagai Umur Ayam Broiler
Umur (Minggu)  
Suhu Rekomendasi oC
1
2
3
≥ 4
30
30
27,2
23,9
Sumber : Bell dan Weaver (2002)

Suhu lingkungan yang tinggi dapat mengganggu proses homeostasis sehingga menyebabkan kesehatan ternak terganggu (Scott et al., 1982). Selain faktor suhu, keadaan suatu wilayah juga mempengaruhi performa dan angka mortalitas. Di wilayah endemik penyakit tertentu perlu diadakan program vaksinasi dan pengobatan jika diperlukan (Amrullah, 2004). Performa broiler (konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, tingkat kematian, bobot badan akhir) strain Ross menurut Ross Breeders (2007) ditunjukan pada Tabel.

 Tabel. Performa Broiler Strain Ross selama Lima Minggu Pemeliharaan  (Ross Breeders, 2007)

Peubah
Waktu (Minggu)
1
2
3
4
5
Total
Konsumsi ransum (g/ekor)
114
289
512
715
930
2.560
Pertambahan bobot badan (g/ekor)
132
256
394
511
585
1.878
Bobot badan (g/ekor)
173
429
823
1.334
1.919
1.919
Konversi ransum
0,87
1,13
1,30
1,40
1,59
1,36









   
Kebutuhan nutrisi dipengaruhi oleh genetik (Ensminger et al., 1992). Menurut Wahju (2004), ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu, ayam broiler membutuhkan protein yang seimbang. Ayam broiler yang dipelihara di daerah bersuhu tinggi lebih cocok diberikan ransum dengan kandungan energi rendah (Amrullah, 2004).


Daftar Pustaka

Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan Ketiga. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.
Bell, D. D. and W. D. Weaver Jr. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th Ed. Springer Science Business Media, Inc., New York.
Kartasudjana, R. 2005. Manajemen Ternak Unggas. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran Press, Bandung.
Pond, W.G., D. C. Church and K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th Ed. John Wiley and Sons, Inc., Canada.
Rasyaf. 2003. Manajemen Peternakan Ayam Broiler. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ross Breeders. 2007. Ross 708 broiler performance objectives. http://www.rossbreeders.com. [31 Agustus 2009].
Scott, M. L., M. C. Nesheim, and R. J. Young. 1982. Nutrition of Chicken. 3rd Ed. M. L. Scott Associates. Ithaca, New York.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


Back To Top