Informasi Dunia Peternakan, Perikanan, Kehutanan, dan Konservasi

Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707

Ayam broiler adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebutkan ayam hasil budidaya teknologi peternakan dengan menyilangkan sesama jenisnya. Karekteristik ekonomi dari ayam broiler adalah pertumbuhan cepat serta penghasil daging dengan konversi pakan efisien. Bobot badan ayam broiler ini tergolong tinggi.

Ayam broiler merupakan tipe ayam pedaging dan umumnya digunakan untuk konsumsi sehari-hari sebagai pemenuhi kebutuhan protein hewani. Berdasarkan aspek pemuliaannya terdapat tiga jenis ayam penghasil daging, yaitu ayam Kampung, ayam petelur afkir dan ayam broiler. Ayam broiler umumnya dipanen pada umur sekitar 4-5 minggu dengan bobot badan antara 1,2-1,9 kg/ekor yang bertujuan sebagai sumber pedaging (Kartasudjana, 2005) dan ayam tersebut masih muda dan dagingnya lunak (North dan Bell, 1990). Ayam broiler mempunyai beberapa keunggulan seperti daging relatif lebih besar, harga terjangkau, dapat dikonsumsi segala lapisan masyarakat, dan cukup tersedia di pasaran (Sasongko, 2006).Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707 disajikan pada Tabel.

Minggu
Bobot Badan
(g/e)
Pertambahan Bobot Badan (g/e)
Konsumsi Pakan
Per hari (g/e)
Konsumsi
Kumulatif
 (g/e)
FCR
1
175,00
19,10
-
150,00
0,857
2
486,00
44,40
69,90
512,00
1,052
3
932,00
63,70
11,08
1167,00
1,252
4
1467,00
76,40
15,08
2105,00
1,435
5
2049,00
83,10
17,90
3283,00
1,602
6
2643,00
83,60
19,47
4604,00
1,748
Sumber : PT. Charoen Pokphand (2006)




Daftar Pustaka

Kartasudjana, R. 2005. Manajemen Ternak Unggas. Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran Press, Bandung.
North, M. O, & D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. the Avi Publishing Company Inc. Wesport, Connecticut.
PT. Charoen Pokphand Indonesia. 2006. Manajemen broiler modern. Kiat-kiat memperbaiki FCR. Technical Service dan Development Departement, Jakarta

Sasongko, W.R. 2006. Mutu karkas ayam potong. Triyanti. Prosiding Seminar Nasoinal Peternakan dan veteriner, Bogor.

Perawatan dan Pencukuran Domba

Perawatan merupakan salah satu bagian dari manajemen pemeliharaan ternak yang perlu diperhatikan pada suatu peternakan. Perawatan dilakukan agar ternak tetap merasa nyaman sehingga dapat berproduksi dengan baik. Selain itu, perawatan dilakukan untuk mengurangi penyakit akibat dari ektoparasit dan endoparasit. Perawatan penting yang harus dan banyak dilakukan secara rutin pada manajemen pemeliharaan ternak domba adalah memandikan, mencukur dan memotong kuku domba. Memandikan ternak sebaiknya dilakukan minimal seminggu sekali pada pagi hari. Saat dimandikan sebaiknya ternak disikat dan diberi sabun agar lebih bersih, setelah itu domba dijemur di bawah sinar matahari agar bulu cepat kering dan ternak tidak kedinginan (IPTEK, 2005). Pencukuran bulu domba dengan gunting biasa/cukur ini dilakukan minimal 6 bulan sekali dan disisakan guntingan bulu setebal kira-kira 0,5 cm. Sebelumnya domba dimandikan sehingga bulu yang dihasilkan dapat dijadikan bahan tekstil. Keempat kaki domba diikat agar tidak lari pada saat dicukur. Pencukuran dimulai dari bagian perut kedepan dan searah dengan punggung domba. Pemotongan kuku domba dipotong 4 bulan sekali dengan pahat kayu, pisau rantan, pisau kuku atau gunting (IPTEK, 2005). 

Bulu domba memiliki kemampuan insulasi yang tinggi, sehingga domba dapat menerima lingkungan panas dan dingin. Rambut atau bulu hewan yang merupakan insulator sedikit menghambat pendinginan kulit. Menurut Williamson dan Payne (1993), bulu domba hendaknya dicukur setahun sekali dan paling baik dilakukan pada saat domba mengalami stres paling sedikit. Warna dan ketebalan bulu merupakan mekanisme yang terjadi dalam adaptasi terhadap keadaan iklim. Bulu yang halus dan pendek akan menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang panas. Bulu pendek, warna terang dan tekstur yang halus akan meminimalkan penyerapan panas oleh tubuh ternak. Menurut Hafez (1969) mencukur bulu domba dapat menurunkan insulasi bulu dan meningkatkan pelepasan panas oleh angin dan meningkatkan kualitas semen pejantan pada musim panas.

Konveksi bebas adalah kejadian dimana temperatur udara meningkat yang mengakibatkan kepadatannya menurun dan udara bergerak ke atas meninggalkan tubuh ternak. Dihambatnya pergerakan udara oleh bulu dapat menurunkan laju transfer panas secara konvektif. Hewan yang telah beradaptasi dengan lingkungan panas memiliki ketebalan penutup tubuh (bulu) yang dangkal. Adanya angin atau pergerakan hewan dapat meningkatkan pelepasan panas secara konvektif, hal demikian disebut forced convection. Pencukuran bulu biasa dilakukan oleh peternak rakyat untuk menjaga kebersihan dan kesehatan ternak. Peternak di Jawa Barat biasa melakukan pencukuran setiap 4-5 bulan sekali. 

Menurut Tomazweska et al. (1993) pencukuran bulu domba yang dipelihara dalam kandang tertutup tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, konsumsi air atau pakan, suhu rektal, kecepatan pernafasan atau denyut nadi. Selanjutnya Tomazweska et al., (1993), menyatakan bahwa pencukuran akan menambah kenyamanan ternak dan penurunan infasi ektoparasit kalau ternak tersebut di kandangkan. Domba yang tidak pernah dicukur bulunya akan menjadi sangat kotor dan akan sulit untuk dibersihkan, kondisi bulu yang seperti ini merupakan tempat yang baik untuk bersarangnya penyakit, parasit dan jamur yang dapat membahayakan kesehatan ternak. Tujuan dilakukan pencukuran yaitu untuk menjaga kesehatan dari kuman penyakit, parasit-parasit luar (ektoparasit) seperti kutu serta penyakit kulit lainnya yang disebabkan oleh jamur. Selain untuk pencegahan penyakit, pencukuran juga dilakukan untuk memperindah domba terutama pejantan. Pencukuran yang pertama dilakukan pada waktu domba telah berumur lebih dari 6 bulan agar domba tidak stres.
Daftar Pustaka

Hafez, E. S. E. 1969. Prenatal Growth. In Animal Growth and Nutrition, Hafez, E. S. E. dan Dyer (Eds). Leo and Feiger-Philadelphia.
IPTEK, 2001. Teknologi Tepat Guna : Budidaya Ternak Domba. IPTEKnet, Jakarta. ( http://www.ristek .go.id ) [10 Juni 2011].
Tomazweska, M. W., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner & T. R. Wiradarya.1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
Williamson, M. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Komposisi Fisik Karkas Domba

Karkas dan potongan karkas dapat diuraikan secara fisik menjadi komponen jaringan daging tanpa lemak (lean), lemak, dan tulang (Davendra dan Bade, 1992). Komposisi karkas bervariasi pada karkas-karkas yang beratnya berbeda. Perubahan komposisi karkas sebanding dengan bertambahnya bobot karkas itu sendiri. Bobot karkas yang semakin tinggi diikuti dengan pertambahan persentase lemak dan menurunnya persentase daging dan tulang. Tulang sebagai kerangka tubuh merupakan komponen yang tumbuh dan berkembang paling dini kemudian disusul oleh daging atau otot dan yang paling akhir jaringan lemak (Soeparno, 1991).


Daging
Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1994). Komposisi daging diperkirakan terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5% substansi non protein yang larut dan 2,5% lemak (Lawrie, 1995).  Daging domba memiliki serat yang lebih halus dibandingkan dengan daging lainnya, jaringannya sangat padat, berwarna merah muda, konsistensinya cukup tinggi, lemaknya terdapat di bawah kulit yaitu antara otot dan kulit, dagingnya sedikit berbau amonial (prengus). Daging domba mengandung protein 17,1% dan lemak 14,8%.

Tulang
Tulang adalah jaringan pembentukan kerangka tubuh, yang mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan ternak. Menurut Pulungan dan Rangkuti (1981) bahwa pertumbuhan relatif tulang lebih kecil dibandingkan dengan bobot karkas dengan perkembangan yang lebih kecil atau dengan kata lain persentase tulang berkurang dengan meningkatnya karkas. Tulang akan bertambah selama hidup ternak dan pada ternak tua terjadi pembentukan tulang yang berasal dari tulang rawan yang mempertautkan tulang dengan tendon atau ligamentum.

Lemak

Lemak merupakan salah satu sumber energi yang memberikan kalori paling tinggi. Lemak mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda, pertumbuhan lemak sangat lambat, tetapi pada saat fase penggemukan, pertumbuhannya meningkat dan cepat (Berg dan Butterfield, 1976). Menurut Forrest et. al.(1975) perlemakan mula-mula terjadi di sekitar organ-organ internal, ginjal dan alat pencernaan kemudian lemak disimpan pada jaringan ikat sekitar urat daging di bawah kulit, sebelum urat daging dan antara urat daging. Jaringan lemak yang terdapat diantara urat daging tidak hanya memperlunak daging, tetapi juga memperlezat rasa. Permatasari (1992) menyatakan bahwa timbunan lemak daging domba putih lebih padat daripada timbunan lemak daging kambing. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perlemakan pada karkas yaitu komposisi pakan yang diberikan, faktor genetik ternak atau keterkaitan antara kedua faktor tersebut (Leat, 1976)

Penggemukkan Domba

Penggemukkan merupakan cara pemberian pakan yang umum dilakukan pada domba dengan tujuan untuk meningkatkan flavor, keempukkan, dan kualitas daging sesuai permintaan konsumen. Penggemukan umumnya dilakukan lewat pemberian pakan kaya energi, yaitu karbohidrat dan lemak. Tujuan penggemukan adalah untuk memperbaiki kualitas karkas atau daging (Ensminger, 2002).

Anggorodi (1990) menyatakan bahwa tujuan usaha penggemukkan antara lain untuk memperoleh pertambahan bobot badan yang relatif lebih tinggi dengan memperhitungkan nilai konversi pakan dalam pembentukan jaringan tubuh termasuk otot daging dan lemak, serta menghasilkan karkas dan daging yang berkualitas tinggi. Menurut Sudarmono dan Sugeng (2007) tujuan penggemukkan adalah untuk menghasilkan jumlah dan kualitas daging yang baik sebagaimana dikehendaki konsumen.


Pertumbuhan Domba Lokal

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, demensi linier, dan komposisi tubuh, termasuk perubahan komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, protein dan abu pada karkas (Soeparno, 1994). Menurut Anggorodi (1990) pertumbuhan mencakup pertumbuhan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan-jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) dan alat-alat tubuh.

Pertambahan bobot karkas segera setelah lahir mengandung proporsi daging yang tinggi, relatif banyak mengandung tulang, dan kadar lemak rendah. Menjelang bobot badan dewasa, proporsi urat daging dalam pertambahan bobot badan menurun sedikit, komponen tulang dari pertambahan bobot badan hampir tidak bertambah dan proporsi lemak dalam pertambahan bobot badan tinggi dan terus meningkat. Pertumbuhan lemak pada awalnya lamban, segera diikuti oleh pertumbuhannya yang cepat, bahkan lebih cepat daripada keadaan kedua jaringan tadi. Fase ini disebut fase finish (Parakkasi, 1999).

Menurut Cole (1974), kurva pertumbuhan ternak dibagi menjadi tiga bagian yaitu fase dipercepat, titik infleksi dan fase diperlambat. Selama fase dipercepat (akselerasi) ukuran tubuh bertambah, setelah terjadi penurunan kecepatan pertumbuhan (seperti yang ditunjukkan pada kurva sigmoidal) kenaikan berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi lemak yang terjadi pada kira-kira sepertiga dari berat akhir. Laju pertumbuhan domba bervariasi antara 20 sampai 200 gr per hari (Gatenby, 1991). Menurut Soeparno (1998), faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat, dan komposisi kimia komponen karkas.

Domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% setelah enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan sesuai kebutuhannya (Herman, 2003). Domba jantan muda memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat daripada betina muda, pertambahan bobot badan lebih cepat, konsumsi pakan lebih banyak dan penggunaan pakan yang lebih efisien untuk pertumbuhan badan (Anggorodi, 1990). Sekresi testosteron pada jantan menyebabkan sekresi androgen tinggi sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang lebih cepat, terutama setelah munculnya sifat-sifat kelamin sekunder pada ternak jantan (Soeparno, 1994). Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik atau faktor keturunan, faktor lingkungan seperti iklim, hormon, kastrasi dan jenis kelamin.




Domba Lokal Indonesia

Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan memiliki sifat seasonal polyestroes sehingga dapat beranak sepanjang tahun. Karakteristik domba lokal diantaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, berbulu kasar, tidak seragam dan hasil daging relatif sedikit dengan rata-rata bobot potong 20 kg (Edey, 1983).

Pendapat lain menyatakan bahwa bobot dewasa mencapai 30-40 kg pada jantan dan betina 20-25 kg dengan persentase karkas 44-49% (Tiesnamurti, 1992). Sifat lain dari domba lokal tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam sekitar mata, hidung dan bagian lainnya (Edey, 1983; Mulyaningsih, 2006; Davendra dan McLeroy, 1992). Selain memiliki bentuk tubuh yang ramping, pola warna bulu sangat beragam dari bercak putih, coklat, hitam atau warna polos putih dan hitam (Tiesnamurti, 1992).

Ekor pada domba lokal umumnya pendek (Davendra dan McLeroy, 1992), bentuk tipis dan tidak menimbulkan adanya timbunan lemak (Mulyaningsih, 2006). Ukuran panjang ekor rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebal 2,7 cm (Tiesnamurti, 1992). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil sedangkan betina biasanya tidak bertanduk (Edey, 1983; Davendra dan McLeroy, 1992).

Pesona Legiun Domba Garut, kebanggan indonesia
Jenis domba lokal yang ada di Indonesia menurut Iniguez et al., (1991) terdapat tiga jenis, yaitu Jawa ekor tipis, Jawa ekor gemuk dan Sumatra ekor tipis. Berdasarkan Inounu dan Diwyanto (1996) terdapat dua tipe domba yang paling menonjol di Indonesia, yaitu domba ekor tipis (DET) dan domba ekor gemuk (DEG) dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe. Sedangkan menurut Salamena (2003), domba terkelompok menjadi domba ekor tipis (Javanese thin tailed), domba ekor gemuk (Javanese fat tailed) dan domba priangan atau dikenal juga sebagai domba Garut. Asal-usul domba ini tidak diketahui secara pasti, namun diduga DET berasal dari India dan DEG berasal dari Asia Barat (Willianson dan Payne, 1993).

Daftar Pustaka

Davendra, C. & G. B. McLeroy. 1992. Sheep Breeds. Dalam : C. Davendra dan G. B. McLeroy (Editor). Goat and Sheep Production in the Tropic. ELBS Longman Group Ltd. London.
Edey, T. N. 1983. Tropical Sheep and Goat Production. Australian Universities International Development Program (AUIDP). Camberra.
Iniguez, L.. M. Sanhez & S. P. Ginting. 1991. Productivity of Sumatran Sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Ruminan. Res. 5 : 303-307.
Inounu, I. & K. Dwiyanto. 1996. Pengembangan ternak domba di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XV : 61-68.
Salamena, J. F. 2003. Strategi pemuliaan ternak domba pedaging di Indonesia. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tiesnamurti, B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Potensi ruminansia kecil Indonesia bagian timur. Prosiding Lokakarya Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. BPT, Bogor.
Tiesnamurti, B. 1992. Alternatif pemilihan jenis ternak ruminansia kecil untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Potensi ruminansia kecil Indonesia bagian timur. Prosiding Lokakarya Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. BPT, Bogor.
Williamson G. & W. J. A. Payne. 1993. Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. 5 th Ed. Longmans Green and Company, Ltd. London.


Domestikasi Domba

Domba sejak zaman dulu sudah mulai diternakkan orang. Ternak domba yang ada saat ini merupakan hasil seleksi berpuluh-puluh tahun, dan pusat domestikasinya diperkirakan berada dekat dengan laut kaspia yang tepatnya berada di daerah Stepa Aralo-Caspian sejak massa neolitik. Peternakan domba ini kemudian berkembang ke arah timur yaitu sub-kontinen India dan Asia tenggara, ke Barat yaitu ke arah Asia Barat, Eropa dan Afrika, kemudian ke Amerika, Australia dan Kepulauan tropik Oceania (Tomaszewska et al., 1993).

Domba Liar Moufflon 
Domba yang dikenal di seluruh dunia sekarang ini berasal dari keturunan domba liar, yaitu Moufflon atau Ovis Musimon; Argali atau Ovis Ammon; Urial atau Ovis Vignei dan Ovis Arkel. Domba-domba tersebut didomestikasi, tetapi menurut Tomaszewska et al., (1993) yang didomestikasi terlebih dahulu adalah kambing kemudian baru domba. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu, diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak (Kammlade dan Kammlade, 1955).

Domba diklasifikasikan menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut :
Kingdom    : Animalia
Phylum      : Chordata
Class         : Mamalia
Ordo         : Artiodactyla
Family       : Bovidae
Genus        : Ovis
Species      : Ovis aries

Domba yang ada di Indonesia untuk saat ini diperkirakan asal-usulnya adalah berasal dari pedagang-pedagang yang melakukan aktivitas membeli rempah-rempah di Indonesia pada zaman dahulu. Pedagang tersebut pada umumnya berasal dari Asia Baratdaya, dan domba yang ada tersebut pada umumnya termasuk bangsa Ekor Gemuk.



Daftar Pustaka

Blakely, J. & D. H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kammlade, W. G., Sr. & W. G., Yr. Kammlade. 1955. Sheep Science. Lippicot Co. New York.

Tomaszewska, M. W., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner & T. R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Karkas dan Daging Itik

Karkas merupakan bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah, kepala, kaki dan organ dalam. Produksi karkas dapat dilihat dari bobot tubuh, semakin tinggi bobot tubuh maka produksi karkas semakin meningkat. Nilai seekor ternak ditentukan oleh persentase karkas, banyaknya proporsi bagian karkas yang bernilai tinggi dan rasio antara daging dan tulang serta kadar lemak. Soeparno (1998) mengatakan bahwa kualitas karkas dan daging sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti genetik, jenis kelamin, umur dan pakan. Selain itu juga dalam proses penanganan pascapanen seperti proses pelayuan, proses pemasakan, pH karkas dan daging, lemak dan proses penyimpanan juga turut mempengaruhi. Sementara bagi kualitas daging seperti warna daging, keempukan, tekstur, aroma dan cita rasa turut juga berpengaruh terhadap daging yang dihasilkan.



Perbandingan persentase karkas, otot dada, paha dan lemak dari itik Peking, Muscovy, dan persilangannya pada umur 12 minggu (Tabel).

Tabel. Perbandingan kualitas karkas itik Peking, Muscovy dan persilangannya (jantan umur 12 minggu)
Parameter
Peking (P)
Persilangan (P x M)
Muscovy (M)
Bobot hidup (Kg)
Karkas(%)
Otot dada(%)
Otot paha (%)
Lemak abdominal(%)
Lemak subcutan (%)
2776.0
60.6
10.8
15.4
2.3
6.1
3102.0
61.8
14.1
15.9
1.2
3.9
3753.0
62.6
13.7
17.0
2.9
4.3







Sumber : Leclercq dan de Carville (1985)

Matitaputty (2002), melaporkan bahwa persentase karkas mandalung yang dipelihara selama 10 minggu adalah sebesar 55.14% dengan bobot karkas 1101.2g dan bobot potong 1991.17g. Selanjutnya persentase daging dan tulang bagian dada masing-masing sebesar 79.77% daging : 20.23% tulang; paha atas sebesar 87.16% daging : 12.84% tulang dan paha bawah sebesar 78.09g daging : 21.91g tulang. Muryanto (2002) melaporkan bahwa persilangan ayam kampung dengan ayam ras petelur dengan umur pemotongan 12 minggu, menghasilkan bobot karkas dan persentase karkas masing-masing sebesar 757.3g dan 58.8%. Hasil yang diperoleh masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mandalung yang memiliki bobot potong dan karkas yang tinggi dan umur pemotongan yang relatif pendek yakni 10 minggu.

Retailleau (1999) dalam penelitiannya melihat produksi karkas itik jantan Alabio umur 10 minggu dan itik Peking jantan dan betina umur 8 minggu, menunjukkan bahwa produksi karkas itik jantan Alabio 60.69%, sedangkan itik Peking jantan 66.55% dan betina 67.26%. Hasil ini memperlihatkan produksi karkas itik lokal lebih rendah dari itik Peking, karena pada itik Pekin sudah dilakukan pemuliaan khusus untuk produksi daging.

Daging itik mempunyai konsumen yang masih rendah, karena kesukaan konsumen terhadap daging itik tidak seperti kesukaan terhadap daging ayam. Daging itik merupakan salah satu sumber protein hewani, karena memiliki kandungan protein dengan kualitas yang baik. Hal ini didukung oleh Jun et al. (1996), yang menyatakan bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18.6 – 19% dan kandungan lemak berkisar antara 2.7–6.8%. Damayanti (2003) melaporkan bahwa kandungan lemak daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3.84% dan 8.47%, sedangkan kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59.32% dan 52.67%.

Hustiany (2001) dalam penelitiannya pada itik Jawa afkir (12 bulan) mendapatkan kandungan lemak daging dada itik betina dengan dan tanpa kulit masing-masing 9.46% dan 1.53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya dengan dan tanpa kulit masing-masing 12.21% dan 4.16%. Chartrin et al. 2006, melaporkan bahwa kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar 4.81%.

Menurut Srigandono (1997), komposisi nutrisi daging itik tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan daging ayam. Kandungan protein daging itik sebesar 20.8% dan daging ayam sebesar 21.4%. Kandungan lemaknya adalah dua kali lebih tinggi dari daging ayam (8.2% vs 4.8%), tetapi kandungan tersebut masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan kandungan lemak ternak ruminansia seperti sapi (17%), domba (22.4%) dan babi (32%).

Komposisi kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada umur, pakan, dan jenis kelamin. Kandungan abu, protein dan lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih rendah (P<0 .01="" 7="" 8="" 9="" dan="" daripada="" i="" minggu="" risir="" umur="">et al
. 2009). Demikian pula pada itik pekin A44, kandungan protein dan lemak pada umur 7 dan 8 minggu lebih rendah daripada umur 9 minggu (Witak 2007). Kandungan lemak pada daging unggas sangat bervariasi jumlahnya dan ditentukan oleh umur, jenis kelamin dan spesies unggas. Menurut Rukmiasih et al. (2010) semakin bertambahnya umur unggas, maka kadar lemak akan semakin tinggi. Perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit. Hal ini dapat kita lihat pada unggas air seperti itik memiliki kulit yang tebal yang disebabkan karena penyebaran lemak di bawah kulit (lemak subkutan).

Menurut Smith et al. (1993) daging itik sebagian besar mengandung serabut merah dan sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut merah sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16%. Perbedaan macam serabut otot penyusun daging tersebut, akan berpengaruh pada komposisi daging, sifat biokimiawi dan karakteristik sensori serta nilai ekonomis. Daging yang sebagian besar terdiri atas serabut merah mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging yang tersusun serabut putih (Soeparno 1998).

Berdasarkan pengamatan histologi pada serabut otot itik dan entog, yang dilakukan Sudjatinah (1998), diketahui bahwa ukuran serabut otot dipengaruhi oleh jenis unggas. Pada umur yang sama, ukuran serabut otot itik lebih besar dibandingkan dengan entog. Namun menurut Anggraeni (1999) diameter serabut otot tidak hanya dipengaruhi oleh jenis unggas tetapi juga dipengaruhi oleh umur ternak. Semakin tua itik dan entog, diameter serabut ototnya semakin besar. Otot yang berdiameter kecil akan menghasilkan daging dengan penampilan yang halus dan empuk, sebaliknya otot yang semakin besar akan menghasilkan daging yang berpenampilan kasar dan liat.

Penelitian yang berhubungan dengan pasca panen daging itik sudah banyak dilakukan. Abubakar (2007) melaporkan bahwa penyimpanan karkas itik selama lima jam pada suhu kamar dan suhu rendah (15º – 18ºC) tidak mempengaruhi keempukan daging itik. Daya ikat airnya terjadi peningkatan dalam tiga jam penyimpanan, tetapi pH nya semakin turun sejak jam pertama hingga jam keempat penyimpanan. Penelitian lain tentang pengaruh Curring dan pengasapan terhadap mutu dan cita rasa daging itik tua, hasilnya menunjukkan bahwa aroma tidak berbeda nyata sedangkan warna, keempukan dan rasa berbeda nyata. Daging itik curring paling disukai konsumen dengan kadar garam 3.86% dan kadar air 60.15%.

Febriana (2006) melaporkan bahwa sifat organoleptik daging dan sosis dari itik yang mendapat tepung daun beluntas (Pluchea indica L) dalam pakan sebanyak 1% dan 2%, dapat menurunkan intensitas bau daging itik dan meningkatkan kesukaan panelis terhadap sosis daging itik karena rasa dan tekstur sosis yang lembut. Nasution (2003) melaporkan bahwa penggunaan jeruk nipis dengan konsentrasi 1% memberikan mutu bakso itik yang lebih baik, akan tetapi dari segi penampilan warnanya kurang disukai konsumen. Sementara penelitian yang dilakukan Triyantini (1998) pada pembuatan dendeng itik menyatakan bahwa, dengan penambahan bumbu kunyit, jahe, sereh dan lengkuas, ternyata masih kurang disukai oleh konsumen.

Daftar Pustaka


Abubakar. 2007. Inovasi teknologi pengolahan hasil ternak itik. Di dalam : Seminar nasional Inovasi dan Alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Prosiding Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian; Medan, 5 Juni 2007. Medan. Buku 2 hal : 689-698.
Anggraeni. 1999. Pertumbuhan alometri dan tinjauan morfologi serabut otot dada (M.perctoralis dan m. Supracoracoideus) pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Damayanti AP. 2003. Kinerja biologis komparatif antara itik, entog dan mandalung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Erisir Z, Poyraz O, Onbasilar EE, Erdem E, Oksuztepe GA. 2009. Effects of housing system, swimming pool and slaughter age on duck performance, carcass and meat characteristics. J Anim Vet Adv. 8: 1864-1869.
Hustiany R, Apriyantono A, Hermanianto J, Hardjosworo PS. 2001. Identifikasi komponen volatil daging itik lokal Jawa. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 192-201.
Jun K, Rock OH, Man jin O. 1996. Chemical Composition of Special. Chungnam Taehakkyo. J Poult Meat 23 (1) : 90 – 98.
Leclercq B, Carville de H. 1985. Growth and body composition of Muscovy duck. Di dalam : Ferrell, DJ and Stapleton P. Ed. Duck Production Science and World Practise. University of New England : pp 102 -109.
Matitaputty PR. 2002. Upaya memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung melalui fortifikasi pakan dengan imbuhan pakan avilamisina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Muryanto. 2002. Pertumbuhan alometri dan tinjauan histology otot dada pada ayam kampung dan hasil persilangannya dengan ayam ras petelur betina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Retailleau B. 1999. Comparison of the growth and body composition of 3 types of ducks: Pekin, Muscovy and Mule. Proceedings of 1st Worlds Waterfowl Conference. Taiwan-China. pp 597-602.
Rukmiasih, Hardjosworo PS, Piliang WG, Hermanianto J, Apriyantono A. 2010. Penampilan, kualitas kimia dan off-odor daging itik (Anas plathyrynchos) yang diberi pakan mengandung beluntas (Pluchea indica L.Less). J Med Pet 33 (2): 68-79.
Smith DP, Fletcher DL, Burhr RJ, Beyer RS. 1993. Peking duckling and broiler chicken pectoralis muscule strukture and composition. J Poult Sci 72 : 202-208.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Srigandono B. 1997. Beternak Itik Pedaging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudjatinah. 1998. Pengaruh lama pelayuan terhadap sifat-sifat fisik dan penampilan histologi jaringan otot dada dan paha pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Witak B. 2007. Tissue composition of carcass, meat quality and fatty acid content of ducks of a commercial breeding line at different age. Arch. Tierz., Dummerstorf 51 : 266-275.


Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum Itik

Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk produksi. Rukmiasih (2011) dalam penelitiannya melihat pengaruh pemberian beluntas dalam pakan terhadap konsumsi pakan/ekor/ minggu pada itik jantan umur 4-10 minggu menunjukkan bahwa konsumsi pakan itik jantan yang mendapat tepung daun beluntas 1% dan 2% dalam pakan tidak berbeda dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian tepung daun beluntas dalam pakan tidak menurunkan palatabilitas pakan.

Konversi ransum berguna untuk mengukur produktivitas ternak, sebab konversi ransum merupakan perbandingan antara ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Nilai konversi ransum menunjukkan kemampuan seekor ternak untuk mengubah pakan menjadi produk yang dihasilkan. Semakin kecil nilai konversi ransum berarti semakin efisien ternak tersebut dalam memanfaatkan ransum yang diperoleh untuk menaikan bobot badan per satuan berat. Jika nilai konversi ransum tinggi menunjukkan bahwa semakin banyak ransum yang dibutuhkan berarti kurang efisien ternak tersebut dalam memanfaatkan ransum untuk menaikan bobot badan per satuan berat.

Beberapa penelitian tentang konversi ransum pada itik Alabio dan Cihateup sangat beragam. Wulandari et al. (2005) dalam penelitiannya melaporkan bahwa konversi ransum itik Cihateup jantan cenderung lebih rendah daripada itik betina, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa itik jantan lebih efisien dalam memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan dibanding dengan itik betina. Pada itik Alabio konversi ransum selama 10 minggu pemeliharaan sebesar 8.8 lebih rendah dibandingkan dengan itik Cihateup yakni 8.92 akan tetapi setelah ditambahkan lemak sapi, konversi ransumnya turun menjadi 7.75 untuk itik Alabio dan 7.90 untuk itik Cihateup (Randa 2007).



Daftar Pustaka

Randa SY. 2007. Bau daging dan performa itik akibat pengaruh perbedaan galur dan jenis lemak serta kombinasi komposisi antioksidan (Vitamin A, C dan E) dalam pakan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rukmiasih. 2011. Penurunan bau amis (off-odor) daging itik lokal dengan pemberian tepung daun beluntas (pluchea indica l.) dalam pakan dan dampaknya terhadap performa [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


Wulandari WA, Hardjosworo PS, Gunawan. 2005. Kajian Karakteristik Biologis Itik Cihateup dari Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian. Bogor 12 -13 September. hal : 795 -803.

Pertumbuhan dan Bobot Badan Itik

Pada kondisi ideal bentuk kurva pertumbuhan untuk semua spesies ternak adalah serupa yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoidal (Soeparno 1998). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa pertumbuhan mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian mengalami akselerasi yaitu pertumbuhan yang cepat setelah itu mengalami deselerasi yaitu pertumbuhan yang berangsur-angsur menurun. Pengukuran pertumbuhan dapat mengacu pada pertambahan bobot badan. Bobot badan merupakan salah satu sifat yang memiliki nilai ekonomis dan bersifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen (Stansfield 1983).

Hasil penelitian Harahap (1993) dengan menggunakan pakan ayam broiler (R1) dan pakan ayam broiler + dedak (R2) yang diberikan ke entok, itik lokal, mandalung 1 (itik jantan x entok betina) dan mandalung 2 (entok jantan x itik betina) menunjukkan bahwa mandalung 1, mandalung 2 dan itik mengalami pertambahan bobot badan tertinggi pada minggu keempat, sedangkan entok pada minggu kelima. Penelitian pada mandalung juga, yang diberi imbuhan pakan avilamisina menghasilkan pertambahan bobot badan tertinggi pada minggu keempat (330.83g), dengan peningkatan bobot hidup 22.8 kali dari bobot awalnya (36.42g) lebih baik dari yang tidak diberi imbuhan pakan (Matitaputty 2002).

Peningkatan bobot badan sangat penting dan berkaitan erat dengan produksi daging. Itik MA jantan hasil persilangan Mojosari jantan x Alabio betina yang dihasilkan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, mampu mencapai bobot badan 1.3 kg pada umur 8 minggu (Prasetyo et al. 2005). Pada mandalung umur 10 minggu yang diberi imbuhan pakan avilamisina dalam ransum menghasilkan bobot hidup sebesar 2.209 kg, sementara yang tidak diberi imbuhan pakan hanya mencapai 2.061 kg (Matitaputty 2002).


Daftar Pustaka

Harahap D. 1993. Potensi itik mandalung sebagai peghasil daging ditinjau dari berat karkas dan penilaian organoleptik dagingnya dibandingkan dengan tetuanya [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Matitaputty PR. 2002. Upaya memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung melalui fortifikasi pakan dengan imbuhan pakan avilamisina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Prasetyo LH, Ketaren PP, Hardjosworo PS. 2005. Perkembangan teknologi budidaya itik di Indonesia. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menengah unggas air. Prosiding Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor, 16-17 Nopember 2005. Ciawi, Bogor. hal : 145-161.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Stansfield WE. 1983. Theory and Problems of Genetics. 2nd Ed. Mc Graw Hill Book Company Inc, New York.


Semen Beku Sapi

Nebel (2007), menyebutkan semen beku atau frozen semen adalah semen yang disimpan pada suhu di bawah titik beku suhu (-79 °C sampai -196 °C). Salah satu kerusakan pada spermatozoa selama proses kriopreservasi sampai pencairan kembali adalah peroksidasi lipid (Waluyo, 2006). Pembekuan semen (kriopreservasi) merupakan usaha untuk menjamin daya tahan spermatozoa dalam waktu yang lama melalui proses pengolahan, pengawetan dan penyimpanan semen sehingga dapat digunakan pada suatu waktu sesuai dengan kebutuhan.

Pembekuan adalah suatu fenomena pengeringan fisik, pada pembekuan semen terbentuk kristal-kristal es, terjadi penumpukan elektrolit dan bahan terlarut lainnya di dalam larutan atau di dalam sel. Pada umumnya masalah pengawetan semen berkisar pada dua hal, yaitu pengaruh cold shock terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es. Kedua masalah tersebut akan menyebabkan kerusakan pada spermatozoa.


Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama proses pembekuan terjadi pada saat sel yang tersuspensi didinginkan hingga mencapai suhu -15 °C, kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel itu sendiri tidak ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang ekstraseluler.

Komposisi dasar sebagai krioprotektan untuk air mani beku adalah: a) substansi non-ionik dan ion mempertahankan osmolaritas dan menyediakan kapasitas buffer, b) sumber lipoprotein untuk mencegah kejutan dingin, seperti kuning telur, susu atau kedelai (lesitin), c) glukosa atau fruktosa aditif sebagai sumber energi (Gordon, 2004).

Daftar Pustaka

Gao, D. & J. K. Crister. 2000. Mechanisms of cryoinjury in living cell. J. ILAR. Vol 41:4.
Gordon, I. 2004. Artificial Insemination. In: Reproductive Technologies in Farm Animals. CABI publishing, Wallingford.
Waluyo, T. S. 2006. Pengaruh penggunaan prolin dalam pengencer susu skim pada sperma beku terhadap kualitas sperma domba priangan. Anim. Prod. 8: 22- 27.

Back To Top