Karkas
merupakan bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah, kepala, kaki dan
organ dalam. Produksi karkas dapat dilihat dari bobot tubuh, semakin tinggi
bobot tubuh maka produksi karkas semakin meningkat. Nilai seekor ternak
ditentukan oleh persentase karkas, banyaknya proporsi bagian karkas yang
bernilai tinggi dan rasio antara daging dan tulang serta kadar lemak. Soeparno
(1998) mengatakan bahwa kualitas karkas dan daging sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti genetik, jenis kelamin, umur dan pakan. Selain itu
juga dalam proses penanganan pascapanen seperti proses pelayuan, proses
pemasakan, pH karkas dan daging, lemak dan proses penyimpanan juga turut
mempengaruhi. Sementara bagi kualitas daging seperti warna daging, keempukan,
tekstur, aroma dan cita rasa turut juga berpengaruh terhadap daging yang
dihasilkan.
Perbandingan
persentase karkas, otot dada, paha dan lemak dari itik Peking, Muscovy,
dan persilangannya pada umur 12 minggu (Tabel).
Tabel.
Perbandingan kualitas karkas itik Peking, Muscovy dan persilangannya
(jantan umur 12 minggu)
Parameter
|
Peking (P)
|
Persilangan (P x M)
|
Muscovy (M)
|
Bobot hidup (Kg)
Karkas(%)
Otot dada(%)
Otot paha (%)
Lemak abdominal(%)
Lemak subcutan (%)
|
2776.0
60.6
10.8
15.4
2.3
6.1
|
3102.0
61.8
14.1
15.9
1.2
3.9
|
3753.0
62.6
13.7
17.0
2.9
4.3
|
Sumber
: Leclercq dan de Carville (1985)
Matitaputty
(2002), melaporkan bahwa persentase karkas mandalung yang dipelihara selama 10
minggu adalah sebesar 55.14% dengan bobot karkas 1101.2g dan bobot potong
1991.17g. Selanjutnya persentase daging dan tulang bagian dada masing-masing
sebesar 79.77% daging : 20.23% tulang; paha atas sebesar 87.16% daging : 12.84%
tulang dan paha bawah sebesar 78.09g daging : 21.91g tulang. Muryanto (2002)
melaporkan bahwa persilangan ayam kampung dengan ayam ras petelur dengan umur
pemotongan 12 minggu, menghasilkan bobot karkas dan persentase karkas
masing-masing sebesar 757.3g dan 58.8%. Hasil yang diperoleh masih lebih rendah
bila dibandingkan dengan mandalung yang memiliki bobot potong dan karkas yang
tinggi dan umur pemotongan yang relatif pendek yakni 10 minggu.
Retailleau
(1999) dalam penelitiannya melihat produksi karkas itik jantan Alabio umur 10
minggu dan itik Peking jantan dan betina umur 8 minggu, menunjukkan bahwa
produksi karkas itik jantan Alabio 60.69%, sedangkan itik Peking
jantan 66.55% dan betina 67.26%. Hasil ini memperlihatkan produksi karkas itik
lokal lebih rendah dari itik Peking, karena pada itik Pekin sudah dilakukan
pemuliaan khusus untuk produksi daging.
Daging
itik mempunyai konsumen yang masih rendah, karena kesukaan konsumen terhadap daging
itik tidak seperti kesukaan terhadap daging ayam. Daging itik merupakan salah
satu sumber protein hewani, karena memiliki kandungan protein dengan kualitas
yang baik. Hal ini didukung oleh Jun et al. (1996), yang menyatakan
bahwa kadar protein daging itik berkisar antara 18.6 – 19% dan kandungan lemak
berkisar antara 2.7–6.8%. Damayanti (2003) melaporkan bahwa kandungan lemak
daging dada dan paha itik lokal umur 8 minggu masing-masing sebesar 3.84% dan
8.47%, sedangkan kulit dada dan kulit paha berturut-turut sebesar 59.32% dan
52.67%.
Hustiany
(2001) dalam penelitiannya pada itik Jawa afkir (12 bulan) mendapatkan
kandungan lemak daging dada itik betina dengan dan tanpa kulit masing-masing
9.46% dan 1.53%, sedangkan kandungan lemak daging pahanya dengan dan tanpa
kulit masing-masing 12.21% dan 4.16%. Chartrin et al. 2006, melaporkan
bahwa kandungan lemak daging dada itik pekin umur 14 minggu ialah sebesar
4.81%.
Menurut
Srigandono (1997), komposisi nutrisi daging itik tidak berbeda jauh bila dibandingkan
dengan daging ayam. Kandungan protein daging itik sebesar 20.8% dan daging ayam
sebesar 21.4%. Kandungan lemaknya adalah dua kali lebih tinggi dari daging ayam
(8.2% vs 4.8%), tetapi kandungan tersebut masih jauh lebih rendah apabila
dibandingkan dengan kandungan lemak ternak ruminansia seperti sapi (17%), domba
(22.4%) dan babi (32%).
Komposisi
kimia daging unggas, selain spesies, bergantung pada umur, pakan, dan jenis
kelamin. Kandungan abu, protein dan lemak daging itik pekin umur 6 minggu lebih
rendah (P<0 .01="" 7="" 8="" 9="" dan="" daripada="" i="" minggu="" risir="" umur="">et al0>
.
2009). Demikian pula pada itik pekin A44, kandungan protein dan lemak pada umur
7 dan 8 minggu lebih rendah daripada umur 9 minggu (Witak 2007). Kandungan
lemak pada daging unggas sangat bervariasi jumlahnya dan ditentukan oleh umur,
jenis kelamin dan spesies unggas. Menurut Rukmiasih et al. (2010)
semakin bertambahnya umur unggas, maka kadar lemak akan semakin tinggi.
Perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit. Hal ini dapat
kita lihat pada unggas air seperti itik memiliki kulit yang tebal yang
disebabkan karena penyebaran lemak di bawah kulit (lemak subkutan).
Menurut
Smith et al. (1993) daging itik sebagian besar mengandung serabut merah
dan sebagian kecil mengandung serabut putih. Pada bagian dada itik, serabut
merah sebanyak 84% dan serabut putih sebanyak 16%. Perbedaan macam serabut otot
penyusun daging tersebut, akan berpengaruh pada komposisi daging, sifat
biokimiawi dan karakteristik sensori serta nilai ekonomis. Daging yang sebagian
besar terdiri atas serabut merah mempunyai kadar protein yang lebih rendah dan
kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging yang tersusun serabut
putih (Soeparno 1998).
Berdasarkan
pengamatan histologi pada serabut otot itik dan entog, yang dilakukan
Sudjatinah (1998), diketahui bahwa ukuran serabut otot dipengaruhi oleh jenis
unggas. Pada umur yang sama, ukuran serabut otot itik lebih besar dibandingkan
dengan entog. Namun menurut Anggraeni (1999) diameter serabut otot tidak hanya
dipengaruhi oleh jenis unggas tetapi juga dipengaruhi oleh umur ternak. Semakin
tua itik dan entog, diameter serabut ototnya semakin besar. Otot yang
berdiameter kecil akan menghasilkan daging dengan penampilan yang halus dan
empuk, sebaliknya otot yang semakin besar akan menghasilkan daging yang
berpenampilan kasar dan liat.
Penelitian
yang berhubungan dengan pasca panen daging itik sudah banyak dilakukan.
Abubakar (2007) melaporkan bahwa penyimpanan karkas itik selama lima jam pada
suhu kamar dan suhu rendah (15º – 18ºC) tidak mempengaruhi keempukan daging itik. Daya ikat
airnya terjadi peningkatan dalam tiga jam penyimpanan, tetapi pH nya semakin
turun sejak jam pertama hingga jam keempat penyimpanan. Penelitian lain tentang
pengaruh Curring dan pengasapan terhadap mutu dan cita rasa daging itik
tua, hasilnya menunjukkan bahwa aroma tidak berbeda nyata sedangkan warna,
keempukan dan rasa berbeda nyata. Daging itik curring paling disukai
konsumen dengan kadar garam 3.86% dan kadar air 60.15%.
Febriana
(2006) melaporkan bahwa sifat organoleptik daging dan sosis dari itik yang
mendapat tepung daun beluntas (Pluchea indica L) dalam pakan sebanyak 1%
dan 2%, dapat menurunkan intensitas bau daging itik dan meningkatkan kesukaan
panelis terhadap sosis daging itik karena rasa dan tekstur sosis yang lembut.
Nasution (2003) melaporkan bahwa penggunaan jeruk nipis dengan konsentrasi 1%
memberikan mutu bakso itik yang lebih baik, akan tetapi dari segi penampilan
warnanya kurang disukai konsumen. Sementara penelitian yang dilakukan
Triyantini (1998) pada pembuatan dendeng itik menyatakan bahwa, dengan
penambahan bumbu kunyit, jahe, sereh dan lengkuas, ternyata masih kurang
disukai oleh konsumen.
Daftar
Pustaka
Abubakar. 2007. Inovasi teknologi
pengolahan hasil ternak itik. Di dalam : Seminar nasional Inovasi dan Alih
Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Revitalisasi Pertanian. Prosiding Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian; Medan, 5 Juni 2007. Medan. Buku 2
hal : 689-698.
Anggraeni. 1999. Pertumbuhan alometri
dan tinjauan morfologi serabut otot dada (M.perctoralis dan m.
Supracoracoideus) pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Damayanti AP. 2003. Kinerja biologis
komparatif antara itik, entog dan mandalung [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Erisir Z, Poyraz O, Onbasilar EE,
Erdem E, Oksuztepe GA. 2009. Effects of housing system, swimming pool and slaughter
age on duck performance, carcass and meat characteristics. J Anim Vet Adv.
8: 1864-1869.
Hustiany R, Apriyantono A,
Hermanianto J, Hardjosworo PS. 2001. Identifikasi komponen volatil daging itik
lokal Jawa. Di dalam : Perkembangan teknologi Peternakan unggas air di
Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air I Pengembangan Agribisnis unggas air
sebagai peluang usaha baru. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan IPB.
Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Ciawi. hal : 192-201.
Jun K, Rock OH, Man jin O. 1996.
Chemical Composition of Special. Chungnam Taehakkyo. J Poult Meat 23 (1)
: 90 – 98.
Leclercq B, Carville de H. 1985. Growth
and body composition of Muscovy duck. Di dalam : Ferrell, DJ and Stapleton
P. Ed. Duck Production Science and World Practise. University of New
England : pp 102 -109.
Matitaputty PR. 2002. Upaya
memperbaiki pertumbuhan dan efisiensi pakan mandalung melalui fortifikasi pakan
dengan imbuhan pakan avilamisina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Muryanto. 2002. Pertumbuhan alometri
dan tinjauan histology otot dada pada ayam kampung dan hasil persilangannya
dengan ayam ras petelur betina [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Retailleau B. 1999. Comparison of the
growth and body composition of 3 types of ducks: Pekin, Muscovy and Mule.
Proceedings of 1st Worlds Waterfowl Conference.
Taiwan-China. pp 597-602.
Rukmiasih, Hardjosworo PS, Piliang
WG, Hermanianto J, Apriyantono A. 2010. Penampilan, kualitas kimia dan off-odor
daging itik (Anas plathyrynchos) yang diberi pakan mengandung
beluntas (Pluchea indica L.Less). J Med Pet 33 (2): 68-79.
Smith DP, Fletcher DL, Burhr RJ,
Beyer RS. 1993. Peking duckling and broiler chicken pectoralis muscule
strukture and composition. J Poult Sci 72 : 202-208.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi
Daging. Edisi ke 3. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Srigandono B. 1997. Beternak Itik
Pedaging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudjatinah. 1998. Pengaruh lama
pelayuan terhadap sifat-sifat fisik dan penampilan histologi jaringan otot dada
dan paha pada itik dan entog [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Witak B. 2007. Tissue composition of
carcass, meat quality and fatty acid content of ducks of a commercial breeding
line at different age. Arch. Tierz., Dummerstorf 51 : 266-275.
0 Comment for "Karkas dan Daging Itik"