Pada awal domestikasi, sapi
diternakkan manusia untuk dimanfaatkan tenaganya guna membantu di bidang
pertanian dan transportasi. Sapi juga digunakan masyarakat sebagai perlambang
status sosial dan komoditi perdagangan. Sebagai hewan ternak, sapi juga dimanfaatkan
sebagai sumber protein hewani. Sapi domestik yang berkembang saat ini merupakan
hasil domestikasi dari Bos primigenius. Leluhur sapi tersebut punah ±
2000 tahun yang lalu. Terdapat dua tipe utama sapi domestik yang berasal dari B.
Primigenius, yaitu jenis kelompok sapi taurin (B. taurus) dan zebu (B.
indicus). Zebu merupakan sapi berpunuk (humped) yang tersebar di
Asia bagian selatan dan Afrika. Jenis sapi zebu masuk ke wilayah Asia dibawa
oleh pengembara Verdic Aryan dari Irak menuju India. Berbeda dengan sapi zebu,
sapi taurin merupakan sapi tanpa punuk (humpless) yang berkembang di
wilayah Eropa, Asia Tengah, Afrika Barat dan Amerika (Williamson & Payne
1965; Payne & Wilson 1999). Keragaman sapi lokal Indonesia merupakan hasil
persilangan dari sapi zebu, taurin dan banteng (Rouse 1972). Domestikasi
banteng yang merupakan nenek moyang sapi bali telah dimulai sejak sekitar 3500
SM (Lenstra & Bradley 1999). Menurut Uggla 2008 sebagian besar sapi lokal
Indonesia berasal dari jenis sapi zebu dan sepertiganya berasal dari sapi bali.
Sapi zebu diperkirakan masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-2 M, bersamaan dengan masuknya kebudayaan Hindu ke
wilayah ini (Payne & Hodges 1997). Pada masa penjajahan Belanda, tahun 1806
– 1897 Kontrolir Rothenbuhler Surabaya melaporkan bahwa pedagang ternak di Jawa
Timur telah mendatangkan sapi pejantan zebu jenis Mysore, Ongol, Hissar,
Gujarat dan Gir dari India untuk dipersilangkan dengan sapi Jawa dan Madura.
Tahun 1891 – 1921 di daerah Pasuruan Jawa Timur telah dilakukan usaha
persilangan sapi Jawa dengan sapi madura oleh kontrolir Van Andel. Program
persilangan tersebut dihentikan karena kurang memenuhi harapan para petani
terhadap kerja ternak. Pada tahun 1957 dilakukan
perbaikan mutu genetik sapi madura dengan jalan menyilangkannya dengan sapi Red
Danis (Utoyo et al. 1996; Hardjosubroto 2004). Sapi madura merupakan
salah satu jenis sapi lokal Indonesia yang berkembang di pulau Madura serta
pulau-pulau sekitarnya. Secara morfologi, sapi madura memiliki karakter hampir
sama dengan sapi bali kecuali ukuran tubuh dan tanduknya yang lebih kecil.
Warna kulit pada sapi madura jantan dan betina lebih coklat dari sapi bali,
kaki bagian bawah sampai lutut dan sebagian bokongnya berwarna putih (Rouse
1972).
Selain
itu, sapi madura lebih tahan terhadap cuaca panas, efisien terhadap makanan,
memiliki kualitas daging yang baik, dan lebih resisten terhadap parasit (Payne
& Hodges 1997). Kepastian asal domestikasi sapi madura hingga saat ini
masih belum diketahui. Masih terdapat perbedaan pada beberapa hasil penelitian
mengenai asal usul sapi madura. Menurut Rouse (1972) sapi madura merupakan
persilangan antara jenis sapi zebu dan banteng atau sapi bali. Litelatur lain
menyatakan bahwa sapi madura merupakan hasil persilangan antara sapi bali dan
sapi jawa, dimana sapi jawa sendiri merupakan hibrid dari zebu, taurin, dan
banteng (Payne & Hodges 1997). Penelitian Nijman et al. (2003)
dengan menggunakan penanda mikrosatelit mengungkapkan bahwa sapi madura
merupakan hasil persilangan antara banteng dan zebu atau taurin dan zebu.
Penelitian dengan penanda mtDNA yang telah dilakukan oleh Uggla (2008) dan
Firdhausi (2010) menunjukkan bahwa terdapat dua tipe maternal origin sapi
madura yaitu banteng dan zebu. Sedangkan dengan penanda gen SRY pada kromosom Y
paternal sapi madura diperkirakan adalah banteng (Verkaar et al. 2003)
atau sapi taurin (Kusdiantoro et al. 2009).
Sapi
madura merupakan sapi lokal yang dianggap sebagai salah satu kekayaan plasma
nutfah Indonesia. Beberapa Undang – undang diberlakukan sebagai upaya untuk
menjaga kemurniannya. Salah satu peraturan tentang pelestarian sapi madura yang
dikeluarkan sejak zaman kolonial Belanda adalah staatsblad (lembaran negara)
No. 226/1923, No. 57/1934, dan No. 115/1937. Pasca kemerdekaan, pasal 13a
Undang-undang No. 6/1967, telah menetapkan pokok-pokok peternakan dan kesehatan
hewan, sebagai upaya untuk mempertahankan populasi, menjaga bentuk, warna
kulit, serta meningkatkan kualitas produksi sapi madura (Utoyo et al.
1996).
Sumber
:
Firdhausi NF. 2010. Asal Usul Sapi
Madura Berdasarkan Penanda DNA Mitokondria [Tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Kusdiantoro M, Olsson M, Tol HTA,
Mikko S, Vlaming BH, Andersson G, Martinez HR, Purwantara B, Paling, Colender
B, Lenstra JA. 2009. The origin of Indonesian cattle. PloS ONE 4:1-5.
Lenstra JW, Bradley DG. 1999.
Systematic and phylogeny of cattle. Di dalam: Fries R & Ruvinsky A, editor.
The Genetics of Cattle. United Kingdom: CABI Publishing.
Nijman IJ, Otsen M, Veekar ELC, de
Ruijter C, Hanecamp E, Ochieng JW, Shamshad S, Rege JEO, Hanotte O, Barwegwn
MW, Sulawati T, Lenstra JA. 2003. Hybridization of Banteng (Bos javanicus)
and Zebu (Bos indicus) Revealed by Mitochondrial DNA, Satellite DNA,
AFLP and Microsatellites. Heredity 90:10-16.
Payne WJA, Hodges J. 1997. Tropical
Cattle: Origin, Breed, and Breeding Policies. Oxford: Blackwell Science
Ltd.
Rouse JE. 1972. Cattle of Africa
and Asia. Oklahoma: University of Oklahoma Press.
Uggla CM. 2008. Investigating Genetic
Variability Within Specific Indigenous Indonesian Cattle Breed [Disertasi].
Swedish University of Agricultural Science.
Utoyo DP, Djarsanto, Nasution SN.
1996. Animal Genetic Resources and Domestic. Jakarta: Ministry of
Agriculture Directorate General of Livestock Services. Directorate of Livestock
Breeding Development.
Verkaar ELC, Vervaecke H, Roden C,
Mendoza LR, Barwegwn MW, Susilawati T, Nijman IJ, Lenstra JA. 2003. Paternally
inherited markers in bovine hybrid populations. Heredity 91: 565-569.
Williamson G, Payne WJA. 1965. An
Introduction To Animal Husbandry In The Tropic. London: Lougman.
Labels:
Sapi
Thanks for reading Tinjauan Umum Sapi Madura. Please share...!
0 Comment for "Tinjauan Umum Sapi Madura"