Klorinasi pada awalnya merupakan suatu teknik disinfeksi
yang diterapkan pada sumber air, bahkan sampai dengan saat ini. Teknik ini
pertama kali diterapkan sekitar tahun 1850 yang mana pada waktu tersebut mulai
diketahui bahwa air dapat berperanan penting dalam penyebaran suatu penyakit,
sehingga diperlukan suatu perlakuan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut
(Sawyer et al. 1994).
Pada industri pengolahan air, jenis-jenis klorin yang dapat
digunakan adalah gas klor dengan kandungan klor aktif minimal 99%, kaporit
dengan kandungan klor aktif minimal 60-70% dan sodium hipoklorit dengan
kandungan klor aktif minimal 15%. Dosis
klor ditentukan melalui perhitungan jumlah klor yang dikonsumsi air, dimana
besarannya tergantung pada kualitas air bersih yang diproduksi serta sisa klor
sebagai residual klorin yaitu 0,25-0,35 ppm (RSNI3b 2007).
Dalam perkembangannya, klorin juga digunakan untuk
mendisinfeksi komoditi hasil pertanian. Pada industri pangan, belum ada
sanitiser lain yang dapat menggantikan peran klorin. Larutan klorin digunakan
untuk mencuci dan memilah buah-buahan dan sayuran, mencegah kontaminasi patogen
pada daging (sapi, unggas) dan telur. Kombinasi klorin dan deterjen sering
digunakan pada industri telur konsumsi untuk menghilangkan kontaminasi dan
membersihkan permukaan kerabang (AISE 1997, CCC 2002).
Klorin yang digunakan untuk mendisinfeksi karkas sapi
kandungan total klorin dalam setiap liternya adalah 20 ppm atau dengan
kandungan asam hipoklorit 10 ppm yang selanjutnya diikuti dengan pembilasan
untuk menghilangkan residu yang mungkin tersisa. Karkas ayam juga sering diberi
perlakuan dengan klorin baik dengan cara direndam, di semprot ataupun dicuci
dengan air yang mengandung 20-50 ppm total klorin atau 10 ppm asam hipoklorit,
diikuti dengan pembilasan. Residu klorin pada bahan pangan belum pernah
ditemukan. Karena sifatnya yang mudah larut dan sangat reaktif, maka klorin
tidak akan terakumulasi atau mengalami biokensentrasi pada rantai makanan
(FPTCDW 2007).
Menurut CAC (2000), disinfeksi komoditi pertanian untuk
karkas broiler dosis klorin yang digunakan adalah 30 ppm, telur konsumsi
dosisnya 100-200 ppm, buah dan sayur 50-200 ppm (maksimum 2000 ppm untuk washing) dan
ikan 10 ppm. Desinfeksi telur dengan metode imersi, direkomendasikan di Belgia
untuk mendisinfeksi permukaan kerabang yang terkontaminasi oleh cendawan dan
kapang (Ivanov 2008).
Di Amerika Utara, pemasok telur konsumsi melakukan pencucian
dan disinfeksi permukaan telur konsumsi dengan menggunakan klorin. Hal ini dilakukan untuk mengeliminasi kemungkinan
cemaran virus LPAI maupun HPAI akibat kotoran atau feses yang menempel pada
permukaan kerabang (IAFP 2005). Menurut Rice et
al. (2007), klorin dapat menginaktivasi
virus AI H5N1. Dengan jumlah residual klorin bebas 0,52-1,08 mg/l sudah cukup
untuk mematikan 5,26-5,32 log10 TCID50/ml virus
H5N1 yang terkandung pada cairan alantois dalam waktu 1 menit.
Air
yang diklorinasi tidak terbukti bersifat karsinogenik, demikian juga dengan
klorin baik dalam sediaan padat maupun cair (IARC 1997). Namun demikian,
apabila klorin yang larut dalam media air bertemu dengan humic substance akan
menghasilkan senyawa trihalometan yang dapat berpotensi karsinogenik (Sawyer et al. 1994)
Labels:
sanitasi
Thanks for reading Klorinasi Air Minum Ternak. Please share...!
0 Comment for "Klorinasi Air Minum Ternak"