Ukuran
telur dapat diartikan sebagai besar kecilnya telur yang dinyatakan dalam bobot.
Standar Nasional Indonesia (1995) menyatakan bahwa kriteria dan bobot telur
ayam ras untuk telur konsumsi adalah ekstra besar (lebih dari 60 gram), besar
(55–60 gram), sedang (51–55 gram), kecil (46–50 gram) dan ekstra kecil (kurang
dari 46 gram).
Menurut
Rose (1997), telur ayam umumnya terdiri atas 64% albumen, 27% kuning telur dan
9% kerabang. Kandungan masing-masing komponen tersebut mempengaruhi bobot telur
yang dihasilkan ayam petelur, ukuran kuning yang besar akan menghasilkan ukuran
telur yang besar. Menurut Nort dan Bell (1990), bobot telur berkaitan erat
dengan komponen penyusunnya yang terdiri atas putih telur (58%), kuning telur
(31%) dan kerabang (11%). Ukuran telur sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain variasi individu, spesies, umur dan variasi
hereditas (Sirait, 1986).
Bobot
telur ayam ras yang baik umumnya berkisar sekitar 58,0 g/butir, sedangkan pada
ayam kampung bobot telurnya biasanya lebih kecil (Sirait, 1986). Setiap strain
ayam petelur akan mengalami peningkatan bobot telur per butir pada umur 26–50
minggu, akan tetapi setelah ayam berumur lebih dari 50 minggu, bobot telur
tidak akan berubah lagi (Togatorop et al., 1977).
Bobot
telur setiap bangsa ayam berbeda. Ayam Leghorn mempunyai bobot rataan
58,10 g/butir dan Rhode Island Red 59,30 g/butir, sedangkan bangsa Plymouth
Rock mempunyai rataan bobot telur 63,90 g/butir (Romanoff dan Romanoff,
1963). Secara normal telur ayam mempunyai bobot antara 40-80 g/butir (Campbell et
al., 2003). Menurut Sirait (1986) bahwa bobot telur ayam ras yang baik
umumnya berkisar antara 58,0 g/butir, sedangkan pada ayam kampung bobot telur
biasanya lebih kecil dari 58,0 g/butir. Menurut North dan Bell (1990)
faktor-faktor yang mempengaruhi bobot telur adalah strain, umur pertama
bertelur, temperatur lingkungan, ukuran pullet pada suatu kelompok.
Ukuran ovum, intensitas bertelur dan nutrisi dalam ransum juga mempengaruhi
ukuran telur (Campbell et al., 2003). Ukuran telur merupakan faktor
genetik, hal ini berhubungan dengan kemampuan ayam untuk menghasilkan telur
besar, medium atau kecil (North dan Bell, 1990). Bobot telur tidak dipengaruhi
oleh peningkatan energi metabolis, tetapi peningkatan kandungan protein 12-18%
di dalam ransum dapat meningkatkan bobot telur (Gardner dan Young, 1972).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shafer et al. (1992),
pemberian metionin ransum pada taraf 0,38; 0,46 dan 0,53% menunjukkan bahwa
peningkatan bobot telur terjadi pada taraf pemberian metionin yang lebih
tinggi.
Umur
dewasa kelamin juga mempengaruhi bobot telur. Ayam dara (pullet) yang
ketika bertelur pertama telurnya besar maka akan besar selama periode produksi
telur (North dan Bell, 1990). Ayam petelur yang mengalami masak kelamin dini
memiliki ukuran telur yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan ayam
petelur yang mencapai masak kelamin lebih lambat (Romanoff dan Romanoff, 1963).
Menurut Amrullah (2004) bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung
menghasilkan telur yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan
bertambah sejalan dengan makin tuanya umur ayam, tetapi kenaikan ini tidak
seragam. Awalnya meningkat sangat jelas ukurannya untuk kemudian hanya sedikit
berubah dan konstan. Intensitas bertelur juga mempengaruhi bobot telur. Telur
yang kecil sangat mungkin dihasilkan selama periode peneluran untuk produksi
telur yang tinggi. Selama tahun pertama bertelur, bobot dan produksi telur
meningkat secara simultan. (Romanoff dan Romanoff, 1963). Telur mempunyai
ukuran yang besar pada intensitas bertelur yang rendah (Campbell et al., 2003).
Temperatur
lingkungan yang tinggi akan menyebabkan ukuran telur menurun sebagai hasil
menurunnya konsumsi nutrien pada kelompok ayam, terutama energi dan protein.
(North dan Bell, 1990). Ukuran ayam dalam satu kelompok yang besar akan
menghasilkan telur dengan rataan yang besar. Bagaimanapun juga ayam dalam satu
kelompok bobotnya selalu seragam sehingga akan menghasilkan telur yang seragam pula
(North dan Bell, 1990). Bobot badan mempunyai korelasi yang tinggi terhadap
bobot telur. Bobot yang besar akan menghasilkan telur yang besar pula (North
dan Bell, 1990; Campbell et al., 2003).
Defisiensi
nutrisi dalam ransum akan mengurangi bobot telur. Salah satunya defisiensi
vitamin D. Vitamin D berhubungan dengan metabolisme kalsium, sehingga penting
dalam pembentukan kerabang (Campbell et al., 2003). Ukuran telur dapat
meningkat dengan meningkatnya protein ransum. Peningkatan kandungan protein ransum
dari 17-21% atau dengan penambahan lemak 4% dapat meningkatkan bobot telur ayam
(Nakajima dan Keshaverz, 1995). Menurut Romanoff dan Romanoff (1963), bahwa
pengaruh penurunan protein ransum dari 21-12% akan mengurangi bobot telur dari
53,8 menjadi 52,9 gram.
Romanoff
dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa waktu telur dikeluarkan juga berpengaruh
terhadap bobot telur. Telur yang dikeluarkan sebelum jam 9 pagi lebih besar
2,5% dibandingkan dengan telur yang dikeluarkan lebih dari jam 2 siang. Bobot
telur dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya genetik, umur saat dewasa
kelamin, suhu lingkungan, tipe kandang, pakan, air dan penyakit (Ensminger,
1992). Menurut Anggorodi (1995), faktor yang mempengaruhi besar telur adalah
tingkat dewasa kelamin, protein dan asam amino yang cukup dalam ransum. Faktor
lain yang mempengaruhi besar telur adalah kandungan kalsium dan fosfor dalam
ransum.
1 Comment for "Standar Bobot Telur Ayam"
ijin share ya kak makasih
Mobil Truk Indonesia