Masa inkubasi pada unggas bervariasi mulai dari beberapa jam
hingga 2 minggu. Periode waktu tersebut tergantung pada dosis virus yang
menginfeksi, rute infeksi dan kepekaan unggas yang terinfeksi (Saidu et al. 2008).
Infeksi pada unggas dapat bersifat ringan atau berat,
tergantung dari strain dan Subtipe virus. Virus LPAI biasanya menyebabkan
infeksi asimtomatis, penyakit pernafasan ringan atau penurunan produksi telur.
Sedangkan virus HPAI sifatnya sangat virulen dan dapat menyebabkan infeksi yang
berat pada beberapa unggas. Gejala klinis bervariasi mulai dari sinusitis,
lakrimasi, sianotik pada kepala, jengger dan pial, edema kepala dan diare hijau
atau putih. Lesi hemoragi dapat terjadi pada jengger dan pial kalkun. Gejala
lain berupa anoreksia, batuk, pilek, leleran hidung dan mulut, perdarahan titik
pada kaki dan cakar, gejala neurologik, penurunan produksi telur, rusaknya
pigmentasi kerabang dan deformitas kerabang. Kematian mendadak dapat terjadi
tanpa menunjukkan gejala (CFSPH 2008).
Pada bebek dan angsa gejala klinis jarang sekali muncul.
Namun gejala yang umum terjadi pada angsa adalah sinusitis, diare dan
peningkatan kematian. Beberapa isolat H5N1 saat ini dapat mengakibatkan
penyakit yang parah pada bebek, termasuk disfungsi saraf dan kematian (CFSPH
2008). Infeksi AI biasanya bersifat subklinis pada burung liar, namun beberapa
strain dapat mengakibatkan sakit dan kematian. Virus H5N1 yang merebak sangat
terkait dengan angka mortalitas yang tinggi pada unggas liar. Infeksi secara
percobaan pada Anas platyrhyncha (sejenis bebek hasil persilangan domestik dengan liar) dapat
menimbulkan kelumpuhan, ataksia, tortikolis, berputar-putar dan seizure. Infeksi
secara percobaan pada bebek kayu (Aix
sponsa) menyebabkan terjadinya kelemahan yang
parah, inkoordinasi, mata sembab, bulu kusam, konstriksi pupil, tremor, seizure dan
kematian. Bebek asli Amerika Utara yaitu Anas
platyrhynchos, Anas
acuta, Anas
crecca dan Aythya
Americana tidak menunjukkan gejala klinis pada
saat diinfeksi dengan virus H5N1. Di Eropa, angsa dapat mengalami infeksi yang
parah apabila terinfeksi H5N1 (CFSPH 2008).
Gejala akibat infeksi H5N1 secara percobaan pernah teramati
pada burung camar dan burung psittacine. Burung camar akan mengalami gejala saraf yang parah, kelemahan,
mata sembab, bulu kusam, inkoordinasi dan tortikolis. Hampir semua burung camar
yang terinfeksi akan mati. Burung camar biasanya akan sembuh total namun akan
mengalami kepala miring persisten. Infeksi secara percobaan pada zebra finches akan
mengakibatkan depresi dan anoreksia yang berlanjut menjadi kematian dalam waktu
5 hari pasca inokulasi. House
finches dan budgerigar
akan mengalami anoreksia, depresi,
gejala saraf dan mati dengan cepat. Infeksi H5N1 bersifat ringan pada burung
gereja karena tidak mengakibatkan kematian dan hanya menimbulkan gejala
depresi. Pada burung jalak gejala infeksi tidak muncul (asimtomatis) (CFSPH
2008).
Lesi pada unggas sangat bervariasi dan dapat menyerupai lesi
akibat penyakit unggas lainnya. Beberapa lesi yang dapat ditemukan pada unggas
yang terinfeksi adalah edema subkutan pada kepala dan leher, penumpukan cairan
pada hidung dan rongga mulut (paruh) dan kongesti konjugtiva yang parah.
Trakheitis hemoragika dapat terlihat pada beberapa unggas, sementara unggas lainnya
dapat menunjukkan lesi berupa eksudat mukus. Pada lemak abdomen, permukaan
lapisan serosa dan peritoneum dapat dijumpai adanya perdarahan titik (petechiae).
Hemoragi dapat terlihat pada lapisan mukosa proventrikulus, dibawah garis
tembolok dan pada mukosa usus. Ginjal dapat mengalami kongesti yang parah dan
terkadang berisi endapan urat. Ovarium akan terkena hemoragi atau degenerasi
dengan beberapa area sudah mengalami nekrosis. Ruang (cavity)
peritoneum sering terisi oleh yolk
sebagai akibat dari ovarium yang rupture. Radang
peritoneum dan airsacculitis dapat terjadi pada beberapa unggas. Pada unggas yang mati
per akut dan unggas muda, lesi yang ditemukan biasanya hanya sedikit. Pada beberapa kasus, kongesti pada
otot dan dehidrasi dapat dijumpai (CFSPH 2008).
Di Indonesia, kejadian AI pada unggas secara klinis dan
patologis saat ini sulit untuk dikenali, sehingga memerlukan pemeriksaan
laboratorium secara langsung. Perubahan tersebut kemungkinan terjadi akibat
mutasi virus atau karena unggas yang telah divaksinasi berkontak dengan virus
namun antibodi yang tidak terlalu kuat menyebabkan virus tetap bersarang di
dalam tubuh unggas dan menyisakan virus pada kotoran sehingga terjadi virus shedding (Anonim
2009).
Virus AI pada unggas disebarkan melalui feses, saliva dan
sekresi nasal. Feses dapat mengandung virus dalam jumlah yang sangat banyak
sehingga penularan secara fecal-oral
merupakan jalur utama penyebaran pada
unggas liar (reservoir). Namun demikian, beberapa isolat H5N1 terkini mempunyai
jumlah atau kandungan yang lebih banyak pada sampel trakea dibandingkan dengan
feses. Hal ini kemungkinan menjadi pertanda bahwa jalur penularan utama virus
ini bukan lagi secara fecal-oral pada beberapa spesies. Sekali virus masuk dalam kawanan
unggas atau flok, maka virus tersebut akan menyebar dalam peternakan tersebut
baik secara fecal-oral dan aerosol terkait dengan letak kandang yang saling
berdekatan. Peralatan kandang memegang peranan penting dalam penularan. Lalat
dapat berperan sebagai vektor mekanis (CFSPH 2008).
Unggas liar atau burung liar sebenarnya mempunyai 2 peran
dalam hal penyebaran penyakit, yaitu sebagai karier (biologis) dan sebagai
vektor mekanis. Sebagai karier, unggas liar tersebut dapat menunjukkan gejala
klinis yang akut pada saat terinfeksi Newcastle
Disease, Duck
Plague dan Pasteurellosis, dan gejala yang
kronis ketika terkena Pox serta asimtomatis ketika terkena Influenza dan
Salmonellosis. Feses dan eksudat yang berasal dari saluran pernafasan dapat
menularkan virus AI, Paramyxovirus, Virus Herpes, C.
psittaci, Campylobacter, Salmonella, Mycobacterium avium, P. Multocida dan Clostridium
spp. Disamping itu, unggas liar tersebut
dapat membawa kutu yang mengandung patogen sehingga dapat turut disebarkan.
Dengan potensi sebagai media pembawa penyakit, memusnahkan unggas liar agar
tidak menyebarkan agen penyakit bukanlah suatu cara yang tepat. Langkah yang
paling tepat untuk mengantisipasi terjadinya penularan dari unggas liar adalah
dengan menerapkan biosekuriti yang benar dan sistem surveilans yang baik (Dhama
et al. 2008).
Virus AI yang dibawa oleh unggas liar mayoritas adalah
kelompok LPAI. Bila unggas liar terserang virus HPAI maka akan menunjukkan
gejala klinis dan bahkan dapat mengakibatkan kematian sebagaimana pernah
terjadi di China dan Mongolia. Dengan demikian, potensi yang perlu diwaspadai
terhadap unggas liar adalah virus LPAI yang dibawanya akan bermutasi menjadi
virus HPAI ketika ditularkan pada unggas lokal (Dhama et al. 2008).
Menurut Anaeto dan Chioma (2007), penularan secara langsung
dapat terjadi melalui sekresi dan ekskresi dari unggas domestik maupun unggas
liar yang terinfeksi. Sedangkan secara tidak langsung penularan terjadi melalui
peralatan kandang, sepatu, pakaian, keranjang telur dan perlengkapan lainnya
yang tercemar oleh virus.
Unggas yang terinfeksi akan mengeluarkan virus dari tubuhnya
pada 2 minggu pertama. Bebek yang terinfeksi dapat mengekskresikan sampai
dengan 1010 EID50 dalam waktu 24 jam. Dengan asumsi bahwa seekor bebek mengekskresikan
feses 7,5 – 10 kg/ tahun dan angsa 12,5-15 kg/ tahun, maka unggas air yang
terinfeksi akan mengeluarkan sebanyak 3 x 109 EID50/ gram
feses (WHO 2006).
Menurut Kamps et
al. (2006) dalam 1 gram feses infektif
dapat terkandung virus AI
sebanyak 108,7 EID50/gram
feses. Data mengenai daya hidup virus di lingkungan cukup bervariasi. Bebek
yang diinfeksi secara buatan dengan virus H5N1 sebanyak 106
EID50 dalam 1
ml inokulan akan mengekskresikan virus dalam fesesnya sejumlah 2,25-3,75 log10 EID50/ gram feses
segar dan kemudian tidak terdeteksi setelah dikeringkan semalaman. Pada feses
basah dengan suhu 250C, virus
masih dapat dideteksi selama 7 hari namun titernya menurun. Ketika disimpan
pada suhu 40C virus
masih mampu bertahan dan dapat dideteksi setelah 20 hari. Pada suhu 370C, virus dapat dideteksi pada hari ke 4 dan ke 6 (WHO 2006).
Menurut EPA (2006), virus AI dapat bertahan lebih lama di
lingkungan bila terdapat material organik seperti feses atau terpelihara pada
suhu yang dingin. Virus H5N1 dapat bertahan selama 7 hari pada suhu ± 210C. Pada media air, virus mampu bertahan pada suhu 00C selama 30 hari dan tahan lebih lama pada kondisi beku.
Virus H5N1 dapat bertahan di lingkungan selama 6 hari pada suhu 360C. Virus HPAI juga mampu bertahan hidup selama 7 hari pada
suhu 200C. Pada
suhu 210C, virus
mampu bertahan selama 4 hari dan menjadi lebih lama yaitu 30 hari pada suhu 00C.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa virus yang terkandung
dalam feses segar mampu bertahan lama dan tetap infektif pada beberapa kisaran
suhu (WHO 2006). Menurut Kaoud (1999) dan Tablante et al. (2002)
dalam Ka-Oud et al. (2008), biosekuriti adalah serangkaian manajemen yang mampu
mengurangi masuk dan tersebarnya suatu penyakit yang disebabkan oleh organisme
tertentu pada suatu tempat maupun antar suatu tempat. Oleh karena itu,
biosekuriti perlu dikombinasikan dengan tindakan sanitasi, disinfeksi,
vaksinasi dan strategi penanganan untuk mengeradikasi atau mengurangi patogen
sampai pada level yang tidak infeksius. Komponen dari biosekuriti adalah
konseptual biosekuriti, struktural biosekuriti dan operasional biosekuriti.
Unggas yang dipelihara dengan tingkat biosekuriti yang
rendah dan tidak dipelihara dengan manajemen biosekuriti yang memadai akan
lebih rentan untuk mengalami penularan infeksi dari burung liar. Namun
demikian, setelah infeksi dari burung liar tersebut terjadi dan teradaptasi
pada unggas domestik, maka penyebaran lebih lanjut dari virus tersebut menjadi
sangat terbatas. Program biosekuriti yang tidak diterapkan dengan baik, tidak
adanya pelarangan terhadap unggas dan produknya pada lalu lintas antar daerah
dengan kepadatan populasi peternakan unggas yang cukup tinggi (8 tempat/km2) serta kurangnya kesadaran masyarakat merupakan faktor
penting yang dapat mengakibatkan terjadinya wabah virus HPAI dan infeksi pada
manusia (Kaoud 2008).
Lokasi antar peternakan yang berjarak 1 km dalam waktu 1
hari akan tertular oleh HPAI dari peternakan yang lainnya. Namun pada
peternakan yang menerapkan biosekuriti dengan baik, meski jarak dengan
peternakan lain yang terserang HPAI hanya 2 km, peternakan tersebut tetap aman
dari serangan virus HPAI (Bello et
al. 2008).
Menurut Burgos dan Burgos (2007b), vaksinasi pada unggas
dapat memberikan hasil yang bervariasi tergantung pada kondisi penerapan di
lokasi. Vaksin dapat menurunkan peluang ekskresi virus dan dinamika penularan,
meningkatkan resistensi terhadap infeksi dan mengurangi timbulnya gejala
klinis. Penerapan strategi vaksinasi dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu rutin, pencegahan
dan darurat. Aplikasi vaksinasi rutin diterapkan pada lokasi yang telah endemik
dan pengendalian secara tradisional sudah tidak efektif dalam upaya
mengeliminasi virus. Vaksinasi pencegahan dilakukan pada lokasi yang mempunyai
resiko tinggi terjadi pemasukan HPAI, terutama pada lokasi yang berbatasan
langsung dengan daerah wabah. Sementara vaksinasi darurat dilakukan pada lokasi
wabah untuk membuat zona penyangga yang mengelilingi lokasi wabah. Vaksinasi
darurat dilakukan beriringan dengan program pemusnahan dan dilakukan pada awal
pertama penanggulangan wabah. Vaksinasi telah terbukti nyata mampu menurunkan
peluang terjadinya ekskresi virus sehingga penyebaran virus di lingkungan dapat
dihindari dan peluang manusia untuk terpapar juga dapat berkurang.
Namun demikian, vaksinasi tidak selalu efektif untuk
mencegah terjadinya infeksi pada unggas apabila virus HPAI telah masuk dan
menginfeksi pada masa-masa awal vaksinasi. Alasannya adalah, dibutuhkan waktu
sekitar 1 minggu untuk dapat melakukan vaksinasi pada seluruh unggas pada suatu
peternakan dan diperlukan waktu tambahan 7-14 hari sampai titer antibodi yang
dihasilkan cukup protektif untuk menghadapi infeksi dan penularan berikutnya.
Jeda waktu tersebut sangat cukup bagi virus untuk dapat menyebar atau
disebarkan dengan mudah di lokasi peternakan (Ka-Oud et al. 2008).
Menurut Swayne (2008) dalam Ka-Oud et al. (2008),
vaksinasi bukanlah suatu solusi universal dalam pengendalian AI di lapangan.
Banyak dijumpai hasil titer yang tidak konsisten terkait dengan kualitas dan
aplikasi vaksin yang kurang tepat. Oleh karena itu, ada dua langkah utama yang
bisa diterapkan untuk pengendalian AI yaitu penggunaan vaksin inaktif yang
efektif dan penerapan ketentuan biosekuriti yang ketat.
Labels:
Kesehatan Ternak
Thanks for reading Avian Influenza pada Unggas. Please share...!
0 Comment for "Avian Influenza pada Unggas"