Liwang (2003)
melaporkan bahwa areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun sebesar 12.6%. Data Dirjen perkebunan (2007) menyatakan
bahwa luas areal perkebunan sawit Indonesia pada tahun 2006 mencapai 6
074 926 ha. Kondisi ini mendorong berkembangnya industri pengolahan buah sawit
untuk menghasilkan produk pangan maupun non pangan, sehingga menghasilkan
hasil samping dalam jumlah yang cukup besar. Hasil samping pada areal
perkebunan berupa pelepah, daun dan batang kelapa sawit, sedangkan dari
pabrik berupa serat perasan buah, lumpur minyak sawit dan bungkil inti
sawit.
Setiap hektar
kebun sawit per tahun dapat menghasilkan pelepah kering sebanyak 486 ton dan
daun sawit kering 17.1 ton. Sementara lumpur sawit dan bungkil inti sawit
merupakan hasil ikutan pengolahan minyak sawit dapat memproduksi rendemen
lumpur sawit sebanyak 4–6% dan bungkil inti sawit sebesar 45%, sehingga
diperoleh lumpur sawit sebanyak 840–1 260 kg/ha dan bungkil inti sawit 567
kg/ha (Sianipar et al. 2003). Sementara Horne et al. (1994)
melaporkan suatu pabrik minyak sawit dengan kapasitas 800 ton/hari buah sawit
segar akan menghasilkan 5 ton lumpur sawit kering dan 6 ton bungkil inti sawit
kering per hari.
Pelepah, daun,
serat perasan buah dan batang sawit merupakan sumber energi, sementara itu
bungkil inti sawit dan lumpur sawit sebagai sumber protein yang potensial bagi
ternak (Elizabeth dan Ginting 2003). Hasil samping perkebunan kelapa sawit
tersebut dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak ruminansia karena
mengandung zat-zat nutrisi yang tinggi. Adapun komposisi zat makanan hasil
samping tanaman dan buah kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel
Bungkil sawit
merupakan hasil ikutan yang paling tinggi nilai gizinya sebagai pakan ternak.
Protein bungkil inti sawit dapat dikategorikan medium degradability dan
diketahui defisien akan asam amino lisin, metionin, leusin dan isoleusin (Daud
1995). Sementara lumpur sawit merupakan hasil ikutan proses pengolahan minyak sawit
menggunakan alat mesin ex decanter yang produksinya dalam bentuk semi
padat. Kandungan proteinnya bervariasi sekitar 11–14%. Menurut Sutardi (1997)
protein lumpur sawit hampir sama dengan kandungan protein dedak padi yaitu
sekitar 12%. Secara umum pemakaian lumpur sawit pada ransum babi 10–20%, unggas
5–
10%, sapi 66%
dan domba 30% (Wong dan Wan Zahari 1992). Daun sawit mempunyai kadungan protein
kasar sebesar 14.8% dan lignin 27.6% dan disarankan pemberiannya tidak melebihi
20% dari ransum. Sedangkan serat buah sawit tergolong serat bermutu rendah
dengan kandungan lignin tinggi, protein, kecernaan dan palatabilitasnya rendah.
Penggunaan dalam ransum ruminansia sekitar 25-30% (Pribadi 2008). Upaya
mempertahankan dan meningkatkan kualitas nutrien pelepah sawit dapat dilakukan
melalui proses amoniasi, silase, pembuatan pelet dan penambahan enzim (Wan
Zahari et al. 2003).
Elisabeth dan
Ginting (2003) melaporkan bahwa penggunaan 60% pelepah sawit, 18% lumpur sawit,
18% bungkil inti sawit, 4% dedak padi pada sapi potong menghasilkan pertambahan
berat badan 0.58 kg/ekor/hari dengan jumlah konsumsi 8.6 kg/ekor/hari.
Sementara itu Batubara et al. (2004) menjelaskan bahwa pakan alternatif
pada kambing masa pertumbuhan dengan formulasi 29% daun sawit, 20% lumpur sawit,
50% bungkil inti sawit serta 1% mineral mix dengan suplementasi 20% molases
dapat menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 57 g/ekor/hari. Krisnan et
al. (2006) menambahkan bahwa suplementasi tunggal lumpur sawit sebesar 45%
pada pakan kambing dapat menghasilkan pertambahan bobot badan 74.11 g/ekor/hr
dengan konsumsi sebesar 691.07 g/ekor/hari. Sedangkan Sianipar et al.
(2004) menyatakan bahwa penggunaan lumpur sawit, pelepah dan daun sawit tidak
dapat diberikan secara tunggal karena tidak disukai oleh ternak, sehingga untuk
mendapatkan hasil yang optimal hanya digunakan sebagai pakan campuran.
Sumber :
Daud MJ. 1995.
Technical inovation in the utilization of local feed resources for more
efficient animal production. Di dalam: Towards Corporizing the Animal and
Feed Industries. Proceedings of the 17th MSAP; Penang, 28–30
May 1995: Penang.
Direktorat
Jenderal Perkebunan. 2007. Buku Statistik Perkebunan. Jakarta: Dirjen
Perkebunan, Departemen Pertanian.
Elizabeth J,
Ginting SP. 2003. Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan
pakan ternak sapi potong. Di dalam: Prosiding Lokakarya Nasional
Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi; Bengkulu, 9 10 September 2003.
Bengkulu: Departemen Pertanian Bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Bengkulu
dan PT Agricanal. hlm 110 118.
Haroen U. 1993.
Pemanfaatan onggok dalam ransum dan pengaruh terhadap performans ayam broiler
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Krisnan R,
Batubara LP, Simanihuruk K, Sianipar J. 2006. Optimalisasi penggunaan solid
decanter sebagai suplemen tunggal pada ransum kambing. Di dalam: Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005; Bogor, 12 13
September 2005. Bogor: Puslitbangnak, Departemen Pertanian. hlm 470 474.
Liwang T. 2003.
Palm oil mill effluent management. Burotrop Bull 19:38.
Pribadi SH.
2008. Pemanfaatan hasil ikutan pertanian untuk pakan ternak.
http://www.BBP2TP Publikasi.htm.[Agustus 2008].
Sianipar J,
Batubara LP, Tarigan A. 2004. Analisis potensi ekonomi limbah dan hasil ikutan
perkebunan kelapa sawit sebagai pakan kambing potong. Di dalam: Prosiding
Lokakarya Nasional Kambing Potong; Bogor, 6 Agustus 2004. Bogor:
Puslitbangnak, Departemen Pertanian. hlm 201 207.
Sianipar,
Batubara JLP, Ginting SP, Simanihuruk K, Tarigan A. 2003. Analisis potensi
ekonomi limbah dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit sebagai pakan kambing
potong. [laporan hasil penelitian]. Loka Penelitian Kambing Potong Sungai
Putih, Sumatera Utara.
Sutardi T. 1997.
Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi
Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Labels:
Limbah Pertanian
Thanks for reading Potensi Hasil Samping Perkebunan Sawit . Please share...!
0 Comment for "Potensi Hasil Samping Perkebunan Sawit "